Jejak Sejarah Mbah Priok hingga Lekat dengan Tanjung Priok
loading...
A
A
A
JAKARTA - Makam Mbah Priok yang berada di Pelabuhan Tanjung Priok , Koja, Jakarta Utara dikenal makam keramat oleh masyarakat. Makam ini pernah ingin digusur oleh Pemprov DKI Jakarta, namun gagal menyusul terjadi bentrokan dengan warga yang ingin makam Mbah Priok dipertahankan.
Sebenarnya nama Mbah Priok adalah Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain Ass Syafi'i Sunnira. Dikutip dari berbagai sumber pada Senin (5/4/2021), Al Habib Hasan merupakan penyebar agama Islam di Batavia pada abad ke-18.
Baca juga: Jejak De Groote Rivier Batavia, Tempatnya Kaum Borjuis Jakarta di Masa Lalu
Habib Hasan dilahirkan di Palembang pada 1727. Tahun 1756, Habib Hasan bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad pergi ke Pulau Jawa untuk menjalankan misi dakwah Islam. Mereka berlayar menuju Batavia selama dua bulan.
Dalam perjalanannya, Habib mendapatkan banyak rintangan, salah satunya dihadang armada Belanda dengan persenjataan lengkap. Tanpa peringatan, kapal Habib dibombardir meriam, namun tak satupun mengenai kapal.
Lolos dari kejaran kapal Belanda, kapal Habib ditabrak ombak besar. Semua perlengkapan di kapal hanyut bersama gelombang. Yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan.
Selanjutnya, ombak lebih besar datang menghantam lebih keras sehingga kapal Habib terbalik. Dua ulama itu terseret ombak.
Habib Hasan ditemukan warga dalam keadaan sudah meninggal. Sedangkan Habib Ali masih hidup. Di samping keduanya, terdapat periuk dan sebuah dayung.
Setelah Habib Hasan wafat, Habib Ali yang selamat menetap di daerah itu hingga beberapa lama kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa dan menetap selamanya di wilayah tersebut.
Baca juga: Selidiki Kasus Narkoba di Jakarta, Begini Penampilan Jenderal Hoegeng Menyamar Jadi Hippies
Di makam Habib Hasan ditancapkan dayung sebagai nisan yang lama kelamaan di sekitarnya tumbuh berkembang pohon Tanjung. Sedangkan, periuk yang tadinya berada di sisi makam terus bergeser ke tengah laut. Konon menurut warga, setiap 3-4 tahun periuk itu muncul di lautan dengan ukuran makin membesar. Dari peristiwa itulah nama Tanjung Priok mulai dilekatkan di kawasan utara Jakarta ini.
Singkat cerita, Belanda ingin membangun pelabuhan peti kemas di Tanjung Priok. Belanda berencana memindahkan makam Mbah Priok yang awalnya berada di Pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah pelabuhan peti kemas Koja Utara. Namun, rencana itu gagal lantaran ada makam keramat di sana.
Makam Habib Hasan bin Al Haddad atau Mbah Priok. Foto: jakarta-tourism.go.id
Tanjung Priok Versi Sejarawan
Dalam Buku Saku Kasus Mbah Priok karya Ahmad Sayfi'i Mufid, Robi Nurhadi, dan KH Zulfa Mustofa, sejarawan Ridwan Saidi menuturkan Tanjung Priok tidak bisa dikaitkan dengan Mbah Priok.
Nama Tanjung Priok justru terkait Aki Tirem, penghulu atau pemimpin daerah Warakas yang tersohor sebagai pembuat priok (periuk). Sedangkan, kata Tanjung merujuk pada kontur tanah yang menjorok ke laut atau tanjung.
Buku itu juga mempertanyakan Risalah Manaqib yang dikemukakan ahli waris Mbah Priok. Dalam risalah tersebut, Mbah Priok disebut sebagai penyiar Islam yang lahir pada 1727 di Palembang kemudian pergi ke Batavia setelah dewasa untuk menyebarkan agama Islam.
Dia meninggal pada 1756 dalam usia 29 tahun sebelum sampai ke Batavia. Mbah Priok kemudian dikubur dekat pantai dengan nisan kayu dayung berhias priok nasi di sisi makamnya. Kayu dayung itu cepat tumbuh menjadi pohon tanjung. Dari situlah nama Tanjung Priok muncul.
Akan tetapi, Buku Saku Kasus Mbah Priok menyatakan Mbah Priok sebenarnya lahir pada tahun 1874 dan meninggal pada 1927.
Baca juga: Kisah Tragis Fientje de Feniks, PSK Primadona Batavia yang Dibunuh Petinggi Belanda
“Jauh sebelum Mbah Priok ada, nama Tanjung Priok sudah lebih dulu dikenal, bahkan sudah disebut dalam naskah Sunda abad ke-16,” ujar Ridwan Saidi, dalam Buku Saku Kasus Mbah Priok karya Ahmad Sayfi'i Mufid, Robi Nurhadi, dan KH Zulfa Mustofa.
Sementara, Alwi Shahab, dalam buku tersebut juga menyatakan jika dilihat dari sumber-sumber sejarah di kalangan kelompok Arab-Hadramaut, Habib Hasan tak mungkin lahir pada 1727, sementara dia keturunan ketiga (cicit) Habib Hamid Mufti dari Palembang yang lahir pada tahun 1750 dan wafat pada 19 Juli 1820.
Pelabuhan Tanjung Priok tempo dulu. Foto: encyclopedia.jakarta-tourism.go.id
Kejanggalan lainnya yakni pada 1877 pemerintah Belanda mulai melaksanakan proyek pelabuhan yang dinamai Haven Tanjung Priok. Sedangkan, saat itu Habib Hasan baru berusia tiga tahun dan tinggal di Palembang.
Dalam buku itu juga dijelaskan bahwa Habib Hasan berangkat ke Batavia dan tertimpa musibah hingga akhirnya meninggal pada tahun 1927 di mana Haven Tanjung Priok sudah lebih dulu tersohor.
Bahkan, kata Alwi Shahab, pelabuhan Tanjung Priok dibangun lebih dulu dibandingkan makam tersebut. Pelabuhan dibangun karena saat itu pelabuhan Sunda Kelapa sudah tidak mampu lagi menampung kapal yang datang akibat pembukaan Terusan Suez.
Nama pelabuhan Haven Tanjung Priok juga tercatat dalam buku-buku catatan perjalanan wisatawan mancanegara ke Hindia Belanda. Misalnya E.R. Scidmore, turis asal Amerika yang datang ke Pulau Jawa pada 1890 dan menuliskan pengalamannya saat tiba di Haven Tanjung Priok.
Lihat Juga: Ikuti Kebijakan Pusat, Pemprov DKI Jakarta Pastikan Program Bansos Tidak Berkaitan dengan Masa Pilkada
Sebenarnya nama Mbah Priok adalah Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain Ass Syafi'i Sunnira. Dikutip dari berbagai sumber pada Senin (5/4/2021), Al Habib Hasan merupakan penyebar agama Islam di Batavia pada abad ke-18.
Baca juga: Jejak De Groote Rivier Batavia, Tempatnya Kaum Borjuis Jakarta di Masa Lalu
Habib Hasan dilahirkan di Palembang pada 1727. Tahun 1756, Habib Hasan bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad pergi ke Pulau Jawa untuk menjalankan misi dakwah Islam. Mereka berlayar menuju Batavia selama dua bulan.
Dalam perjalanannya, Habib mendapatkan banyak rintangan, salah satunya dihadang armada Belanda dengan persenjataan lengkap. Tanpa peringatan, kapal Habib dibombardir meriam, namun tak satupun mengenai kapal.
Lolos dari kejaran kapal Belanda, kapal Habib ditabrak ombak besar. Semua perlengkapan di kapal hanyut bersama gelombang. Yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan.
Selanjutnya, ombak lebih besar datang menghantam lebih keras sehingga kapal Habib terbalik. Dua ulama itu terseret ombak.
Habib Hasan ditemukan warga dalam keadaan sudah meninggal. Sedangkan Habib Ali masih hidup. Di samping keduanya, terdapat periuk dan sebuah dayung.
Setelah Habib Hasan wafat, Habib Ali yang selamat menetap di daerah itu hingga beberapa lama kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa dan menetap selamanya di wilayah tersebut.
Baca juga: Selidiki Kasus Narkoba di Jakarta, Begini Penampilan Jenderal Hoegeng Menyamar Jadi Hippies
Di makam Habib Hasan ditancapkan dayung sebagai nisan yang lama kelamaan di sekitarnya tumbuh berkembang pohon Tanjung. Sedangkan, periuk yang tadinya berada di sisi makam terus bergeser ke tengah laut. Konon menurut warga, setiap 3-4 tahun periuk itu muncul di lautan dengan ukuran makin membesar. Dari peristiwa itulah nama Tanjung Priok mulai dilekatkan di kawasan utara Jakarta ini.
Singkat cerita, Belanda ingin membangun pelabuhan peti kemas di Tanjung Priok. Belanda berencana memindahkan makam Mbah Priok yang awalnya berada di Pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah pelabuhan peti kemas Koja Utara. Namun, rencana itu gagal lantaran ada makam keramat di sana.
Makam Habib Hasan bin Al Haddad atau Mbah Priok. Foto: jakarta-tourism.go.id
Tanjung Priok Versi Sejarawan
Dalam Buku Saku Kasus Mbah Priok karya Ahmad Sayfi'i Mufid, Robi Nurhadi, dan KH Zulfa Mustofa, sejarawan Ridwan Saidi menuturkan Tanjung Priok tidak bisa dikaitkan dengan Mbah Priok.
Nama Tanjung Priok justru terkait Aki Tirem, penghulu atau pemimpin daerah Warakas yang tersohor sebagai pembuat priok (periuk). Sedangkan, kata Tanjung merujuk pada kontur tanah yang menjorok ke laut atau tanjung.
Buku itu juga mempertanyakan Risalah Manaqib yang dikemukakan ahli waris Mbah Priok. Dalam risalah tersebut, Mbah Priok disebut sebagai penyiar Islam yang lahir pada 1727 di Palembang kemudian pergi ke Batavia setelah dewasa untuk menyebarkan agama Islam.
Dia meninggal pada 1756 dalam usia 29 tahun sebelum sampai ke Batavia. Mbah Priok kemudian dikubur dekat pantai dengan nisan kayu dayung berhias priok nasi di sisi makamnya. Kayu dayung itu cepat tumbuh menjadi pohon tanjung. Dari situlah nama Tanjung Priok muncul.
Akan tetapi, Buku Saku Kasus Mbah Priok menyatakan Mbah Priok sebenarnya lahir pada tahun 1874 dan meninggal pada 1927.
Baca juga: Kisah Tragis Fientje de Feniks, PSK Primadona Batavia yang Dibunuh Petinggi Belanda
“Jauh sebelum Mbah Priok ada, nama Tanjung Priok sudah lebih dulu dikenal, bahkan sudah disebut dalam naskah Sunda abad ke-16,” ujar Ridwan Saidi, dalam Buku Saku Kasus Mbah Priok karya Ahmad Sayfi'i Mufid, Robi Nurhadi, dan KH Zulfa Mustofa.
Sementara, Alwi Shahab, dalam buku tersebut juga menyatakan jika dilihat dari sumber-sumber sejarah di kalangan kelompok Arab-Hadramaut, Habib Hasan tak mungkin lahir pada 1727, sementara dia keturunan ketiga (cicit) Habib Hamid Mufti dari Palembang yang lahir pada tahun 1750 dan wafat pada 19 Juli 1820.
Pelabuhan Tanjung Priok tempo dulu. Foto: encyclopedia.jakarta-tourism.go.id
Kejanggalan lainnya yakni pada 1877 pemerintah Belanda mulai melaksanakan proyek pelabuhan yang dinamai Haven Tanjung Priok. Sedangkan, saat itu Habib Hasan baru berusia tiga tahun dan tinggal di Palembang.
Dalam buku itu juga dijelaskan bahwa Habib Hasan berangkat ke Batavia dan tertimpa musibah hingga akhirnya meninggal pada tahun 1927 di mana Haven Tanjung Priok sudah lebih dulu tersohor.
Bahkan, kata Alwi Shahab, pelabuhan Tanjung Priok dibangun lebih dulu dibandingkan makam tersebut. Pelabuhan dibangun karena saat itu pelabuhan Sunda Kelapa sudah tidak mampu lagi menampung kapal yang datang akibat pembukaan Terusan Suez.
Nama pelabuhan Haven Tanjung Priok juga tercatat dalam buku-buku catatan perjalanan wisatawan mancanegara ke Hindia Belanda. Misalnya E.R. Scidmore, turis asal Amerika yang datang ke Pulau Jawa pada 1890 dan menuliskan pengalamannya saat tiba di Haven Tanjung Priok.
Lihat Juga: Ikuti Kebijakan Pusat, Pemprov DKI Jakarta Pastikan Program Bansos Tidak Berkaitan dengan Masa Pilkada
(jon)