Menakar Premanisme
Senin, 29 Juni 2020 - 08:29 WIB
Sedangkan gang lebih merupakan wujud dari karir sebagai penjahat, sekelompok orang yang sudah menyatakan diri memiliki kejahatan sebagai jalan hidup. Pembentukan gang juga merupakan bentuk adaptasi, namun sebuah adaptasi berbentuk kelompok agar dapat lebih sukses dalam persaingan yang juga terjadi di dalam dunia kriminal. (Baca juga: Fraksi PKS Kecam keras Rencana Israel Caplok Tepi Barat)
Apakah preman yang kita kenal sama dengan fenomena gang bahkan organized crime? Ciri berkelompok dan proses terbentuknya mungkin sama. Hal yang membedakannya dalam konteks Indonesia adalah aktivitas yang dilakukannya. Ian Wilson (2018) di dalam bukunya Politik Jatah Preman, menjelaskan makna preman di Indonesia lebih berkonotasi kriminal. Namun premanisme merupakan pencerminan sebuah ambiguitas antara legalitas dan ilegalitas, yang sebelumnya menjadi ciri dari Orde Baru.
Ada kalanya aktivitas yang dilakukan belum dapat disebut sebagai pelanggaran hukum, meskipun tidak menyenangkan, meresahkan atau merugikan. Premanisme tidak hanya memberikan alternatif dalam mendapatkan kesejahteraan anggotanya, namun juga menjadi sarana solidaritas kelompok. Mengacu pada penelitian Wilson, premanisme memiliki kekuasaan informal tertentu yang pada kelanjutannya dapat dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik ekonomi maupun politik.
Di dalam Handbook of Organized Crime and Politics (Allun dan Gilmour, 2018) dijelaskan, kejahatan yang terorganisir terkadang berwujud sebuah politico-criminal configurations, dimana aktivitas yang dilakukannya, khususnya kekerasan tidak lagi di lihat hanya sebagai anomali, namun merupakan sebuah sumber daya politik.
Konfigurasi politik dan kejahatan ini semakin menyulitkan pengendalian premanisme secara formal melalui penegakan hukum. Relasi dengan kekuasaan politik memberi semacam perlindungan, sebagai imbalan atas keterlibatannya di dalam mendukung kepentingan politik tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Jerome Tadie (2009) juga memberikan penjelasan mengapa fenomena premanisme ini marak, khususnya di Kota Jakarta. Aspek ruang menjadi perhatian di dalam penelitian yang dilakukannya. Ia berpandangan, kekerasan berkelompok mampu membentuk ruang-ruang di dalam berfungsinya kota. (Baca juga: Terpedaya Cinta Buda, Gadis Belia Jatuh ke Pelukan Duda)
Sebagai contoh, di Jakarta dikenal sejumlah daerah rawan, seperti wilayah Senen atau Tanjung Priok. Profil ini muncul karena keduanya termasuk wilayah dengan frekuensi kejahatan yang tinggi di Jakarta. Profil inipun membentuk cara kota bekerja, seperti dijadikannya kedua wilayah tersebut sebagai hot spot (pusat perhatian) dalam pemolisian dibandingkan wilayah lain. Dalam konteks yang lebih berbahaya, kedua wilayah rawan Jakarta itu dapat dijadikan tempat mengawali kerusuhan dengan provokasi tertentu.
Ian Wilson (2018) menyebut perpindahan orang ke ibu kota negara atau ibu kota provinsi adalah salah satu latar belakang munculnya premanisme ini. Penelitian-penelitian tentang kejahatan di perkotaan di Amerika Serikat mulai 1920-an telah lama membenarkan apa yang dijelaskan oleh Wilson. Termasuk menjelaskan pula mengapa terbentuk ruang-ruang kekerasan (rawan) di perkotaan.
Di dalam concentric zone theory yang diperkenalkan oleh Ernest Burgess tahun 1925 dijelaskan adanya ruang yang mengalami disorganisasi sosial tinggi di perkotaan, yaitu ruang di mana pranata sosial cenderung tidak berfungsi sehingga peristiwa konflik dan kejahatan menjadi relatif tinggi. Ruang ini cenderung kumuh, padat, dan merupakan tempat tinggal pendatang. Di dalam ruang seperti ini gang atau premanisme (seperti yang dipahami di Indonesia) berkembang.
Dari sisi motif, tidak semua gang berorientasi kriminal, dalam arti mendapatkan keuntungan ekonomi dari aktivitas ilegal yang dilakukannya. Ada juga gang yang khusus berorientasi kekerasan, di mana motif kentungan ekonomi tidak lebih utama dari kekerasan yang sering mereka lakukan. Melalui kekerasan reputasi kelompok dibentuk. Di dalam gang selalu ada cerita sukses (success story) dan ketokohan yang menjadi daya tarik tersendiri dalam perekrutan anggota baru. (Baca juga: Ketua ICMI IMbau Presiden-Parpol Cabut RUU HIP dari Prolegnas)
Apakah preman yang kita kenal sama dengan fenomena gang bahkan organized crime? Ciri berkelompok dan proses terbentuknya mungkin sama. Hal yang membedakannya dalam konteks Indonesia adalah aktivitas yang dilakukannya. Ian Wilson (2018) di dalam bukunya Politik Jatah Preman, menjelaskan makna preman di Indonesia lebih berkonotasi kriminal. Namun premanisme merupakan pencerminan sebuah ambiguitas antara legalitas dan ilegalitas, yang sebelumnya menjadi ciri dari Orde Baru.
Ada kalanya aktivitas yang dilakukan belum dapat disebut sebagai pelanggaran hukum, meskipun tidak menyenangkan, meresahkan atau merugikan. Premanisme tidak hanya memberikan alternatif dalam mendapatkan kesejahteraan anggotanya, namun juga menjadi sarana solidaritas kelompok. Mengacu pada penelitian Wilson, premanisme memiliki kekuasaan informal tertentu yang pada kelanjutannya dapat dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik ekonomi maupun politik.
Di dalam Handbook of Organized Crime and Politics (Allun dan Gilmour, 2018) dijelaskan, kejahatan yang terorganisir terkadang berwujud sebuah politico-criminal configurations, dimana aktivitas yang dilakukannya, khususnya kekerasan tidak lagi di lihat hanya sebagai anomali, namun merupakan sebuah sumber daya politik.
Konfigurasi politik dan kejahatan ini semakin menyulitkan pengendalian premanisme secara formal melalui penegakan hukum. Relasi dengan kekuasaan politik memberi semacam perlindungan, sebagai imbalan atas keterlibatannya di dalam mendukung kepentingan politik tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Jerome Tadie (2009) juga memberikan penjelasan mengapa fenomena premanisme ini marak, khususnya di Kota Jakarta. Aspek ruang menjadi perhatian di dalam penelitian yang dilakukannya. Ia berpandangan, kekerasan berkelompok mampu membentuk ruang-ruang di dalam berfungsinya kota. (Baca juga: Terpedaya Cinta Buda, Gadis Belia Jatuh ke Pelukan Duda)
Sebagai contoh, di Jakarta dikenal sejumlah daerah rawan, seperti wilayah Senen atau Tanjung Priok. Profil ini muncul karena keduanya termasuk wilayah dengan frekuensi kejahatan yang tinggi di Jakarta. Profil inipun membentuk cara kota bekerja, seperti dijadikannya kedua wilayah tersebut sebagai hot spot (pusat perhatian) dalam pemolisian dibandingkan wilayah lain. Dalam konteks yang lebih berbahaya, kedua wilayah rawan Jakarta itu dapat dijadikan tempat mengawali kerusuhan dengan provokasi tertentu.
Ian Wilson (2018) menyebut perpindahan orang ke ibu kota negara atau ibu kota provinsi adalah salah satu latar belakang munculnya premanisme ini. Penelitian-penelitian tentang kejahatan di perkotaan di Amerika Serikat mulai 1920-an telah lama membenarkan apa yang dijelaskan oleh Wilson. Termasuk menjelaskan pula mengapa terbentuk ruang-ruang kekerasan (rawan) di perkotaan.
Di dalam concentric zone theory yang diperkenalkan oleh Ernest Burgess tahun 1925 dijelaskan adanya ruang yang mengalami disorganisasi sosial tinggi di perkotaan, yaitu ruang di mana pranata sosial cenderung tidak berfungsi sehingga peristiwa konflik dan kejahatan menjadi relatif tinggi. Ruang ini cenderung kumuh, padat, dan merupakan tempat tinggal pendatang. Di dalam ruang seperti ini gang atau premanisme (seperti yang dipahami di Indonesia) berkembang.
Dari sisi motif, tidak semua gang berorientasi kriminal, dalam arti mendapatkan keuntungan ekonomi dari aktivitas ilegal yang dilakukannya. Ada juga gang yang khusus berorientasi kekerasan, di mana motif kentungan ekonomi tidak lebih utama dari kekerasan yang sering mereka lakukan. Melalui kekerasan reputasi kelompok dibentuk. Di dalam gang selalu ada cerita sukses (success story) dan ketokohan yang menjadi daya tarik tersendiri dalam perekrutan anggota baru. (Baca juga: Ketua ICMI IMbau Presiden-Parpol Cabut RUU HIP dari Prolegnas)
tulis komentar anda