Sidang Kasus Pidana Pasar Modal, Mantan Bos AISA Merasa Dikriminalisasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sidang kasus dugaan tindak pidana pasar modal dengan agenda meminta keterangan dari terdakwa mantan Direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPSF/AISA ) Joko Mogoginta dan Budhi Istanto Suwito kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam sidang tersebut terdakwa Joko Mogoginta mengaku dikriminalisasi sehingga harus duduk di meja hijau. Hal itu karena Laporan Keuangan Tahunan (LKT) PT TPSF 2017 yang menjadi objek perkara dibuat oleh CFO (Chief Financial Officer) perusahaan, Sjambiri Lioe. Laporan keuangan juga telah diaudit oleh auditor independen dengan opini WTP, dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan dibahas di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Selain itu, terdakwa mengaku tidak ada korban yang dirugikan atas penyajian dalam Laporan Keuangan yang dipermasalahkan. "Saya merasa dikriminalisasi yang mulia, dizalimi," kata Joko Mogoginta di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 28 April 2021.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Hakim Akhmad Sayuti meminta terdakwa mempercayakannya kepada majelis hakim. Karena pihaknya akan menjatuhkan putusan secara benar dan adil. "Soal kriminalisasi atau bukan itu terbuka di persidangan. Kalau saudara tidak bersalah akan dibebaskan, tapi kalau saudara terbukti (bersalah) ya dihukum," kata Sayuti.
Seperti diketahui, Joko Mogoginta dan Budhi Istanto didakwa melanggar pasal 90 huruf a Jo Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 90 huruf c Jo. Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 93 Jo. Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 107 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1. Dakwaan tersebut dibuat dan disusun atas dugaan kesalahan penyajian pihak berelasi menjadi pihak ketiga; dan dugaan Penggelembuangan nilai piutang PT. TPSF (AISA) atas Laporan Keuangan Tahunan untuk Tahun Buku 2017.
Ketika dimintai keterangan lebih lanjut usai persidangan, Joko Mogoginta mengatakan pencatatan enam perusahaan berelasi menjadi pihak ketiga sudah terjadi sejak 2011, dan atas laporan keuangan tersebut sejak 2011 sampai 2016 organ tertinggi perseroan (RUPS) telah menerima dan tidak mempermasalahkan laporan keuangan tesebut. Bahkan OJK juga telah menerima LKT TPSF sejak 2011-2016, dan LKT tersebut sudah diaudit oleh Auditor Independen. "Kenapa pada 2017 justru dipermasalahkan oleh komisaris Hengky Koestanto, yang mana dia membuat juga yang dipermasalahkan ini sekarang. Inilah yang disebut kriminalisasi, yang membuat saya duduk di sini (sebagai terdakwa)," kata Joko.
Bahkan, lanjut Joko, pada LKT 2018 pun ketika posisi Direktur Utama dijabat oleh Hengky Koestanto, enam perusahaan distributor tersebut juga ditempatkan sebagai pihak ketiga dengan tambahan catatan tapi tidak dipersoalkan oleh OJK. Joko Mogoginta selanjutnya menawarkan upaya perdamaian dengan pihak-pihak yang selam ini berseberangan dengannya. "Marilah kita berdamai, karena perdamaian adalah hal yang indah dan terbaik bagi kita semua," katanya.
Senada, Budhi Istianto menilai seharusnya pihak yang bertanggung jawab dalam Laporan Keuangan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food adalah Sjambiri Lioe. Pasalnya, Sjambiri merupakan CFO, yang dalam struktur PT. AISA setara dengan direktur keuangan. "Saya juga tidak tahu kenapa Sjambiri tidak mau dicatat di akta perusahaan secara resmi sebagai direktur keuangan. Padahal jelas-jelas CFO memiliki tugas yang sama dengan dengan direktur keuangan. Dan Sjambiri itu juga direkrut langsung oleh Hengky Koestanto," jelas Budi.
Di tempat yang sama, kuasa hukum terdakwa, Zaid memaparkan soal penggelembungan angka piutang yang dipermasalahkan dalam dakwaan. Menurutnya, sesuai fakta persidangan, peningkatan angka piutang tersebut juga atas inisiatif dari Sjambiri. Meski awalnya membantah, Sjambiri tak berkutik setelah hakim mengkonfrontasinya dengan anggotanya sendiri, salah satunya Hartanto. "Setelah dikonfrontir, baru diketahui Sjambiri yang memerintahkan Hartanto untuk melakukan peningkatan piutang keuangan," tegas Zaid.
Zaid menegaskan terdakwa seharusnya tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam POJK No.75 tahun 2017 Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi: “Dalam hal laporan keuangan yang disampaikan telah di audit atau ditelaah secara terbatas, tanggung jawab Direksi atas pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berlaku sampai dengan tanggal pendapat akuntan”
"Kemudian Pak Joko dan Pak Budhi menandatangani laporan keuangan tersebut atas perintah POJK juga, yang memerintahkan direksi menandatangani pernyataan laporan keuangan," katanya.
Lebih jauh Zaid juga mengaku bingung, apa yang membuat kliennya sampai diseret ke ranah pidana. Dia membandingkan dengan kasus serupa dimana OJK memberikan hukuman berupa sanksi administrasi atau Perintah Tertulis terhadap PT. Hanson Internasional dalam kasus Jiwasraya. "Ini kasus pertama yang dipidanakan, kami juga tidak mengerti. Padahal sesuai asas ultimum remedium, sanksi pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam penegakan hukum," katanya.
Sementara itu Jaksa Penuntut Umum saat diajukan pertanyaan seputar perkara ini menyatakan tidak bersedia untuk berkomentar.
Dalam sidang tersebut terdakwa Joko Mogoginta mengaku dikriminalisasi sehingga harus duduk di meja hijau. Hal itu karena Laporan Keuangan Tahunan (LKT) PT TPSF 2017 yang menjadi objek perkara dibuat oleh CFO (Chief Financial Officer) perusahaan, Sjambiri Lioe. Laporan keuangan juga telah diaudit oleh auditor independen dengan opini WTP, dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan dibahas di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Selain itu, terdakwa mengaku tidak ada korban yang dirugikan atas penyajian dalam Laporan Keuangan yang dipermasalahkan. "Saya merasa dikriminalisasi yang mulia, dizalimi," kata Joko Mogoginta di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 28 April 2021.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Hakim Akhmad Sayuti meminta terdakwa mempercayakannya kepada majelis hakim. Karena pihaknya akan menjatuhkan putusan secara benar dan adil. "Soal kriminalisasi atau bukan itu terbuka di persidangan. Kalau saudara tidak bersalah akan dibebaskan, tapi kalau saudara terbukti (bersalah) ya dihukum," kata Sayuti.
Seperti diketahui, Joko Mogoginta dan Budhi Istanto didakwa melanggar pasal 90 huruf a Jo Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 90 huruf c Jo. Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 93 Jo. Pasal 104 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHPidana; Pasal 107 UU Pasar Modal Jo. Pasal 55 ayat 1 Ke-1. Dakwaan tersebut dibuat dan disusun atas dugaan kesalahan penyajian pihak berelasi menjadi pihak ketiga; dan dugaan Penggelembuangan nilai piutang PT. TPSF (AISA) atas Laporan Keuangan Tahunan untuk Tahun Buku 2017.
Ketika dimintai keterangan lebih lanjut usai persidangan, Joko Mogoginta mengatakan pencatatan enam perusahaan berelasi menjadi pihak ketiga sudah terjadi sejak 2011, dan atas laporan keuangan tersebut sejak 2011 sampai 2016 organ tertinggi perseroan (RUPS) telah menerima dan tidak mempermasalahkan laporan keuangan tesebut. Bahkan OJK juga telah menerima LKT TPSF sejak 2011-2016, dan LKT tersebut sudah diaudit oleh Auditor Independen. "Kenapa pada 2017 justru dipermasalahkan oleh komisaris Hengky Koestanto, yang mana dia membuat juga yang dipermasalahkan ini sekarang. Inilah yang disebut kriminalisasi, yang membuat saya duduk di sini (sebagai terdakwa)," kata Joko.
Bahkan, lanjut Joko, pada LKT 2018 pun ketika posisi Direktur Utama dijabat oleh Hengky Koestanto, enam perusahaan distributor tersebut juga ditempatkan sebagai pihak ketiga dengan tambahan catatan tapi tidak dipersoalkan oleh OJK. Joko Mogoginta selanjutnya menawarkan upaya perdamaian dengan pihak-pihak yang selam ini berseberangan dengannya. "Marilah kita berdamai, karena perdamaian adalah hal yang indah dan terbaik bagi kita semua," katanya.
Senada, Budhi Istianto menilai seharusnya pihak yang bertanggung jawab dalam Laporan Keuangan PT. Tiga Pilar Sejahtera Food adalah Sjambiri Lioe. Pasalnya, Sjambiri merupakan CFO, yang dalam struktur PT. AISA setara dengan direktur keuangan. "Saya juga tidak tahu kenapa Sjambiri tidak mau dicatat di akta perusahaan secara resmi sebagai direktur keuangan. Padahal jelas-jelas CFO memiliki tugas yang sama dengan dengan direktur keuangan. Dan Sjambiri itu juga direkrut langsung oleh Hengky Koestanto," jelas Budi.
Di tempat yang sama, kuasa hukum terdakwa, Zaid memaparkan soal penggelembungan angka piutang yang dipermasalahkan dalam dakwaan. Menurutnya, sesuai fakta persidangan, peningkatan angka piutang tersebut juga atas inisiatif dari Sjambiri. Meski awalnya membantah, Sjambiri tak berkutik setelah hakim mengkonfrontasinya dengan anggotanya sendiri, salah satunya Hartanto. "Setelah dikonfrontir, baru diketahui Sjambiri yang memerintahkan Hartanto untuk melakukan peningkatan piutang keuangan," tegas Zaid.
Zaid menegaskan terdakwa seharusnya tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam POJK No.75 tahun 2017 Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi: “Dalam hal laporan keuangan yang disampaikan telah di audit atau ditelaah secara terbatas, tanggung jawab Direksi atas pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berlaku sampai dengan tanggal pendapat akuntan”
"Kemudian Pak Joko dan Pak Budhi menandatangani laporan keuangan tersebut atas perintah POJK juga, yang memerintahkan direksi menandatangani pernyataan laporan keuangan," katanya.
Lebih jauh Zaid juga mengaku bingung, apa yang membuat kliennya sampai diseret ke ranah pidana. Dia membandingkan dengan kasus serupa dimana OJK memberikan hukuman berupa sanksi administrasi atau Perintah Tertulis terhadap PT. Hanson Internasional dalam kasus Jiwasraya. "Ini kasus pertama yang dipidanakan, kami juga tidak mengerti. Padahal sesuai asas ultimum remedium, sanksi pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam penegakan hukum," katanya.
Sementara itu Jaksa Penuntut Umum saat diajukan pertanyaan seputar perkara ini menyatakan tidak bersedia untuk berkomentar.
(cip)