Normal Baru, Kriminal Baru
loading...
A
A
A
Adrianus Meliala
Guru Besar di Departemen Kriminologi FISIP UI & Anggota Ombudsman RI
Saat ini kita memasuki era New Normal , di mana harus memperagakan hal-hal yang tidak pernah atau jarang dilakukan sebelumnya. Lalu timbul pertanyaan: apakah hanya sampai situ saja?
Sebagaimana disadari, beberapa perilaku yang diharapkan muncul saat New Normal adalah menjaga jarak (physical distancing), mencuci tangan, memakai masker, dan tidak sembarangan membersihkan wajah dengan tangan atau benda lain. Selanjutnya bisa juga kemunculan fenomena yang menjadi ikutan dari perilaku baru tersebut.
Sebagai contoh, karena tidak diperbolehkan mengangkut penumpang secara maksimal, maka perusahaan penerbangan terpaksa menjual tiket dengan harga jauh lebih mahal dari biasanya. Demikian juga harga makanan harus dijual lebih mahal karena pengunjung restoran akan jauh lebih sedikit. Pengakses layanan publik harus menunggu lebih lama dan antrean lebih mengular. Keharusan menjalani rapid test maupun swab test yang mahal juga memberatkan masyarakat. (Baca: 5 Orang Positif Covid-19, Lawan Petugas Saat Dievakuasi)
Diperkirakan dari situasi seperti itu muncul fenomena lanjutan berbentuk penyimpangan sosial dan kejahatan. Penyimpangan sosial secara umum merupakan sisi sebelah dari mata uang, di mana sisi lainnya adalah hal-hal positif. Dengan kata lain, ada hal positif, maka ada hal negatif. Karena orang malas mengantre, maka akan muncul kembali perilaku menerabas atau perilaku menyuap petugas. Orang khawatir jatah blangko KTP akan habis, maka orang mulai berkolusi dengan orang dalam atau malah mencetak blangko KTP palsu.
Dengan demikian, bisa diduga kejahatan baru atau yang akan marak saat New Normal adalah kejahatan hasil amatan terkait kekosongan hukum atau kelemahan penegakan hukum yang dikombinasikan dengan konteks situasional yang ada. Penyimpangan itu kemudian bermetastase menjadi kejahatan ketika timbul korban atau kerugian kepada orang lain. Pada gilirannya, ketika telah terdapat aturan formal yang melarang kejahatan, maka itulah dinamakan tindak pidana.
Kelas Menengah
Penulis menduga yang akan banyak berkeluh kesah terkait situasi New Normal, kemudian diprediksi melahirkan penyimpangan dan kejahatan adalah kalangan kelas menengah masyarakat Indonesia. Jika situasi New Normal membutuhkan kehati-hatian dalam berinteraksi, perlambatan proses kerja, penambahan pengamanan diri, serta konsistensi dalam berperilaku di wilayah publik, maka yang paling menderita adalah kelas menengah.
Inilah kelas di masyarakat yang memiliki cukup uang, cukup pendidikan, dan cukup akses informasi. Kelas ini terbiasa dengan pilihan bebas (free choice) dalam perilakunya, tentu saja ini terkait dengan “3 cukup” yang dimilikinya tersebut sehingga dirinya tidak atau sedikit sekali tergantung pada variabel di luar dirinya. Jika bosan hang out di kafe tertentu, tinggal pindah ke kafe lain. Jika harus antre saat mau membayar layanan tertentu, tinggal ganti moda pembayaran entah melalui transfer, QR Code ataupun yang lain. Selanjutnya kalau tiket penerbangan sudah habis, mereka tinggal pindah airlines. (Baca juga: Sanksi Baru AS Diharapkan Beri Dampak Jangka Panjang pada Rezim Assad)
Masalahnya, New Normal menjanjikan keterbatasan pilihan tersebut. Berapa pun uang yang dimiliki, harta yang banyak serta kedudukan tinggi, keterbatasan menjadi warna utama. Nah, karena kelas ini banyak pengetahuan, jaringan sosial, dan kemampuan materi, maka kelas inilah diduga akan banyak melakukan praktik kolusi dan nepotisme serta penyalahgunaan jabatan atau kewenangan. Pada awalnya kemungkinan orientasinya hanya untuk memperoleh layanan atau akses, tapi lama-lama bisa menjadi kegiatan mengambil atau mencuri bagian hak orang lain.
Guru Besar di Departemen Kriminologi FISIP UI & Anggota Ombudsman RI
Saat ini kita memasuki era New Normal , di mana harus memperagakan hal-hal yang tidak pernah atau jarang dilakukan sebelumnya. Lalu timbul pertanyaan: apakah hanya sampai situ saja?
Sebagaimana disadari, beberapa perilaku yang diharapkan muncul saat New Normal adalah menjaga jarak (physical distancing), mencuci tangan, memakai masker, dan tidak sembarangan membersihkan wajah dengan tangan atau benda lain. Selanjutnya bisa juga kemunculan fenomena yang menjadi ikutan dari perilaku baru tersebut.
Sebagai contoh, karena tidak diperbolehkan mengangkut penumpang secara maksimal, maka perusahaan penerbangan terpaksa menjual tiket dengan harga jauh lebih mahal dari biasanya. Demikian juga harga makanan harus dijual lebih mahal karena pengunjung restoran akan jauh lebih sedikit. Pengakses layanan publik harus menunggu lebih lama dan antrean lebih mengular. Keharusan menjalani rapid test maupun swab test yang mahal juga memberatkan masyarakat. (Baca: 5 Orang Positif Covid-19, Lawan Petugas Saat Dievakuasi)
Diperkirakan dari situasi seperti itu muncul fenomena lanjutan berbentuk penyimpangan sosial dan kejahatan. Penyimpangan sosial secara umum merupakan sisi sebelah dari mata uang, di mana sisi lainnya adalah hal-hal positif. Dengan kata lain, ada hal positif, maka ada hal negatif. Karena orang malas mengantre, maka akan muncul kembali perilaku menerabas atau perilaku menyuap petugas. Orang khawatir jatah blangko KTP akan habis, maka orang mulai berkolusi dengan orang dalam atau malah mencetak blangko KTP palsu.
Dengan demikian, bisa diduga kejahatan baru atau yang akan marak saat New Normal adalah kejahatan hasil amatan terkait kekosongan hukum atau kelemahan penegakan hukum yang dikombinasikan dengan konteks situasional yang ada. Penyimpangan itu kemudian bermetastase menjadi kejahatan ketika timbul korban atau kerugian kepada orang lain. Pada gilirannya, ketika telah terdapat aturan formal yang melarang kejahatan, maka itulah dinamakan tindak pidana.
Kelas Menengah
Penulis menduga yang akan banyak berkeluh kesah terkait situasi New Normal, kemudian diprediksi melahirkan penyimpangan dan kejahatan adalah kalangan kelas menengah masyarakat Indonesia. Jika situasi New Normal membutuhkan kehati-hatian dalam berinteraksi, perlambatan proses kerja, penambahan pengamanan diri, serta konsistensi dalam berperilaku di wilayah publik, maka yang paling menderita adalah kelas menengah.
Inilah kelas di masyarakat yang memiliki cukup uang, cukup pendidikan, dan cukup akses informasi. Kelas ini terbiasa dengan pilihan bebas (free choice) dalam perilakunya, tentu saja ini terkait dengan “3 cukup” yang dimilikinya tersebut sehingga dirinya tidak atau sedikit sekali tergantung pada variabel di luar dirinya. Jika bosan hang out di kafe tertentu, tinggal pindah ke kafe lain. Jika harus antre saat mau membayar layanan tertentu, tinggal ganti moda pembayaran entah melalui transfer, QR Code ataupun yang lain. Selanjutnya kalau tiket penerbangan sudah habis, mereka tinggal pindah airlines. (Baca juga: Sanksi Baru AS Diharapkan Beri Dampak Jangka Panjang pada Rezim Assad)
Masalahnya, New Normal menjanjikan keterbatasan pilihan tersebut. Berapa pun uang yang dimiliki, harta yang banyak serta kedudukan tinggi, keterbatasan menjadi warna utama. Nah, karena kelas ini banyak pengetahuan, jaringan sosial, dan kemampuan materi, maka kelas inilah diduga akan banyak melakukan praktik kolusi dan nepotisme serta penyalahgunaan jabatan atau kewenangan. Pada awalnya kemungkinan orientasinya hanya untuk memperoleh layanan atau akses, tapi lama-lama bisa menjadi kegiatan mengambil atau mencuri bagian hak orang lain.