Kualitas Udara Jabodetabek Pagi Hari Ternyata Tidak Baik, Bukan Waktunya Berolahraga

Rabu, 02 Maret 2022 - 17:57 WIB
loading...
Kualitas Udara Jabodetabek Pagi Hari Ternyata Tidak Baik, Bukan Waktunya Berolahraga
Nafas mengungkapkan fakta menarik soal kualitas udara di Jabodetabek. Ternyata, kualitas udara di pagi hari justru tidak baik untuk berolahraga. Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Nafas, startup penyedia aplikasi pengukur kualitas udara, mengungkapkan fakta menarik soal kualitas udara di Jabodetabek. Ternyata, kualitas udara di pagi hari justru tidak baik untuk berolahraga.

Co-founder & Chief Growth Officer Nafas Piotr Jakubowski mengungkapkan, di masyarakat Jabodebek terjadi mispersepsi bahwa udara pagi lebih baik dibanding waktu lain. Mungkin karena dianggap udara masih terasa sejuk, kondisi lalu lintas masih sepi, dan minim polusi udara.



Tak mengherankan bila animo masyarakat berolah raga besar pada pagi hari (sekitar jam 05.00-09.0), termasuk saat pandemi Covid-19. Padahal berdasarkan hasil riset Nafas sepanjang 2021 menunjukkan AQI Jabotabek pada pagi hari antara jam 04.00-09.00, masih cukup tinggi sekitar 100-160.

"Angka ini menunjukkan kualitas udara relatif tidak baik. Ini artinya, pagi hari bukan waktu terbaik untuk berolahraga. Justru saat itu masyarakat di Jabotabek disarankan tidak melakukan aktivitas di luar rumah," ujar Piotr dalam Media Briefing bertajuk 'Nafas Air Quality Report 2021', Rabu (2/3/2022).

Data Scientist dari Nafas Prabu Setyaji menambahkan, bagi seseorang yang berumur antara 35-45 tahun yang berolahraga pada pagi hari saat kadar PM2.5 > 26 µ/m3 justru berbahaya karena berisiko menimbulkan penyakit jantung. Sebagai catatan, ambang batas aman menurut WHO (2021) adalah PM2.5 = 5 µ/m3. “Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 33%,” katanya.

Menurut dia, kualitas udara paling baik di Jabotabek justru terjadi pada jam 14.00. Kualitas udara semakin membaik ketika terjadi hujan besar yang disertai angin kencang hingga ekstrim.

Sementara Community Manager Bicara Udara Novita Natalia mengatakan, hasil riset Nafas yang menunjukkan bahwa masih banyak salah kaprah dari masyarakat terkait kualitas udara beserta mitos-mitos yang selama ini sering didengar, menunjukkan makin kebutuhan edukasi mengenai isu ini.



“Kami sebagai komunitas yang fokus pada edukasi mengenai pentingnya peningkatan kualitas udara sangat senang dengan adanya riset yang dilakukan Nafas. Riset ini sekaligus menjadi indikasi betapa pentingnya meningkatkan pengetahuan masyarakat agar upaya bersama untuk mewujudkan kualitas udara yang lebih baik bisa terwujud,” tandasnya.

Di sisi lain, kualitas udara di area hijau yang banyak tumbuh pepohonan, juga ternyata tidak selalu bersih atau bebas dari polusi udara, khususnya yang disebabkan oleh polutan berukuran sangat kecil (PM2.5). Tiga wilayah yang dinilai kualitas udaranya belum baik yakni Bumi Serpong Damai (BSD), Cibinong, dan Sentul City.

Nafas dalam risetnya sepanjang Januari-Desember 2021 menyimpulkan, indeks kualitas udara (AQI) di tiga wilayah tersebut cukup tinggi di atas 100. Angka AQI di atas 100 menunjukkan kualitas udara relatif tidak sehat bagi kelompok usia tertentu.

Nafas sengaja memasang tiga sensor pengukur kualitas udara di tiga lokasi tersebut. Sebab ketiga daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Jabodetabek) tersebut merupakan area yang dikelilingi oleh daerah hijau. “Itu menunjukkan ketiga daerah tersebut tidak bebas dari polusi,” ujar Piotr.

Piotr mengatakan, banyaknya pepohonan sebenarnya kurang berdampak membuat udara menjadi bersih dan segar. Sebab pada dasarnya daun-daun di pohon tak bisa menyerap debu. Daun hanya mampu menyerap gas, sehingga tak bisa secara signifikan membersihkan debu PM2,5 yang ada di udara. “Jadi, pepohonan tidak bisa memfilter polusi PM 2.5,” kata .

Piotr merujuk studi David J. Nowak et.al (2013). Hasil studi Nowak menunjukkan, penanaman pohon di 10 kota Amerika Serikat dengan tingkat PM 2.5 yang tinggi tidak signifikan mengurangi polusi PM2.5, yakni hanya sebesar 0,05%-0,24% setahun.

Berdasarkan data Nafas tersebut, kata Piotr, keliru apabila kebijakan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia memperbaiki kualitas udara hanya dengan cara menanam banyak pepohonan. “Bisa dibilang penanaman pohon hampir tidak ada dampaknya mengurangi PM 2.5. Dengan kata lain tidak berdampak signifikan untuk menyegarkan kualitas udara,” tandasnya.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1990 seconds (0.1#10.140)