Banjir Jakarta Antara Sutiyoso, Jokowi, Ahok dan Anies
loading...
A
A
A
Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai triliunan rupiah, diperkirakan Rp4,3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.
#Banjir 2013
Curah hujan ekstrem kembali terjadi pada 2013 dan Jakarta kembali terendam. Bahkan, Bundaran HI yang merupakan jantung Ibu Kota pun tak bisa menghindari keruhnya banjir. Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta saat itu memutuskan posisi Jakarta dalam tanggap darurat.
Jokowi menyebut dampak banjir itu telah menyebabkan kerugian hingga Rp20 triliun. Sementara pengusaha, melalui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, mengklaim terjadinya kerugian ekonomi lebih dari Rp1 triliun. Selain itu Rp1 miliar harus dikeluarkan untuk menyiapkan kebutuhan pengungsi. Baca Juga: Banjir Jakarta, Jokowi Perintahkan Utamakan Keselamatan Warga
Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga memiliki taksiran kerugian Rp116 miliar akibat terganggunya fungsi pembangkit dan peralatan distribusi dan transmisi yang mengalami kerusakan akibat tergenang air. Selain secara ekonomi, banjir juga menelan 20 korban jiwa dan 33.500 orang terpaksa mengungsi.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi selama banjir, antara lain dengan memperbaiki tanggul, pendirian posko bantuan di titik-titik yang terkena banjir, relokasi pengungsi ke rumah susun, dan sebagainya. (Baca Juga: Jokowi Serius Bangun Tanggul Laut Raksasa
Sebelum meninggalkan jabatanya menuju Istana pada 2014, Jokowi telah menyusun sejumlah program untuk mengatasi banjir. Di antaranya yaitu, Deep Tunel atau Terowongan Multiguna; Pengerukan 13 kali di Jakarta; Normalisasi Waduk Pluit; Pembuatan 100 ribu sumur resapan; penambahan RTh; sodetan Ciliwung; dan tanggul laut raksasa.
#Banjir 2015
Selepas ditinggal Jokowi, Jakarta kembali dilanda banjir pada Februari 2015. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menggantikan Jokowi menjadi Gubernur tidak menyangka hujan turun begitu deras dan mengakibatkan Jakarta dikepung banjir. Bahkan, lingkungan dalam Istana pun tergenang setinggi 10 cm.
Ahok mengambil langkah tegas utuk membenahi Daerah Aliran Sungai (DAS) agar Pemerintah Pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) bisa segera menyelesaikan normalisasi sungai. Berbagai penggusuran dan relokasi ke hunian vertikal yang jauh dari lokasi asal menjadi kendala Ahok menyelesaikan penertiban.
#Banjir 2020 dan2021
Anies Baswedan akhirnya memenangkan Pilkada DKI 2017. Salah satu janji kampanyenya yang memikat warga adalah tidak akan melakukan penggusuran dalam mengatasi banjir. Anies memilih melakukan naturalisasi ketimbang normalisasi yang digaungkan Ahok dalam melakukan peggusuran. Akibatnya, program normalisasi yang tengah dikerjakan BBWSCC terhenti.
Anies lebih memilih memasukan air hujan sebanyak banyaknya ke dalam tanah dan mengendalikan air dari hulu serta mengandalkan pompa. Baca Juga: Ahok Harus Serius Tangani Banjir, Jangan Bicara Saja
#Banjir 2013
Curah hujan ekstrem kembali terjadi pada 2013 dan Jakarta kembali terendam. Bahkan, Bundaran HI yang merupakan jantung Ibu Kota pun tak bisa menghindari keruhnya banjir. Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta saat itu memutuskan posisi Jakarta dalam tanggap darurat.
Jokowi menyebut dampak banjir itu telah menyebabkan kerugian hingga Rp20 triliun. Sementara pengusaha, melalui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, mengklaim terjadinya kerugian ekonomi lebih dari Rp1 triliun. Selain itu Rp1 miliar harus dikeluarkan untuk menyiapkan kebutuhan pengungsi. Baca Juga: Banjir Jakarta, Jokowi Perintahkan Utamakan Keselamatan Warga
Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga memiliki taksiran kerugian Rp116 miliar akibat terganggunya fungsi pembangkit dan peralatan distribusi dan transmisi yang mengalami kerusakan akibat tergenang air. Selain secara ekonomi, banjir juga menelan 20 korban jiwa dan 33.500 orang terpaksa mengungsi.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi selama banjir, antara lain dengan memperbaiki tanggul, pendirian posko bantuan di titik-titik yang terkena banjir, relokasi pengungsi ke rumah susun, dan sebagainya. (Baca Juga: Jokowi Serius Bangun Tanggul Laut Raksasa
Sebelum meninggalkan jabatanya menuju Istana pada 2014, Jokowi telah menyusun sejumlah program untuk mengatasi banjir. Di antaranya yaitu, Deep Tunel atau Terowongan Multiguna; Pengerukan 13 kali di Jakarta; Normalisasi Waduk Pluit; Pembuatan 100 ribu sumur resapan; penambahan RTh; sodetan Ciliwung; dan tanggul laut raksasa.
#Banjir 2015
Selepas ditinggal Jokowi, Jakarta kembali dilanda banjir pada Februari 2015. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menggantikan Jokowi menjadi Gubernur tidak menyangka hujan turun begitu deras dan mengakibatkan Jakarta dikepung banjir. Bahkan, lingkungan dalam Istana pun tergenang setinggi 10 cm.
Ahok mengambil langkah tegas utuk membenahi Daerah Aliran Sungai (DAS) agar Pemerintah Pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) bisa segera menyelesaikan normalisasi sungai. Berbagai penggusuran dan relokasi ke hunian vertikal yang jauh dari lokasi asal menjadi kendala Ahok menyelesaikan penertiban.
#Banjir 2020 dan2021
Anies Baswedan akhirnya memenangkan Pilkada DKI 2017. Salah satu janji kampanyenya yang memikat warga adalah tidak akan melakukan penggusuran dalam mengatasi banjir. Anies memilih melakukan naturalisasi ketimbang normalisasi yang digaungkan Ahok dalam melakukan peggusuran. Akibatnya, program normalisasi yang tengah dikerjakan BBWSCC terhenti.
Anies lebih memilih memasukan air hujan sebanyak banyaknya ke dalam tanah dan mengendalikan air dari hulu serta mengandalkan pompa. Baca Juga: Ahok Harus Serius Tangani Banjir, Jangan Bicara Saja