Asal Muasal Rawa Bangke Jatinegara yang Dulunya Tempat Buang Mayat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Apa kesan pertama mendengar wilayah Rawa Bangke di Jatinegara, Jakarta Timur? Tentunya seram, ngeri, dan angker . Benar, Rawa Bangke dulunya sebuah rawa-rawa yang dikenal tempat buang mayat manusia.
Nama Rawa Bangke berasal dari kata bangkai. Suku Betawi kemudian melafalkan bangkai dengan bangke, maka terucaplah nama bangke. Kini Rawa Bangke berganti nama menjadi Rawa Bunga untuk menghilangkan kesan seram.
Baca juga: Jejak Curhat Tulisan Tangan pada Kasus Mayat Pria di Indekos Jakbar
Dikutip dari Lembaga Kebudayaan Betawi dan Ensiklopedia Betawi, Sabtu (16/10/2021), nama Rawa Bangke berasal dari bau bangkai yang disebabkan oleh dibuangnya para pemberontak Tionghoa di rawa tersebut hingga membusuk. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1740.
Pada zaman dahulu di Jatinegara ke utara merupakan daerah rawa yang sangat luas. Di antara sekian banyak rawa itu terdapat satu daerah yang tidak aman. Ini disebabkan seringnya terjadi pembunuhan di wilayah tersebut. Karena banyaknya pembunuhan, bangkai-bangkai manusia akhirnya tidak sempat lagi dibuang jauh-jauh, namun dibiarkan begitu saja di rawa-rawa.
Tidak mengherankan kalau di wilayah itu akhirnya banyak terdapat bangkai. Lama-kelamaan karena penduduk semakin banyak, rawa-rawa itu dijadikan daerah perkampungan untuk dihuni manusia. Lantaran awalnya daerah itu timbunan bangkai manusia, kemudian dinamakan Rawa Bangkai.
Orang Betawi di Jakarta menyebutnya Rawa Bangke sesuai logat Suku Betawi. Selain itu, ada juga satu cerita rakyat yang mengisahkan tentang awal mula daerah Rawa Bangke berjudul Si Hamsyah.
Salah satu sesepuh di Rawa Bunga Haji Sanap menuturkan ada banyak cerita tentang asal muasal nama Rawa Bangke. Dari cerita kakeknya selain pembantaian etnis Tionghoa yang memberontak di Rawa Bangke adalah tempat pembuangan mayat korban perampokan.
Baca juga: Mayat Wanita Ditemukan Membusuk di Kolong Fly Over Tanah Abang
Haji Sanap yang sudah berusia 86 tahun ini mengatakan, banyak juga yang bilang bau busuk dari mayat-mayat yang dibuang oleh para perampok yang zaman Belanda dinamakan begal. Mereka membuang mayat untuk menghilangkan jejak.
"Waktu zaman Belanda saya masih kecil melewati rawa-rawa itu hampir setengahnya hutan. Saya ngeri kalau melewati daerah itu. Kendaraan yang banyak lewat zaman itu adalah sepeda. Di dekat wilayah Rawa Bangke ada pabrik es yang sekarang jadi pasar batu akik," katanya.
Di sekitaran Rawa Bangke ada musala yang dibangun Datuk Biru. Dinamakan demikian karena selalu memakai baju biru. Menurut cerita dari mulut ke mulut Datuk itu adalah pengikut Pangeran Mataram yang menyerbu Batavia pada 1629. Dulu tentara Mataram bermukim di sana. Di sekeliling musala itu masih banyak pohon sawo.
Haji Sanap menuturkan pada masa perang kemerdekaan di Jatinegara, pertempuran terjadi di wilayah Senen, Pecenongan, dan Pulogadung. Markas tentara Indonesia di Klender. Tokohnya Kiai Haji Darip dan Kiai Hasbullah. Di Ujung Harapan ada KH Noer Ali.
Haji Sanap juga ikut bertempur melawan pasukan Inggris. “Semasa revolusi nggak ada Belanda yang buang mayat di Rawa Bangke,” ujarnya.
Selain itu, Belanda banyak bunuh orang kampung di Pondok Gede. Pejuang kita tidak bikin markas di Jatinegara, kalau lari ke Pondok Gede. Memang ada yang ditangkap di Mester Cornelis, tapi sepengetahuan Haji Sanap tidak ada yang dibunuh di situ. Seingatnya di Bioskop Nusantara itu ada gang kecil. Dahulu itu markas Belanda dan tempat menahan pejuang.
Menurut Haji Sanap, penduduk kita banyak yang mati pada 1947-1949. Tentara Belanda banyak pakai spionase atau mata-mata. Kalau ada rumah yang ditunjuk spionase, mereka main bakar saja. “Di Klender yang jadi Markas Brimob dulunya markas Belanda, di sana kami pernah merampas satu peti granat. Sekarang banyak sepuh yang sudah meninggal dan mereka tahu banget asal Rawa Bangke," ujarnya.
Nama Rawa Bangke berasal dari kata bangkai. Suku Betawi kemudian melafalkan bangkai dengan bangke, maka terucaplah nama bangke. Kini Rawa Bangke berganti nama menjadi Rawa Bunga untuk menghilangkan kesan seram.
Baca juga: Jejak Curhat Tulisan Tangan pada Kasus Mayat Pria di Indekos Jakbar
Dikutip dari Lembaga Kebudayaan Betawi dan Ensiklopedia Betawi, Sabtu (16/10/2021), nama Rawa Bangke berasal dari bau bangkai yang disebabkan oleh dibuangnya para pemberontak Tionghoa di rawa tersebut hingga membusuk. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1740.
Pada zaman dahulu di Jatinegara ke utara merupakan daerah rawa yang sangat luas. Di antara sekian banyak rawa itu terdapat satu daerah yang tidak aman. Ini disebabkan seringnya terjadi pembunuhan di wilayah tersebut. Karena banyaknya pembunuhan, bangkai-bangkai manusia akhirnya tidak sempat lagi dibuang jauh-jauh, namun dibiarkan begitu saja di rawa-rawa.
Tidak mengherankan kalau di wilayah itu akhirnya banyak terdapat bangkai. Lama-kelamaan karena penduduk semakin banyak, rawa-rawa itu dijadikan daerah perkampungan untuk dihuni manusia. Lantaran awalnya daerah itu timbunan bangkai manusia, kemudian dinamakan Rawa Bangkai.
Orang Betawi di Jakarta menyebutnya Rawa Bangke sesuai logat Suku Betawi. Selain itu, ada juga satu cerita rakyat yang mengisahkan tentang awal mula daerah Rawa Bangke berjudul Si Hamsyah.
Salah satu sesepuh di Rawa Bunga Haji Sanap menuturkan ada banyak cerita tentang asal muasal nama Rawa Bangke. Dari cerita kakeknya selain pembantaian etnis Tionghoa yang memberontak di Rawa Bangke adalah tempat pembuangan mayat korban perampokan.
Baca juga: Mayat Wanita Ditemukan Membusuk di Kolong Fly Over Tanah Abang
Haji Sanap yang sudah berusia 86 tahun ini mengatakan, banyak juga yang bilang bau busuk dari mayat-mayat yang dibuang oleh para perampok yang zaman Belanda dinamakan begal. Mereka membuang mayat untuk menghilangkan jejak.
"Waktu zaman Belanda saya masih kecil melewati rawa-rawa itu hampir setengahnya hutan. Saya ngeri kalau melewati daerah itu. Kendaraan yang banyak lewat zaman itu adalah sepeda. Di dekat wilayah Rawa Bangke ada pabrik es yang sekarang jadi pasar batu akik," katanya.
Di sekitaran Rawa Bangke ada musala yang dibangun Datuk Biru. Dinamakan demikian karena selalu memakai baju biru. Menurut cerita dari mulut ke mulut Datuk itu adalah pengikut Pangeran Mataram yang menyerbu Batavia pada 1629. Dulu tentara Mataram bermukim di sana. Di sekeliling musala itu masih banyak pohon sawo.
Haji Sanap menuturkan pada masa perang kemerdekaan di Jatinegara, pertempuran terjadi di wilayah Senen, Pecenongan, dan Pulogadung. Markas tentara Indonesia di Klender. Tokohnya Kiai Haji Darip dan Kiai Hasbullah. Di Ujung Harapan ada KH Noer Ali.
Haji Sanap juga ikut bertempur melawan pasukan Inggris. “Semasa revolusi nggak ada Belanda yang buang mayat di Rawa Bangke,” ujarnya.
Selain itu, Belanda banyak bunuh orang kampung di Pondok Gede. Pejuang kita tidak bikin markas di Jatinegara, kalau lari ke Pondok Gede. Memang ada yang ditangkap di Mester Cornelis, tapi sepengetahuan Haji Sanap tidak ada yang dibunuh di situ. Seingatnya di Bioskop Nusantara itu ada gang kecil. Dahulu itu markas Belanda dan tempat menahan pejuang.
Menurut Haji Sanap, penduduk kita banyak yang mati pada 1947-1949. Tentara Belanda banyak pakai spionase atau mata-mata. Kalau ada rumah yang ditunjuk spionase, mereka main bakar saja. “Di Klender yang jadi Markas Brimob dulunya markas Belanda, di sana kami pernah merampas satu peti granat. Sekarang banyak sepuh yang sudah meninggal dan mereka tahu banget asal Rawa Bangke," ujarnya.
(jon)