Terdakwa Politik Uang Pilkada Tangsel Ajukan PK ke Mahkamah Agung
loading...
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Terdakwa kasus membagi-bagikan uang dalam Pilkada Tangsel 2020, Willly Prakarsa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara yang dialaminya ke Mahkamah Agung (MA). Pengajuan PK dilakukan melalui Pengadilan Negeri (PN) Tangerang.
Dalam perkara itu, Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI 98) ini divonis 36 bulan dan denda Rp200 juta subsidaer 1 bulan penjara. Saat ini, Willy dipenjara di Lapas Pemuda Tangerang.
Kuasa hukum terdakwa, Andi Arizal mengatakan, alasan pihaknya mengajukan PK karena ada novum atau fakta-fakta baru yang akan dihadirkan dalam persidangan. Mulai dari keterangan saksi, hingga video yang tidak ada pada sidang pertama.
"Novum kemarin lebih kepada saksi-saksi, ditambah bukti-bukti baru. Ada banyak. Ada video yang pada saat itu tidak ada pada sidang pertama. Kemudian putusan MK yang memenangkan calon nomor 3," ujar Andi kepada SINDOnews, Senin (29/3/2021).
Andi membantah Willly Prakarsa sempat melarikan diri saat ditangkap. Dia melanjutkan, info itu menyesatkan, karena faktanya tidak ada pemanggilan tahap dua terhadap Willy. Telepon genggamnya juga aktif 24 jam dan bisa dihubungi.
"HP dia selalu aktif dan tahap kedua tidak pernah ada panggilan. Padahal, pemanggilan pada kenaikan status harus ada prosedurnya. Makanya kami melihat ada grand design. Dan ini perkara Pilkada, kok klien kami diperlakukan seperti itu," tuturnya.
Melalui PK itu, pihaknya berharap kasus yang dialami Willy bisa menjadi jelas. Apalagi, dalam dakwaan jaksa, kasus nyawer Willly dikaitkan dengan aksinya di Pilpres 2019, di mana dia jadi salah satu tim pemenangan Presiden Joko Widodo-Maarif Amin.
"Untuk Pilpres ini harus dibedakan, ini kan sengketa pilkada. Kalau Pilpres 2019 kan sudah selesai. Kenapa perkara ini digeser ke Pilpres? Kenapa perkara Pilkada dikaitkan dengan pilpres," jelasnya.
Sementara itu, Ito Suhardi, kuasa hukum terdakwa lainnya mengatakan, PK merupakan upaya hukum terhadap putusan yang sudah inkrah. Melalui upaya hukum tersebut, dia berharap Willy bisa bebas dari jeratan hukum yang yang telah dijalaninya saat ini.
"Harapan kita, dakwaan jaksa itu dibatalkan atau Willy bisa bebas dari jeratan hukum. Kita yakin 100% PK ini akan dikabulkan. Jadi, nyawer itu bukan nyawer, tapi memang kebiasaan di sana," ungkapnya.
Berdasarkan pantauan di ruang sidang, persidangan berjalan cepat, tidak sampai 30 menit.
Setelah pemeriksaan berkas dan bukti baru, Ketua Majelis Hakim PN Tangerang Ferdinand Marcus Leander yang diganti Sri Suhalini langsung menutup sidang. Dalam persidangan itu, Willy sendiri terlihat sangat santai dengan kemeja warna biru. "Nanti majelis PK Mahkamah Agung yang akan memutuskan perkaranya. Sidang selesai," ucap Hakim Sri Suhalini.
Dalam perkara itu, Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI 98) ini divonis 36 bulan dan denda Rp200 juta subsidaer 1 bulan penjara. Saat ini, Willy dipenjara di Lapas Pemuda Tangerang.
Kuasa hukum terdakwa, Andi Arizal mengatakan, alasan pihaknya mengajukan PK karena ada novum atau fakta-fakta baru yang akan dihadirkan dalam persidangan. Mulai dari keterangan saksi, hingga video yang tidak ada pada sidang pertama.
"Novum kemarin lebih kepada saksi-saksi, ditambah bukti-bukti baru. Ada banyak. Ada video yang pada saat itu tidak ada pada sidang pertama. Kemudian putusan MK yang memenangkan calon nomor 3," ujar Andi kepada SINDOnews, Senin (29/3/2021).
Andi membantah Willly Prakarsa sempat melarikan diri saat ditangkap. Dia melanjutkan, info itu menyesatkan, karena faktanya tidak ada pemanggilan tahap dua terhadap Willy. Telepon genggamnya juga aktif 24 jam dan bisa dihubungi.
"HP dia selalu aktif dan tahap kedua tidak pernah ada panggilan. Padahal, pemanggilan pada kenaikan status harus ada prosedurnya. Makanya kami melihat ada grand design. Dan ini perkara Pilkada, kok klien kami diperlakukan seperti itu," tuturnya.
Melalui PK itu, pihaknya berharap kasus yang dialami Willy bisa menjadi jelas. Apalagi, dalam dakwaan jaksa, kasus nyawer Willly dikaitkan dengan aksinya di Pilpres 2019, di mana dia jadi salah satu tim pemenangan Presiden Joko Widodo-Maarif Amin.
"Untuk Pilpres ini harus dibedakan, ini kan sengketa pilkada. Kalau Pilpres 2019 kan sudah selesai. Kenapa perkara ini digeser ke Pilpres? Kenapa perkara Pilkada dikaitkan dengan pilpres," jelasnya.
Sementara itu, Ito Suhardi, kuasa hukum terdakwa lainnya mengatakan, PK merupakan upaya hukum terhadap putusan yang sudah inkrah. Melalui upaya hukum tersebut, dia berharap Willy bisa bebas dari jeratan hukum yang yang telah dijalaninya saat ini.
"Harapan kita, dakwaan jaksa itu dibatalkan atau Willy bisa bebas dari jeratan hukum. Kita yakin 100% PK ini akan dikabulkan. Jadi, nyawer itu bukan nyawer, tapi memang kebiasaan di sana," ungkapnya.
Berdasarkan pantauan di ruang sidang, persidangan berjalan cepat, tidak sampai 30 menit.
Setelah pemeriksaan berkas dan bukti baru, Ketua Majelis Hakim PN Tangerang Ferdinand Marcus Leander yang diganti Sri Suhalini langsung menutup sidang. Dalam persidangan itu, Willy sendiri terlihat sangat santai dengan kemeja warna biru. "Nanti majelis PK Mahkamah Agung yang akan memutuskan perkaranya. Sidang selesai," ucap Hakim Sri Suhalini.
(hab)