Kesaktian Mbah Priok yang Kapalnya Tidak Kena Bombardir Meriam Belanda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain Ass Syafi'i Sunnira atau dikenal Mbah Priok memiliki segudang kesaktian. Nama Mbah Priok juga lekat dengan Tanjung Priok , Jakarta Utara.
Salah satu kesaktian Mbah Priok ketika melakukan perjalanan syiar agama Islam bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad ke Pulau Jawa untuk menjalankan misi dakwah Islam pada abad ke-18. Mereka berlayar menuju Batavia selama 2 bulan.
Dikutip dari berbagai sumber, Kamis (9/12/2021), dalam perjalanan kapal Mbah Priok dihadang armada Belanda dengan persenjataan lengkap. Tanpa peringatan, kapal Mbah Priok dibombardir meriam, namun tak satu pun mengenai kapal.
Baca juga: Mandikan Jenazah Ameer Azzikra, Seorang Ulama Lihat Hal Menakjubkan Ini
Lolos dari kejaran kapal Belanda, kapal Mbah Priok dihantam ombak besar. Semua perlengkapan di kapal hanyut bersama gelombang. Yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan. Selanjutnya, ombak lebih besar datang menghantam lebih keras lagi sehingga kapal terbalik. Dua ulama itu terseret ombak.
Habib Hasan alias Mbah Priok ditemukan warga dalam keadaan sudah meninggal. Sedangkan, Habib Ali masih hidup. Di samping keduanya, terdapat periuk dan sebuah dayung. Setelah Mbah Priok wafat, Habib Ali yang selamat menetap di daerah itu hingga beberapa lama kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa dan menetap selamanya di wilayah tersebut.
Di makam Mbah Priok ditancapkan dayung sebagai nisan yang lama kelamaan di sekitarnya tumbuh berkembang pohon Tanjung. Sedangkan, periuk yang tadinya berada di sisi makam terus bergeser ke tengah laut. Konon menurut warga, setiap 3-4 tahun periuk itu muncul di lautan dengan ukuran makin membesar. Dari peristiwa itulah nama Tanjung Priok mulai dilekatkan di kawasan utara Jakarta.
Baca juga: Sopir Truk Keluhkan Pelaku Pungli Muncul Kembali di Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok
Versi lainnya mengenai nama Tanjung Priok juga dikemukakan sejarawan. Dalam Buku Saku Kasus Mbah Priok karya Ahmad Sayfi'i Mufid, Robi Nurhadi, dan KH Zulfa Mustofa, sejarawan Ridwan Saidi menuturkan Tanjung Priok tidak bisa dikaitkan dengan Mbah Priok.
Nama Tanjung Priok justru terkait Aki Tirem, penghulu atau pemimpin daerah Warakas yang tersohor sebagai pembuat priok (periuk). Sedangkan, kata Tanjung merujuk pada kontur tanah yang menjorok ke laut atau tanjung.
Buku itu juga mempertanyakan Risalah Manaqib yang dikemukakan ahli waris Mbah Priok. Dalam risalah tersebut, Mbah Priok disebut sebagai penyiar Islam yang lahir pada 1727 di Palembang kemudian pergi ke Batavia setelah dewasa untuk menyebarkan agama Islam.
Dia meninggal pada 1756 dalam usia 29 tahun sebelum sampai ke Batavia. Mbah Priok kemudian dikubur dekat pantai dengan nisan kayu dayung berhias priok nasi di sisi makamnya. Kayu dayung itu cepat tumbuh menjadi pohon Tanjung. Dari situlah nama Tanjung Priok muncul.
Akan tetapi, Buku Saku Kasus Mbah Priok menyatakan Mbah Priok sebenarnya lahir pada tahun 1874 dan meninggal pada 1927. “Jauh sebelum Mbah Priok ada, nama Tanjung Priok sudah lebih dulu dikenal, bahkan disebut dalam naskah Sunda abad ke-16,” ujar Ridwan Saidi.
Sementara, Alwi Shahab, dalam buku tersebut juga menyatakan jika dilihat dari sumber-sumber sejarah di kalangan kelompok Arab-Hadramaut, Habib Hasan alias Mbah Priok tak mungkin lahir pada 1727, sementara dia keturunan ketiga (cicit) Habib Hamid Mufti dari Palembang yang lahir pada tahun 1750 dan wafat pada 19 Juli 1820.
Salah satu kesaktian Mbah Priok ketika melakukan perjalanan syiar agama Islam bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad ke Pulau Jawa untuk menjalankan misi dakwah Islam pada abad ke-18. Mereka berlayar menuju Batavia selama 2 bulan.
Dikutip dari berbagai sumber, Kamis (9/12/2021), dalam perjalanan kapal Mbah Priok dihadang armada Belanda dengan persenjataan lengkap. Tanpa peringatan, kapal Mbah Priok dibombardir meriam, namun tak satu pun mengenai kapal.
Baca juga: Mandikan Jenazah Ameer Azzikra, Seorang Ulama Lihat Hal Menakjubkan Ini
Lolos dari kejaran kapal Belanda, kapal Mbah Priok dihantam ombak besar. Semua perlengkapan di kapal hanyut bersama gelombang. Yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan. Selanjutnya, ombak lebih besar datang menghantam lebih keras lagi sehingga kapal terbalik. Dua ulama itu terseret ombak.
Habib Hasan alias Mbah Priok ditemukan warga dalam keadaan sudah meninggal. Sedangkan, Habib Ali masih hidup. Di samping keduanya, terdapat periuk dan sebuah dayung. Setelah Mbah Priok wafat, Habib Ali yang selamat menetap di daerah itu hingga beberapa lama kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa dan menetap selamanya di wilayah tersebut.
Di makam Mbah Priok ditancapkan dayung sebagai nisan yang lama kelamaan di sekitarnya tumbuh berkembang pohon Tanjung. Sedangkan, periuk yang tadinya berada di sisi makam terus bergeser ke tengah laut. Konon menurut warga, setiap 3-4 tahun periuk itu muncul di lautan dengan ukuran makin membesar. Dari peristiwa itulah nama Tanjung Priok mulai dilekatkan di kawasan utara Jakarta.
Baca juga: Sopir Truk Keluhkan Pelaku Pungli Muncul Kembali di Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok
Versi lainnya mengenai nama Tanjung Priok juga dikemukakan sejarawan. Dalam Buku Saku Kasus Mbah Priok karya Ahmad Sayfi'i Mufid, Robi Nurhadi, dan KH Zulfa Mustofa, sejarawan Ridwan Saidi menuturkan Tanjung Priok tidak bisa dikaitkan dengan Mbah Priok.
Nama Tanjung Priok justru terkait Aki Tirem, penghulu atau pemimpin daerah Warakas yang tersohor sebagai pembuat priok (periuk). Sedangkan, kata Tanjung merujuk pada kontur tanah yang menjorok ke laut atau tanjung.
Buku itu juga mempertanyakan Risalah Manaqib yang dikemukakan ahli waris Mbah Priok. Dalam risalah tersebut, Mbah Priok disebut sebagai penyiar Islam yang lahir pada 1727 di Palembang kemudian pergi ke Batavia setelah dewasa untuk menyebarkan agama Islam.
Dia meninggal pada 1756 dalam usia 29 tahun sebelum sampai ke Batavia. Mbah Priok kemudian dikubur dekat pantai dengan nisan kayu dayung berhias priok nasi di sisi makamnya. Kayu dayung itu cepat tumbuh menjadi pohon Tanjung. Dari situlah nama Tanjung Priok muncul.
Akan tetapi, Buku Saku Kasus Mbah Priok menyatakan Mbah Priok sebenarnya lahir pada tahun 1874 dan meninggal pada 1927. “Jauh sebelum Mbah Priok ada, nama Tanjung Priok sudah lebih dulu dikenal, bahkan disebut dalam naskah Sunda abad ke-16,” ujar Ridwan Saidi.
Sementara, Alwi Shahab, dalam buku tersebut juga menyatakan jika dilihat dari sumber-sumber sejarah di kalangan kelompok Arab-Hadramaut, Habib Hasan alias Mbah Priok tak mungkin lahir pada 1727, sementara dia keturunan ketiga (cicit) Habib Hamid Mufti dari Palembang yang lahir pada tahun 1750 dan wafat pada 19 Juli 1820.
(jon)