Jadi Korban Mafia Tanah, Ibu Rumah Tangga Gugat Sofyan Djalil ke PN Jakarta Selatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus mafia tanah kembali terjadi di Jakarta. Sebelumnya menimpa keluarga Dino Patti Djalal , kali ini dialami Haryanti Sutanto, ibu rumah tangga yang berdomisili di Tebet, Jakarta Selatan.
Haryanti mengaku menjadi korban mafia tanah hingga kehilangan tanah dan bangunan milik ibunya Soeprapti yang berlokasi di Jalan Tebet Barat Raya Nomor 24A, Tebet, Jakarta Selatan.
Dia yang didampingi kuasa hukum Amstrong Sembiring melayangkan gugatan kepada kakak kandungnya Soerjani Sutanto hingga Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan tersebut disidangkan perdana di PN Jakarta Selatan pada Rabu (17/2/2021). Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Siti Amidah beragendakan mendengarkan gugatan yang disampaikan Amstrong Sembiring.
Usai mendengarkan pembacaan gugatan, Siti Amidah menutup persidangan. "Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan jawaban dari pihak Tergugat," kata Siti Amidah, Rabu (17/2/2021).
Amstrong menjelaskan kasus bermula dari pembuatan Akta Pernyataan dan Kesepakatan Bersama serta Akta Persetujuan dan Kuasa antara Soerjani Sutanto selaku Tergugat bersama Soeprapti selaku ibu kandung pada tahun 2011.
Kedua akta tersebut berisi penyerahan kuasa atas lahan yang senyatanya merupakan warisan orang tua kepada dirinya. Namun, dalam akta yang dibuat oleh Notaris bernama Soehardjo Hadie Widyokusumo itu berisi ketetapan untuk melaksanakan balik nama, memindahkan, selanjutnya untuk menghibahkan kepada siapa pun atau pihak lain.
Penggunaan kata menghibahkan yang terdapat dalam kedua akta tersebut dimanfaatkan Tergugat untuk membuat Akta Hibah.
Akta Hibah itu selanjutnya digunakan Tergugat untuk membalik nama sertifikat dan menguasai lahan hingga saat ini. "Karena isinya di situ ada poin menghibahkan, maka dihibahkanlah kepada dirinya (Tergugat). Makanya dibuatlah Akta Hibah yang digunakan untuk mengubah sertifikat yang semula atas nama ibu kandung klien kami kepada Soerjani Sutanto pada tahun 2011," ujar Amstrong.
Akta tersebut ditegaskannya merupakan Surat Kuasa Mutlak yang secara jelas dilarang dalam Perundang-undangan antara lain Pasal 39 Ayat 1 huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan PPAT dilarang membuat akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar Surat Kuasa Mutlak, yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.
Merujuk perundang-undangan tersebut, perbuatan hukum pemindahan hak tidak diperbolehkan.
Sementara, kedua akta tersebut termasuk dalam perbuatan hukum pemindahan hak. "Artinya, kalau pijakannya itu adalah Surat Kuasa Mutlak, itu tidak diperbolehkan Akta Hibah dibuat. Tapi, karena kedua akta (Akta Pernyataan dan Kesepakatan Bersama serta Akta Persetujuan dan Kuasa) dan Akta Hibahnya dibuat oleh notaris yang sama, dia halalkan segala cara," ungkap Amstrong.
Dilarangnya penerapan Surat Kuasa Mutlak tersebut juga dijelaskannya merujuk Putusan Mahkamah Agung Nomor 3176 di Pengadilan Perkara Perdata Tahun 1988 dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 199 Tahun 2000 per tanggal 17 Oktober 2002.
Kedua putusan yang sudah menjadi kaidah hukum dalam hukum perdata itu memaparkan pengertian Akta Pemindahan Hak, yakni akta yang menetapkan pemegang kuasa memiliki kuasa atas hak yang dikuasakan.
Akta Pemindahan Hak tersebut dijelaskan termasuk dalam Surat Kuasa Mutlak yang secara gamblang dilarang dalam pemindahan hak atas tanah.
Larangan itu ditegaskan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 14 Tahun 1982 Jo Nomor 12 Tahun 1984 tentang Larangan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah. "Sehingga sudah jelas penggunaan Surat Kuasa Mutlak dilarang," ucapnya.
Tidak hanya itu, gugurnya Akta Hibah telah terjadi lantaran Soeprapti diketahui meninggal dunia pada tahun 2012. Namun, Akta Hibah yang seharusnya gugur demi hukum itu tetap dijadikan landasan untuk pengalihan sertifikat tanah oleh pihak Tergugat kepada BPN Jakarta Selatan.
Mirisnya, BPN Jakarta Selatan justru tetap menerima permohonan pengalihan sertifikat tersebut. Padahal, merujuk Pasal 1813 KUHPerdata tentang Pemberian Kuasa Berakhir, Akta Hibah gugur demi hukum karena salah satu pihak meninggal dunia.
"Pasal 1813 menyatakan kuasa berakhir kalau salah satunya, baik penerima atau pemberi kuasa meninggal dunia. Tapi, saat orang tuanya meninggal, Akta Hibah justru tetap digunakan untuk mengalihkan sertifikat dan diterima BPN," kata Amstrong.
"Ini jelas penyimpangan, karena pemberian kuasa itu otomatis gugur kalau salah satu pihak meninggal dunia," sambungnya.
Atas kelalaian yang diduga dilakukan BPN Jakarta Selatan, pihaknya juga menggugat Avi Harnowo selaku Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Selatan, Agus Widjayanto selaku Dirjen Penanganan Masalah Agraria Kementerian ATR.
Selain itu, gugatan juga dilayangkan kepada Jaya selaku mantan Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta yang kini berstatus tersangka atas kasus korupsi penerbitan sertifikat yang merugikan negara hingga Rp1,4 triliun.
"Yang kami pertanyakan mengapa Akta Hibah yang cacat administrasi secara hukum tetap dijadikan landasan untuk pengalihan sertifikat? Apakah mafia tanah begitu leluasa?" ujar Amstrong.
"Padahal sudah jelas status lahan memiliki hukum tetap berdasarkan keputusan Mahkamah Agung dengan nomor perkara 214 per tanggal 15 Juni 2017," tambahnya.
Merujuk hal tersebut, dia berharap Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dapat mengabulkan permohonan kliennya, yakni mengembalikan bagian mutlak waris (legitemie portie) atas lahan yang disengketakan antara lain dengan mengembalikan status tanah kembali menjadi Sertifikat Hak Milik Nomor 1152 atas nama almarhumah Soeprati sebagai pemilik sah.
Haryanti mengaku menjadi korban mafia tanah hingga kehilangan tanah dan bangunan milik ibunya Soeprapti yang berlokasi di Jalan Tebet Barat Raya Nomor 24A, Tebet, Jakarta Selatan.
Dia yang didampingi kuasa hukum Amstrong Sembiring melayangkan gugatan kepada kakak kandungnya Soerjani Sutanto hingga Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan tersebut disidangkan perdana di PN Jakarta Selatan pada Rabu (17/2/2021). Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Siti Amidah beragendakan mendengarkan gugatan yang disampaikan Amstrong Sembiring.
Usai mendengarkan pembacaan gugatan, Siti Amidah menutup persidangan. "Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan jawaban dari pihak Tergugat," kata Siti Amidah, Rabu (17/2/2021).
Amstrong menjelaskan kasus bermula dari pembuatan Akta Pernyataan dan Kesepakatan Bersama serta Akta Persetujuan dan Kuasa antara Soerjani Sutanto selaku Tergugat bersama Soeprapti selaku ibu kandung pada tahun 2011.
Kedua akta tersebut berisi penyerahan kuasa atas lahan yang senyatanya merupakan warisan orang tua kepada dirinya. Namun, dalam akta yang dibuat oleh Notaris bernama Soehardjo Hadie Widyokusumo itu berisi ketetapan untuk melaksanakan balik nama, memindahkan, selanjutnya untuk menghibahkan kepada siapa pun atau pihak lain.
Penggunaan kata menghibahkan yang terdapat dalam kedua akta tersebut dimanfaatkan Tergugat untuk membuat Akta Hibah.
Akta Hibah itu selanjutnya digunakan Tergugat untuk membalik nama sertifikat dan menguasai lahan hingga saat ini. "Karena isinya di situ ada poin menghibahkan, maka dihibahkanlah kepada dirinya (Tergugat). Makanya dibuatlah Akta Hibah yang digunakan untuk mengubah sertifikat yang semula atas nama ibu kandung klien kami kepada Soerjani Sutanto pada tahun 2011," ujar Amstrong.
Akta tersebut ditegaskannya merupakan Surat Kuasa Mutlak yang secara jelas dilarang dalam Perundang-undangan antara lain Pasal 39 Ayat 1 huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan PPAT dilarang membuat akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar Surat Kuasa Mutlak, yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.
Merujuk perundang-undangan tersebut, perbuatan hukum pemindahan hak tidak diperbolehkan.
Sementara, kedua akta tersebut termasuk dalam perbuatan hukum pemindahan hak. "Artinya, kalau pijakannya itu adalah Surat Kuasa Mutlak, itu tidak diperbolehkan Akta Hibah dibuat. Tapi, karena kedua akta (Akta Pernyataan dan Kesepakatan Bersama serta Akta Persetujuan dan Kuasa) dan Akta Hibahnya dibuat oleh notaris yang sama, dia halalkan segala cara," ungkap Amstrong.
Dilarangnya penerapan Surat Kuasa Mutlak tersebut juga dijelaskannya merujuk Putusan Mahkamah Agung Nomor 3176 di Pengadilan Perkara Perdata Tahun 1988 dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 199 Tahun 2000 per tanggal 17 Oktober 2002.
Kedua putusan yang sudah menjadi kaidah hukum dalam hukum perdata itu memaparkan pengertian Akta Pemindahan Hak, yakni akta yang menetapkan pemegang kuasa memiliki kuasa atas hak yang dikuasakan.
Akta Pemindahan Hak tersebut dijelaskan termasuk dalam Surat Kuasa Mutlak yang secara gamblang dilarang dalam pemindahan hak atas tanah.
Larangan itu ditegaskan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 14 Tahun 1982 Jo Nomor 12 Tahun 1984 tentang Larangan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah. "Sehingga sudah jelas penggunaan Surat Kuasa Mutlak dilarang," ucapnya.
Tidak hanya itu, gugurnya Akta Hibah telah terjadi lantaran Soeprapti diketahui meninggal dunia pada tahun 2012. Namun, Akta Hibah yang seharusnya gugur demi hukum itu tetap dijadikan landasan untuk pengalihan sertifikat tanah oleh pihak Tergugat kepada BPN Jakarta Selatan.
Mirisnya, BPN Jakarta Selatan justru tetap menerima permohonan pengalihan sertifikat tersebut. Padahal, merujuk Pasal 1813 KUHPerdata tentang Pemberian Kuasa Berakhir, Akta Hibah gugur demi hukum karena salah satu pihak meninggal dunia.
"Pasal 1813 menyatakan kuasa berakhir kalau salah satunya, baik penerima atau pemberi kuasa meninggal dunia. Tapi, saat orang tuanya meninggal, Akta Hibah justru tetap digunakan untuk mengalihkan sertifikat dan diterima BPN," kata Amstrong.
"Ini jelas penyimpangan, karena pemberian kuasa itu otomatis gugur kalau salah satu pihak meninggal dunia," sambungnya.
Atas kelalaian yang diduga dilakukan BPN Jakarta Selatan, pihaknya juga menggugat Avi Harnowo selaku Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Selatan, Agus Widjayanto selaku Dirjen Penanganan Masalah Agraria Kementerian ATR.
Selain itu, gugatan juga dilayangkan kepada Jaya selaku mantan Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta yang kini berstatus tersangka atas kasus korupsi penerbitan sertifikat yang merugikan negara hingga Rp1,4 triliun.
"Yang kami pertanyakan mengapa Akta Hibah yang cacat administrasi secara hukum tetap dijadikan landasan untuk pengalihan sertifikat? Apakah mafia tanah begitu leluasa?" ujar Amstrong.
"Padahal sudah jelas status lahan memiliki hukum tetap berdasarkan keputusan Mahkamah Agung dengan nomor perkara 214 per tanggal 15 Juni 2017," tambahnya.
Merujuk hal tersebut, dia berharap Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dapat mengabulkan permohonan kliennya, yakni mengembalikan bagian mutlak waris (legitemie portie) atas lahan yang disengketakan antara lain dengan mengembalikan status tanah kembali menjadi Sertifikat Hak Milik Nomor 1152 atas nama almarhumah Soeprati sebagai pemilik sah.
(jon)