Soal Aisha Wedding, Pakar Keluarga: Kesiapan Usia Sangat Penting dalam Pernikahan

Kamis, 18 Februari 2021 - 02:56 WIB
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema) IPB University Tin Herawati, menekankan pentingnya usia pernikahan untuk memasuki gerbang pernikahan. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema) IPB University Tin Herawati, mengatakan untuk memasuki gerbang pernikahan, seseorang harus mampu memperoleh sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Hal itu diungkapkan Tin Herawati menanggapihebohnya Aisha Wedding yang mengampanyekan menikah dini di usia yang sangat belia.

"Jika hal tersebut tidak terpenuhi maka akan muncul permasalahan dalam kehidupan keluarga yang berujung pada perceraian," ungkapnya.

Menurutnya, usia pernikahan di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. "Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak," ungkapnya.



Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan anak adalah rendahnya pengetahuan orang tua, kondisi ekonomi, budaya, dan kehamilan di luar nikah akibat seks bebas. “Kesiapan mental yang rendah pada pernikahan anak biasanya dihadapkan pada ketidaksiapan menghadapi situasi setelah menikah, termasuk tidak siap dalam mengasuh anak yang dilahirkannya,” ujarya.

Selanjutnya Tin Herawati menjelaskan bahwa kesiapan mental sangat penting untuk mempersiapkan kemungkinan yang terjadi dan mengantisipasi risiko dalam kehidupan pernikahan. "Jika tidak memiliki kesiapan mental maka akan tertekan dan stres ketika menghadapi permasalahan pernikahan," katanya.

Kemudian, dia menambahkan, rendahnya kesiapan intelektual pada pernikahan anak ditunjukkan dengan belum optimalnya mempersiapkan pengetahuan dan informasi terkait kehidupan pernikahan, cara merawat kehamilan, mengasuh anak dan mengelola keuangan. "Dengan kesiapan intelektual yang baik, menurutnya, maka semakin banyak pengetahuan dan informasi yang diperoleh yang dapat membantu mengatasi permasalahan atau hambatan," ungkapnya.

Jika tidak memiliki kesiapan intelektual maka akan menyebabkan kesalahan dalam memecahkan masalah yang dapat memicu pertengkaran. “Dengan rendahnya kesiapan dalam kehidupan berkeluarga, pada umumnya pelaku pernikahan anak belum memahami tentang kehidupan keluarga. Termasuk tidak paham dalam melaksanakan fungsi, peran dan tugas dalam kehidupan berkeluarga," tegasnya.

Ia menambahkan jika tidak paham akan hal tersebut maka akan memicu konflik dalam keluarga dan berujung pada perceraian. "Mengingat beberapa permasalahan yang ditemukan pada pernikahan anak, maka sebaiknya pernikahan disiapkan dengan baik untuk mencapai tujuan yaitu keluarga bahagia,” imbuhnya.

Menurutnya, salah satu faktor penting yang harus dipersiapkan untuk memasuki pernikahan adalah usia menikah. Bagaimanapun, persiapan usia sangat penting karena terkait dengan kematangan fisik, mental, emosi dan ekonomi. Khusus bagi para perempuan, persiapan usia juga berkaitan dengan kesiapan kehamilan dan kesiapan menerima kehadiran bayi yang dilahirkan. Ketidaksiapan usia saat menikah atau dikenal dengan pernikahan anak masih banyak terjadi di Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2000) menyebut prevalensi perkawinan anak pada 2018 adalah 11.21% atau lebih dari 1 juta perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 0,56% perempuan usia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun. Pernikahan anak yang disertai dengan kurangnya persiapan akan menimbulkan tugas-tugas dalam kehidupan keluarga kurang berjalan dengan baik dan rendahnya kepuasan pernikahan sehingga memiliki risiko perceraian yang lebih besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan anak memiliki kesiapan menikah yang rendah, terutama kesiapan finansial, mental, intelektual dan kesiapan kehidupan berkeluarga.

Pelaku pernikahan anak pada umumnya memiliki pendidikan rendah yang berdampak pada pendapatan yang diterima, bahkan ada juga yang belum memiliki sumber pendapatan, yang akan berdampak pada rendahnya kepuasan pernikahan.
(cip)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More