Masjid Jami Al-Atiq Menolak Jadi Cagar Budaya DKI Jakarta

Jum'at, 15 April 2022 - 03:19 WIB
loading...
Masjid Jami Al-Atiq Menolak Jadi Cagar Budaya DKI Jakarta
Masjid Jami Al-Atiq merupakan salah satu masjid tertua yang menyimpan sejarah. Foto/MPI/Muhammad Farhan
A A A
JAKARTA - Masjid Jami Al-Atiq merupakan salah satu masjid tertua yang menyimpan sejarah. Letaknya di perbatasan antara Jakarta Timur dan Jakarta Selatan yang dibatasi oleh Kali Ciliwung.

Tepatnya di Jalan Kampung Melayu Besar Nomor 1, RT 03 RW 01, Bidara Cina, Tebet, Jakarta Selatan. Masjid ini didirikan sejak 1632 dalam bentuk Musala pada awalnya.

Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Jami Al-Atiq Fahri Mufti (62) menjelaskan masjid Al-Atiq merupakan masjid pertama yang didirikan di Kampung Melayu. Saking tuanya, kata dia, tidak ada yang tahu persis kapan awal mulanya masjid tersebut didirikan.





"Masjid Al-Atiq ini salah satu tertua karena dulunya menurut orang-orang tua kami, ini menjadi masjid pertama yang berdiri di wilayah kami," kata Fahri kepada MNC Portal, Kamis (14/4/2022).

Fahri mengatakan awalnya masjid tersebut dinamakan Masjid Kampung Melayu. Nama tersebut diberikan karena tempat ibadah itu digunakan sebagai lokasi pelarian para pejuang kemerdekaan pada masa lampau.

"Masjid ini bersejarah karena dulu kampung di sini juga menjadi pelarian para pejuang. Salah satunya si Pitung, jawara Betawi yang pernah singgah di sini. Selain Pitung, dulu ada Bung Karno, Bung Tomo bahkan Buya Hamka pernah singgah beribadah di masjid ini," katanya.

Terkait adanya empat tiang pancang di dalam masjid, Fahri menjelaskan dahulu keempat tiang itu difungsikan sebagai pondasi awal masjid yang sebelumnya Musala. Empat tiang tersebut yang menunjang berdirinya masjid hingga sekarang sehingga masih dipertahankan.

"Masjid ini kokoh berdiri sampai sekarang karena empat tiang pancang ini. Asal masjid ini dari empat tiang tersebut yang awalnya untuk surau (Musala)," tutur Fahri.

Terkait pemugaran surau hingga menjadi masjid karena banyaknya warga yang beribadah salat selepas bepergian menggunakan perahu getek di Kali Ciliwung. Fahri menceritakan Kali Ciliwung dahulu digunakan sebagai lalu lintas transportasi umum bagi warga Ibu Kota, sehingga selepas bepergian, banyak warga singgah untuk beribadah di Masjid Al-Atiq.

"Karena dulu ada lalu lintas perahu getek, banyak warga singgah untuk salat di surau. Karena banyaknya warga yang beribadah, akhirnya warga bersepakat untuk dipugar menjadi masjid seperti sekarang," ujarnya.

Meski sudah menjadi tempat bersejarah penting bagi umat Islam di Jakarta, Fahri menegaskan pengelola Masjid Jami Al-Atiq menolak dialihfungsikan menjadi cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dia pun menyampaikan hal tersebut karena pihaknya khawatir ketika sudah menjadi cagar budaya, pengurusan renovasi dan pemugaran akan menjadi sulit.

"Sebenarnya memang Pemprov DKI Jakarta sudah mengajukan untuk menjadikan Masjid Jami Al-Atiq sebagai cagar budaya. Di antaranya memang ada beberapa benda pusaka dari masjid ini dibawa ke Dinas Purbakala Pemprov DKI. Namun kami menolak masjid ini menjadi cagar budaya karena pengurusnya khawatir akan sulit melakukan renovasi dan pemugaran," ungkapnya.

Fahri pun menunjukkan sejumlah peninggalan bersejarah yang masih bersemayam di Masjid Jami Al-Atiq. Salah satunya adanya kusen di atas mimbar masjid yang terbuat dari kolase kaca.

Konon, menurut Fahri, kusen berornamen kaligrafi tersebut terlalu tua sampai tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan dibangunnya. Namun karena terancam rusak, Fahri menjelaskan pihaknya merenovasi kusen tersebut dengan memasang kaca tambahan guna melindungi dari kerusakan.

Kemudian Fahri pun menunjukkan tongkat peninggalan masjid yang digunakan Khatib saat memberikan khutbah salat Jumat. Menurut Fahri, tongkat tersebut pernah dicari oleh sebagian orang lantaran serbuk kayunya dapat dijadikan obat.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1969 seconds (0.1#10.140)