Kisruh Tanah Wijaya Karya Beton Berujung di Meja Hijau
Rabu, 03 Juni 2020 - 12:41 WIB
JAKARTA - PT Wijaya Karya Beton diduga mengalami kerugian senilai hampir Rp200 miliar akibat tertipu M Ali (80). Kejadian itu bermula, ketika 2016 PT Wijaya Karya Beton dalam rangka pembangunan pabrik membeli tanah seluas 500 ribu meter persegi kepada PT Agrawisesa Widyatama milik M Ali di Desa Karangmukti, Cipeundeuy, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Namun, hingga kini, sertifikat tanah tersebut tak kunjung ada, karena diduga sertifikat telah dijaminkan Burhanuddin di Bank QNB (Qatar National Bank) Indonesia. PT Wijaya Karya Beton pun lantas melaporkan M Ali dan Burhanuddin ke Bareskrim Polri yang kemudian mentersangkakan keduanya. Secara hukum memang M Ali sebagai Direktur, jadi wajar kalau harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita PT Wijaya Karya Beton.
Berkas M Ali pun sudah mulai disidangkan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 2 Juli 2020. Dia diancam pidana sesuai Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sidang tersebut dipimpin Hakim Ketua Arlandi, dengan jaksa R Carolina Fitri Sitinjak.
"Karena klien kami Muhammad Ali sebagai Direktur, maka semua perbuatan hukum dia yang tandatangani, tapi sesungguhnya yang melakukan negosiasi, terima uang, hingga pembayaran tanah hingga total hampir Rp200 miliar itu adalah yang kini menjadi buron yaitu Burhanudin yang merupakan Komisaris Utama PT Agrawisesa Widyatama," kata Kuasa Hukum M Ali, Petrus Bala Pattyona dalam keterangannya, Rabu (3/6/2020).
Dia mengatakan, kliennya didakwa pasal pidana penipuan, penggelapan dan menempatkan keterangan palsu yang terjadi pada 9 Mei 2016 hingga Mei 2017 di kantor PT Wijaya Karya Beton di Jalan Jatiwaringin Pondok Gede dan kantor Bank QNB Kawasan SCBD Sudirman Jakarta Selatan.
Namun, Petrus menyanggahnya, karena tanahnya sudah digunakan PT Wijaya Karya Beton untuk proyek pembuatan pabrik. Kini, PT Wijaya Karya Beton menuntut sertifikat yang ternyata dijaminkan Burhanudin ke bank. "Ini sebenarnya juga kecerobohan PT Wijaya Karya Beton, mau beli tanah yang nilainya hampir Rp200 miliar tapi belum ada sertifikat, baru PPJB. Dan klien kami itu sekolah hanya SD kelas 5," kata Petrus.
Dalam dakwaan itu, menurut Petrus, seolah-olah Ali yang melakukan semuanya. Padahal, dia tidak melakukan apa-apa. Makanya, lanjut Petrus, dalam dakwaan itu disebutkan bahwa Ali turut serta membantu pelaku utamanya yaitu Burhanudin.
Menurut Petrus, kasus ini sesungguhnya murni perdata karena yang belum terjadi adalah pelepasan hak berupa jual beli karena uangnya sudah diterima perusahaan kliennya. Tetapi, semuanya digunakan Burhanuddin sebagai Komisaris Utama PT Agrawisesa Widyatama dimana terdakwa sebagai Direkturnya dan Burhanuddin yang menjaminkan sertifikat-sertifikat tanah ke QNB selaku Direktur PT Kalpataru.
Dengan adanya sidang pidana ini, imbuhnya, kliennya tidak bisa menandatangani pengalihan hak jual beli walau PT Wijaya Karya Beton sudah menguasai dan menggunakan tanahnya.
“Mengapa dia turut serta, karena semua terkait perusahaan klien kami yang tandatangan sebagai Direktur. Sebelum menjadi sertifikat, dibuatlah Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di Notaris Olga Karina Supardjan, di Subang, dengan cara termin pembayaran, 30 persen, 40 persen dan seterusnya, dan yang mengatur itu semua saudara Burhanudin yang bekerjasama dengan Direksi PT Wijaya Karya Beton dan pihak Notaris," terangnya.
Namun, hingga kini, sertifikat tanah tersebut tak kunjung ada, karena diduga sertifikat telah dijaminkan Burhanuddin di Bank QNB (Qatar National Bank) Indonesia. PT Wijaya Karya Beton pun lantas melaporkan M Ali dan Burhanuddin ke Bareskrim Polri yang kemudian mentersangkakan keduanya. Secara hukum memang M Ali sebagai Direktur, jadi wajar kalau harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita PT Wijaya Karya Beton.
Berkas M Ali pun sudah mulai disidangkan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 2 Juli 2020. Dia diancam pidana sesuai Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sidang tersebut dipimpin Hakim Ketua Arlandi, dengan jaksa R Carolina Fitri Sitinjak.
"Karena klien kami Muhammad Ali sebagai Direktur, maka semua perbuatan hukum dia yang tandatangani, tapi sesungguhnya yang melakukan negosiasi, terima uang, hingga pembayaran tanah hingga total hampir Rp200 miliar itu adalah yang kini menjadi buron yaitu Burhanudin yang merupakan Komisaris Utama PT Agrawisesa Widyatama," kata Kuasa Hukum M Ali, Petrus Bala Pattyona dalam keterangannya, Rabu (3/6/2020).
Dia mengatakan, kliennya didakwa pasal pidana penipuan, penggelapan dan menempatkan keterangan palsu yang terjadi pada 9 Mei 2016 hingga Mei 2017 di kantor PT Wijaya Karya Beton di Jalan Jatiwaringin Pondok Gede dan kantor Bank QNB Kawasan SCBD Sudirman Jakarta Selatan.
Namun, Petrus menyanggahnya, karena tanahnya sudah digunakan PT Wijaya Karya Beton untuk proyek pembuatan pabrik. Kini, PT Wijaya Karya Beton menuntut sertifikat yang ternyata dijaminkan Burhanudin ke bank. "Ini sebenarnya juga kecerobohan PT Wijaya Karya Beton, mau beli tanah yang nilainya hampir Rp200 miliar tapi belum ada sertifikat, baru PPJB. Dan klien kami itu sekolah hanya SD kelas 5," kata Petrus.
Dalam dakwaan itu, menurut Petrus, seolah-olah Ali yang melakukan semuanya. Padahal, dia tidak melakukan apa-apa. Makanya, lanjut Petrus, dalam dakwaan itu disebutkan bahwa Ali turut serta membantu pelaku utamanya yaitu Burhanudin.
Menurut Petrus, kasus ini sesungguhnya murni perdata karena yang belum terjadi adalah pelepasan hak berupa jual beli karena uangnya sudah diterima perusahaan kliennya. Tetapi, semuanya digunakan Burhanuddin sebagai Komisaris Utama PT Agrawisesa Widyatama dimana terdakwa sebagai Direkturnya dan Burhanuddin yang menjaminkan sertifikat-sertifikat tanah ke QNB selaku Direktur PT Kalpataru.
Dengan adanya sidang pidana ini, imbuhnya, kliennya tidak bisa menandatangani pengalihan hak jual beli walau PT Wijaya Karya Beton sudah menguasai dan menggunakan tanahnya.
“Mengapa dia turut serta, karena semua terkait perusahaan klien kami yang tandatangan sebagai Direktur. Sebelum menjadi sertifikat, dibuatlah Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di Notaris Olga Karina Supardjan, di Subang, dengan cara termin pembayaran, 30 persen, 40 persen dan seterusnya, dan yang mengatur itu semua saudara Burhanudin yang bekerjasama dengan Direksi PT Wijaya Karya Beton dan pihak Notaris," terangnya.
(mhd)
tulis komentar anda