Pengadilan Proses Mencari Fakta, Pemenang Perkara Tak Bisa Disebut Mafia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sengketa tanah di pengadilan adalah proses mencari fakta dan keadilan untuk para pihak sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, tidak tepat jika ada tuduhan pemenang dari proses pengadilan adalah mafia tanah.
Demikian dikatakan oleh Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Bambang Nurcahyono ketika dihubungi wartawan berkaitan dengan ramainya perbincangan publik mengenai mafia tanah setelah Presiden Joko Widodo menegaskan akan memberantas mereka. Justru, kata Bambang, pihak yang memenangkan proses hukum di pengadilan harus dihormati dan mendapat kepastian hukum. Putusan pengadilan harus dipatuhi semua pihak.
"Oh, tidak (bisa disebut mafia tanah). Karena kan tetap seseorang itu mengajukan persidangan kasus tanah itu berdasarkan bukti yang diterima. Pengadilan membuktikan menerima bukti-bukti otentik yang berada di persidangan. Semakin dia bisa membuktikan tanah bukti-bukti tersebut. Tentunya pengadilan akan mengabulkan, karena kan pada asasnya kalau dalam perkara perdata adalah bukti formalitas yang utama, bukti formil, selain juga mencari kebenaran materiil," jelasnya.
Berkaitan dengan proses pembebasan tanah oleh pemerintah maupun swasta, yang biasanya menimbulkan perkara pidana maupun perdata antarberbagai pihak, Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan hal itu tidak selalu dapat dimaknai subjektif dengan memunculkan stigma mafia tanah secara pukul rata.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Tangerang, Banten, berkaitan dengan kepemilikan 400 hektare lahan oleh PT Bangun Laksana Persada (BLP) yang bergerak di bidang properti di Kecamatan Pakuhaji dan 70 hektare lahan oleh PT Tanjung Unggul Mandiri (TUM) yang bergerak di bidang peternakan sapi.
Padahal pada awal Maret 2021, DPRD Kabupaten Tangerang telah melakukan konfirmasi terhadap para pihak. Perwakilan perusahaan hadir dan memberikan penjelasan mengenai perizinan, perolehan tanah, dan rencana pengembangan lahan sesuai legalitas yang sah.
Berdasarkan penelusuran dokumen terdapat putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 10 PK/TUN/2020 dengan para pihak Ahmad Ghozali sebagai Pemohon PK dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang sebagai Termohon PK I dan Tonny Permana sebagai Termohon PK II yang memutuskan, mengadili:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan batal sertifikat hak milik nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, gambar situsi nomor 23089, tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110m2 atas nama Tonny Permana.
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut sertifikat hak milik nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, gambar situsi nomor 23089, tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110m2 atas nama Tonny Permana.
4. Menghukum Termohon Peninjauan Kembali I dan Termohon Peninjaun Kembali II membayar biaya perkara pada semua tingkat pengadilan, yang pada Peninjauan Kembali ditetapkan sejumlah Rp2.500.000.
Demikian dikatakan oleh Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Bambang Nurcahyono ketika dihubungi wartawan berkaitan dengan ramainya perbincangan publik mengenai mafia tanah setelah Presiden Joko Widodo menegaskan akan memberantas mereka. Justru, kata Bambang, pihak yang memenangkan proses hukum di pengadilan harus dihormati dan mendapat kepastian hukum. Putusan pengadilan harus dipatuhi semua pihak.
"Oh, tidak (bisa disebut mafia tanah). Karena kan tetap seseorang itu mengajukan persidangan kasus tanah itu berdasarkan bukti yang diterima. Pengadilan membuktikan menerima bukti-bukti otentik yang berada di persidangan. Semakin dia bisa membuktikan tanah bukti-bukti tersebut. Tentunya pengadilan akan mengabulkan, karena kan pada asasnya kalau dalam perkara perdata adalah bukti formalitas yang utama, bukti formil, selain juga mencari kebenaran materiil," jelasnya.
Berkaitan dengan proses pembebasan tanah oleh pemerintah maupun swasta, yang biasanya menimbulkan perkara pidana maupun perdata antarberbagai pihak, Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan hal itu tidak selalu dapat dimaknai subjektif dengan memunculkan stigma mafia tanah secara pukul rata.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Tangerang, Banten, berkaitan dengan kepemilikan 400 hektare lahan oleh PT Bangun Laksana Persada (BLP) yang bergerak di bidang properti di Kecamatan Pakuhaji dan 70 hektare lahan oleh PT Tanjung Unggul Mandiri (TUM) yang bergerak di bidang peternakan sapi.
Padahal pada awal Maret 2021, DPRD Kabupaten Tangerang telah melakukan konfirmasi terhadap para pihak. Perwakilan perusahaan hadir dan memberikan penjelasan mengenai perizinan, perolehan tanah, dan rencana pengembangan lahan sesuai legalitas yang sah.
Berdasarkan penelusuran dokumen terdapat putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 10 PK/TUN/2020 dengan para pihak Ahmad Ghozali sebagai Pemohon PK dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang sebagai Termohon PK I dan Tonny Permana sebagai Termohon PK II yang memutuskan, mengadili:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan batal sertifikat hak milik nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, gambar situsi nomor 23089, tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110m2 atas nama Tonny Permana.
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut sertifikat hak milik nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, gambar situsi nomor 23089, tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110m2 atas nama Tonny Permana.
4. Menghukum Termohon Peninjauan Kembali I dan Termohon Peninjaun Kembali II membayar biaya perkara pada semua tingkat pengadilan, yang pada Peninjauan Kembali ditetapkan sejumlah Rp2.500.000.
(thm)