Ungkapan Rasa Syukur, Ratusan Umat Buddha Gelar Sembahyang Po Un di Vihara Amurva Bhumi Jaksel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ratusan umat Buddha antusias menggelar sembahyang Po Un, ritual yang menjadi rangkaian dari perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh . Kegiatan ini sebagai ungkapan rasa terima kasih karena telah melalui tahun baik dan tahun yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Bersamaan dengan itu juga digelar perayaan menyambut tahun Kelinci dan berharap kondisi masyarakat akan lebih baik lagi. Ritual berlangsung di Vihara Amurva Bhumi, Karet, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2023).
Seusai ritual Po Un juga digelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Eksistensi Vihara Amurva Bhumi (Hok Tek Tjeng Sin) bagi Kerukunan dan Kemashalatan Umat. Hadir sebagai pembicara sejumlah tokoh antara lain Pembimas Budha Kanwil Kemenag DKI Jakarta Suwanto, Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Selatan Riyadi, Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Barat Jasman, Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Timur Pandu Dinata, dan Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Utara Mugiyanto.
Baca juga: Ribuan Warga Padati Festival Cap Go Meh di Kota Bogor
Pembimas Budha Kanwil Kemenag DKI Jakarta Suwanto mengingatkan bagaimana vihara dikelola agar lahirnya kerukunan dan kemaslahatan umat Buddha. Konteksnya bagaimana rumah ibadah harus menjadi pendukung, pendorong agar menciptakan perdamaian dan keharmonisan.
Terhadap kedua hal itu perlu diciptakan suasana hati, pikiran, dan jiwa yang bersih. Dengan kata lain, realitas tersebut dapat juga diwujudkan lewat pembinaan mental spiritual yang salah satunya melalui baca-baca panita, sutra, dan mantra.
Dia menegaskan vihara juga harus menjadi nilai dan memberi manfaat kepada umat dan menjadi rumah bagi umat Buddha, khususnya menjadi pusat kegiatan keumatan, spiritual, sosial, pendidikan, dan budaya.
Dengan demikian, keberadaan vihara benar-benar memberikan manfaat bagi umat Buddha dan bagi lingkungan sekitar. “Jika ini terjadi, maka keharmonisan dan kerukunan bisa terwujud,” ujar Suwanto.
Tokoh umat Tionghoa Lie Kok Tie mengatakan, ritual ini digelar rutin tiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang dilalui tahun lalu dengan baik, sehat, dan sejahtera. Dia berharap ke depan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya akan lebih baik dalam suasana rukun dan harmonis.
“Biasanya setelah Imlek ada yang namanya perayaan Cap Go Meh dan kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan atau upacara syukuran atas apa yang diberikan Sang Pencipta,” katanya.
Menurut dia, eksistensi vihara sebagai tempat ibadah dan cagar budaya ini harus mengedepankan kemaslahatan umat. Untuk mewujudkan niat tersebut, Lie Kok Tie minta agar vihara dipimpin manajemen yang baik, transparan dari umat untuk umat.
Baca juga: Taruna Merah Putih DKI: Cap Go Meh Momentum Perekat Toleransi
Tak kalah penting, vihara ke depan harus go green atau ramah lingkungan. Artinya, masalah lilin dan dupa harus diperhatikan sebaik-baiknya seperti apa ke depannya.
Menurut Lie Kok Tie, apa yang menjadi masukannya merupakan upaya adaptasi apa yang dilakukan umat Buddha di luar negeri di tengah kemajuan teknologi yang semakin memudahkan umat.
“Sejatinya vihara atau tempat ibadah itu harus dapat menyejahterakan masyarakat di lingkungannya terlebih dahulu. Jika berlebih maka perlu juga kepada masyarakat yang lebih luas,” ucapnya.
Vihara harus mengedukasi umat agar peduli sesama dan mengedepankan toleransi dalam suasana keberagaman dalam menyatukan bangsa. “Harapannya kita di Indonesia harus menjunjung tinggi toleransi, menghindari unsur sara dalam suasana keberagaman yang menyatukan bangsa,” ujar Lie Kok Tie.
Bersamaan dengan itu juga digelar perayaan menyambut tahun Kelinci dan berharap kondisi masyarakat akan lebih baik lagi. Ritual berlangsung di Vihara Amurva Bhumi, Karet, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2023).
Seusai ritual Po Un juga digelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Eksistensi Vihara Amurva Bhumi (Hok Tek Tjeng Sin) bagi Kerukunan dan Kemashalatan Umat. Hadir sebagai pembicara sejumlah tokoh antara lain Pembimas Budha Kanwil Kemenag DKI Jakarta Suwanto, Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Selatan Riyadi, Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Barat Jasman, Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Timur Pandu Dinata, dan Penyelenggara Budha Kemenag Jakarta Utara Mugiyanto.
Baca juga: Ribuan Warga Padati Festival Cap Go Meh di Kota Bogor
Pembimas Budha Kanwil Kemenag DKI Jakarta Suwanto mengingatkan bagaimana vihara dikelola agar lahirnya kerukunan dan kemaslahatan umat Buddha. Konteksnya bagaimana rumah ibadah harus menjadi pendukung, pendorong agar menciptakan perdamaian dan keharmonisan.
Terhadap kedua hal itu perlu diciptakan suasana hati, pikiran, dan jiwa yang bersih. Dengan kata lain, realitas tersebut dapat juga diwujudkan lewat pembinaan mental spiritual yang salah satunya melalui baca-baca panita, sutra, dan mantra.
Dia menegaskan vihara juga harus menjadi nilai dan memberi manfaat kepada umat dan menjadi rumah bagi umat Buddha, khususnya menjadi pusat kegiatan keumatan, spiritual, sosial, pendidikan, dan budaya.
Dengan demikian, keberadaan vihara benar-benar memberikan manfaat bagi umat Buddha dan bagi lingkungan sekitar. “Jika ini terjadi, maka keharmonisan dan kerukunan bisa terwujud,” ujar Suwanto.
Tokoh umat Tionghoa Lie Kok Tie mengatakan, ritual ini digelar rutin tiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang dilalui tahun lalu dengan baik, sehat, dan sejahtera. Dia berharap ke depan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya akan lebih baik dalam suasana rukun dan harmonis.
“Biasanya setelah Imlek ada yang namanya perayaan Cap Go Meh dan kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan atau upacara syukuran atas apa yang diberikan Sang Pencipta,” katanya.
Menurut dia, eksistensi vihara sebagai tempat ibadah dan cagar budaya ini harus mengedepankan kemaslahatan umat. Untuk mewujudkan niat tersebut, Lie Kok Tie minta agar vihara dipimpin manajemen yang baik, transparan dari umat untuk umat.
Baca juga: Taruna Merah Putih DKI: Cap Go Meh Momentum Perekat Toleransi
Tak kalah penting, vihara ke depan harus go green atau ramah lingkungan. Artinya, masalah lilin dan dupa harus diperhatikan sebaik-baiknya seperti apa ke depannya.
Menurut Lie Kok Tie, apa yang menjadi masukannya merupakan upaya adaptasi apa yang dilakukan umat Buddha di luar negeri di tengah kemajuan teknologi yang semakin memudahkan umat.
“Sejatinya vihara atau tempat ibadah itu harus dapat menyejahterakan masyarakat di lingkungannya terlebih dahulu. Jika berlebih maka perlu juga kepada masyarakat yang lebih luas,” ucapnya.
Vihara harus mengedukasi umat agar peduli sesama dan mengedepankan toleransi dalam suasana keberagaman dalam menyatukan bangsa. “Harapannya kita di Indonesia harus menjunjung tinggi toleransi, menghindari unsur sara dalam suasana keberagaman yang menyatukan bangsa,” ujar Lie Kok Tie.
(jon)