Lindungi Anak dari Ancaman Eksploitasi dan Prostitusi
Selasa, 06 Oktober 2020 - 08:09 WIB
JAKARTA - Kasus prostitusi yang melibatkan anak terus terjadi bahkan trennya meningkat. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per 31 Agustus, anak yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan eksploitasi mencapai 88 kasus.
Angka tersebut didominasi oleh kasus anak yang menjadi korban eksploitasi pekerja sebanyak 18 kasus dan anak korban prostitusi 13 kasus. Selebihnya anak korban perdagangan, anak korban adopsi ilegal, anak korban eksploitasi seks komersial anak, serta anak (pelaku) rekrutmen eksploitasi seks komersial anak (ESKA) dan prostitusi. (Baca: Hidayah adalah Mengetahui Kebenaran)
Secara khusus, KPAI memantau sejak Juli hingga September 2020 pada 9 kasus di berbagai kota/kabupaten, yakni Ambon, Paser, Madiun, Pontianak, Bangka Selatan, Pematang Siantar, Padang, Tulang Bawang Lampung, dan Batam, Kepri dengan jumlah 52 korban, serta terdapat belasan pelaku rekrutmen dan saksi anak di bawah umur.
"Padahal sejalan dengan masa pandemi, anak harus sepenuhnya berada di rumah bersama orang tua dan mematuhi protokol kesehatan, anak terpenuhi hak pendidikan dan pengasuhannya," ujar Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah kemarin.
Temuan KPAI, pertama, jumlah korban prostitusi yang melibatkan anak rata-rata lebih dari satu orang pada setiap kasusnya, dengan tren anak perempuan usia paling rendah 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Kedua, pada hampir semua peristiwa, melibatkan mucikari/penghubung dengan ragam subjek pelaku. Misalnya bertindak sebagai bos dan jaringannya yang menjalankan peran masing-masing sehingga menjadi sebuah sindikat.
"Selain itu, pola "teman menjual teman" dalam lingkungan sebaya juga sangat menonjol dan tren saat ini mucikari merangkap sebagai pacar, hingga terlibat hidup bersama (kumpul kebo) agar mudah memperdaya korban," katanya. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
Selain itu, mucikari yang mencabuli terlebih dahulu para korban sebelum dijual sehingga anak terus dimanfaatkan dan mendapatkan kekerasan. Dengan demikian, “mucikari” menjadi mata rantai perdagangan manusia yang mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan mengeksploitasi anak secara seksual dalam prostitusi.
Ketiga, dari 9 kasus yang dipantau KPAI, mayoritas merupakan kasus prostitusi online yang memanfaatkan kemudahan transaksi elektronik dalam menjalankan aksinya. Mereka menggunakan beragam media sosial, seperti Facebook, MeChat, WeChat, dan WhatsApp yang kemudian dihubungkan kepada pelanggan.
Berikutnya, kata Ai Maryati Solihah, latar belakang anak masuk dan terlibat dalam prostitusi beragam, namun didominasi oleh pemanfaatan anak dalam situasi rentan. Misalnya mereka yang membutuhkan pekerjaan, direkrut kemudian ditampung untuk dipekerjakan, padahal dilibatkan prostitusi. "Kemudian pola dipacari dahulu sehingga mengikuti perintah pacar untuk melayani laki-laki hidung belang," tuturnya.
Angka tersebut didominasi oleh kasus anak yang menjadi korban eksploitasi pekerja sebanyak 18 kasus dan anak korban prostitusi 13 kasus. Selebihnya anak korban perdagangan, anak korban adopsi ilegal, anak korban eksploitasi seks komersial anak, serta anak (pelaku) rekrutmen eksploitasi seks komersial anak (ESKA) dan prostitusi. (Baca: Hidayah adalah Mengetahui Kebenaran)
Secara khusus, KPAI memantau sejak Juli hingga September 2020 pada 9 kasus di berbagai kota/kabupaten, yakni Ambon, Paser, Madiun, Pontianak, Bangka Selatan, Pematang Siantar, Padang, Tulang Bawang Lampung, dan Batam, Kepri dengan jumlah 52 korban, serta terdapat belasan pelaku rekrutmen dan saksi anak di bawah umur.
"Padahal sejalan dengan masa pandemi, anak harus sepenuhnya berada di rumah bersama orang tua dan mematuhi protokol kesehatan, anak terpenuhi hak pendidikan dan pengasuhannya," ujar Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah kemarin.
Temuan KPAI, pertama, jumlah korban prostitusi yang melibatkan anak rata-rata lebih dari satu orang pada setiap kasusnya, dengan tren anak perempuan usia paling rendah 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Kedua, pada hampir semua peristiwa, melibatkan mucikari/penghubung dengan ragam subjek pelaku. Misalnya bertindak sebagai bos dan jaringannya yang menjalankan peran masing-masing sehingga menjadi sebuah sindikat.
"Selain itu, pola "teman menjual teman" dalam lingkungan sebaya juga sangat menonjol dan tren saat ini mucikari merangkap sebagai pacar, hingga terlibat hidup bersama (kumpul kebo) agar mudah memperdaya korban," katanya. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
Selain itu, mucikari yang mencabuli terlebih dahulu para korban sebelum dijual sehingga anak terus dimanfaatkan dan mendapatkan kekerasan. Dengan demikian, “mucikari” menjadi mata rantai perdagangan manusia yang mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan mengeksploitasi anak secara seksual dalam prostitusi.
Ketiga, dari 9 kasus yang dipantau KPAI, mayoritas merupakan kasus prostitusi online yang memanfaatkan kemudahan transaksi elektronik dalam menjalankan aksinya. Mereka menggunakan beragam media sosial, seperti Facebook, MeChat, WeChat, dan WhatsApp yang kemudian dihubungkan kepada pelanggan.
Berikutnya, kata Ai Maryati Solihah, latar belakang anak masuk dan terlibat dalam prostitusi beragam, namun didominasi oleh pemanfaatan anak dalam situasi rentan. Misalnya mereka yang membutuhkan pekerjaan, direkrut kemudian ditampung untuk dipekerjakan, padahal dilibatkan prostitusi. "Kemudian pola dipacari dahulu sehingga mengikuti perintah pacar untuk melayani laki-laki hidung belang," tuturnya.
tulis komentar anda