Transportasi Umum Harus Higienis dan Terapkan Protokol Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seyogianya kebijakan ganjil genap harus diikuti dengan penyediaan fasilitas transportasi umum yang sehat dan mendekati kawasan pemukiman. Selain itu, diperlukan kebijakan yang komprehensif antar instansi untuk mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas di DKI Jakarta.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, ada sekitar 88 juta pergerakan setiap hari di wilayah Jabodetabek. Penduduk Jabodetabek diperkirakan lebih dari 30 juta dan saling ketergantungan aktivitas ekonomi antar wilayah. (Baca Juga: Mulai 3 Agustus, Ganjil Genap di Jakarta Kembali Dilakukan)
Dia menyebut intensitas pergerakan yang sangat tinggi ini dikarenakan 20 persen pergerakan ekonomi nasional ada di Jabodetabek. Maka, tak heran kemacetan dan penumpukan penumpang di transportasi umum terjadi setiap hari. ( )
Di masa pandemi Covid-19, upaya mengendalikan kemacetan dengan kebijakan ganjil genap akan berimbas pada kepadatan di transportasi umum. Djoko menerangkan ada lima tantangan yang dihadapi sektor transportasi di masa adaptasi menuju kebiasaan baru ini.
Pertama, penyelenggaraan transportasi berjalan dengan meminimalisasi risiko penularan dan penyebaran Covid-19. Kedua, urban transport bersinggungan langsung dengan aktivitas keseharian masyarakat (komuter).
Ketiga, pada masa adaptasi kebiasaan baru ini aktivitas meningkat dibandingkan ketika diterapkan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). keempat, aktivitas perekonomian harus tetap bergerak.
“Terakhir, transportasi tidak boleh menjadi sarana penularan dan penyebaran Covid-19,” ucapnya, Senin (3/8/2020). ( )
Djoko mengatakan, asumsi Bank Dunia rata-rata pengeluaran untuk transportasi itu 10 persen dari pendapatan. Di Indonesia, terbagi dalam beberapa kelompok. Pertama, pekerja dengan gaji Rp3-5 juta per bulan.
Pengeluaran untuk ongkos dari kelompok ini biasanya mencapai 20 persen. Kedua, pekerja dengan penghasilan Rp6-8 juta. Ketiga, kelompok yang menggunakan transportasi umum berupa bus regional (JR Connexion). Tarif bus ini rata-rata Rp25 ribu.
Terakhir, kelompok yang menggunakan kendaraan pribadi. Mereka biasanya mengeluarkan biaya sekitar Rp3-4 juta per bulan. Bahkan bisa mencapai Rp7,5 juta jika menggunakan sopir.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, ada sekitar 88 juta pergerakan setiap hari di wilayah Jabodetabek. Penduduk Jabodetabek diperkirakan lebih dari 30 juta dan saling ketergantungan aktivitas ekonomi antar wilayah. (Baca Juga: Mulai 3 Agustus, Ganjil Genap di Jakarta Kembali Dilakukan)
Dia menyebut intensitas pergerakan yang sangat tinggi ini dikarenakan 20 persen pergerakan ekonomi nasional ada di Jabodetabek. Maka, tak heran kemacetan dan penumpukan penumpang di transportasi umum terjadi setiap hari. ( )
Di masa pandemi Covid-19, upaya mengendalikan kemacetan dengan kebijakan ganjil genap akan berimbas pada kepadatan di transportasi umum. Djoko menerangkan ada lima tantangan yang dihadapi sektor transportasi di masa adaptasi menuju kebiasaan baru ini.
Pertama, penyelenggaraan transportasi berjalan dengan meminimalisasi risiko penularan dan penyebaran Covid-19. Kedua, urban transport bersinggungan langsung dengan aktivitas keseharian masyarakat (komuter).
Ketiga, pada masa adaptasi kebiasaan baru ini aktivitas meningkat dibandingkan ketika diterapkan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). keempat, aktivitas perekonomian harus tetap bergerak.
“Terakhir, transportasi tidak boleh menjadi sarana penularan dan penyebaran Covid-19,” ucapnya, Senin (3/8/2020). ( )
Djoko mengatakan, asumsi Bank Dunia rata-rata pengeluaran untuk transportasi itu 10 persen dari pendapatan. Di Indonesia, terbagi dalam beberapa kelompok. Pertama, pekerja dengan gaji Rp3-5 juta per bulan.
Pengeluaran untuk ongkos dari kelompok ini biasanya mencapai 20 persen. Kedua, pekerja dengan penghasilan Rp6-8 juta. Ketiga, kelompok yang menggunakan transportasi umum berupa bus regional (JR Connexion). Tarif bus ini rata-rata Rp25 ribu.
Terakhir, kelompok yang menggunakan kendaraan pribadi. Mereka biasanya mengeluarkan biaya sekitar Rp3-4 juta per bulan. Bahkan bisa mencapai Rp7,5 juta jika menggunakan sopir.