Tinggal di Gubuk Reyot, Janda 3 Anak Selalu Diteror Ular dan Kalajengking
Kamis, 24 September 2020 - 05:35 WIB
TANGERANG SELATAN - Seorang janda paruh baya bernama Nuraini,41, bersama 3 anak dan seorang cucunya tinggal di gubuk reyot yang terletak di Kampung Jaletreng, RT03/03, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel) .
Kondisi bangunannya terlihat begitu mengenaskan, kilauan cahaya matahari nampak tembus dari celah-celah atap ke bagian permukaan lantai. Hal itu menandakan sisi atap gubuknya banyak renggang, hingga saat hujan turun airnya kerap masuk ke dalam. Sepeninggal suaminya, almarhum Rusdianto, pada 21 Agustus 2020 lalu, Nuraini kini harus menghidupi keluarga seorang diri dengan berdagang mie rebus, dibantu putri pertamanya yang bekerja membantu di salah satu konter handphone. (Baca juga: Pemkot Tangsel Perbaiki Ratusan Rumah Tak Layak Huni)
Ditemui saat berada di lapak kecilnya tempat berdagang, Nuraini menceritakan bahwa sejak suaminya meninggal dia berinisiatif berjualan mie di bangunan semi permanen yang dibangun tak jauh dari gubuknya. "Sejak suami saya meninggal jadi saya bantu-bantu lewat jualan mie. Kan anak saya yang paling tua juga kerja di konter HP," tuturnya, Rabu (23/9/2020). (Baca juga: Ada Klaster COVID-19 Baru, 75% ASN Pemkot Tangsel Kerja di Rumah)
Sejak 5 tahun lalu, Nuraini dan anak cucunya tinggal di gubuk reyot setelah tak mampu membayar kontrakan yang juga berada di sekitar perkampungan Jaletreng. Gubuk yang terdiri dari 2 bangunan semi permanen itu semula adalah tempat singgah saat mengurus kebun dan sekaligus juga tempat tinggal mertuanya. "Dulu awalnya buat tempat istirahat, tapi setelah itu nggak pernah digunain. Suami saya kan dulu abis di PHK kerja serabutan, kadang ngojek, macam-macam. Dulu kita ngontrak petakan, karena nggak kuat lagi bayar akhirnya kita pindah ke gubuk punya ibu mertua saya itu," jelasnya. (Baca juga: Sasaran Warga Miskin Diperluas Jadi 60%, Kemensos Sempurnakan DTKS)
Keberadaan gubuk reyot itu sungguh kontras dengan permukiman sekitar. Kondisinya kian memprihatinkan manakala hujan turun, seisi dalam gubuk basah kuyup akibat curah air menerjang bebas dari atap. Saat masih hidup, suami Nuraini lah yang kerap naik ke atas menambal atap-atap yang bocor. "Dulu waktu suami masih hidup, dia yang betulin atap-atap. Tiap hari kalajengking, ular, tikus itu sering muncul di dapur, halaman depan. Kalau kalajengking dari yang kecil sampai yang sebesar kepalan tangan itu banyak muncul di dalam. Pernah ular dari atap jatuh ke bak mandi anak, untung anak saya udah selesai mandi waktu itu," sambungnya.
Di belakang persis gubuk reyot itu memang terdapat pohon-pohon bambu lebat di bagian kiri dan kanannya. Pohon bambu itu menjadi pembatas tebing di bawahnya dengan kedalaman sekira 10 meter. Tanpa turap atau penahan apapun, permukaan tanah dari gubuk reyot Nuraini memang bisa saja sewaktu-waktu tergerus dan longsor. "Makanya sementara ini kita mengungsi ke kontrakan petak di samping rumah, untuk sementara karena kasihan anak-anak saya masih kecil takut kenapa-kenapa. Apalagi bapaknya kan nggak ada," tambahnya lagi.
Nuraini beserta anak dan cucunya sudah hampir 2 bulan ini tinggal menyewa kontrakan kecil di dekat gubuknya. Harga sewanya Rp500.000 perbulan. Untuk membayarnya, dia mengandalkan hasil berjualan mie dan pendapatan putrinya dari bekerja di konter HP. "Bayarnya patungan. Belum tahu gimana ke depan, yang ada di pikiran saya cuman bagaimana membesarkan anak-anak saya ke depan," ucapnya.
Tak banyak harapan Nuraini, lantaran dinas terkait menyatakan tak mampu membangun gubuk reyot itu karena lahan di sana adalah milik keluarga dari almarhum suaminya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua RT03, Ahmad Juhdi Jazuli, membenarkan bahwa lahan yang dibangun gubuk itu adalah milik mertua dari almarhum suami Nuraini. Pihak dari Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimta) disebut tak bisa membangun gubuk itu lantaran surat tanah kepemilikannya bukan atas nama Nuraini atau suaminya. "Tanahnya masih punya saudara, bukan tanah dia, jadi nggak bisa dibantu sama dinas. Sebenarnya bisa bedah rumah, cuma si Nuraini nya harus izin minta persetujuan dari saudara almarhum suaminya, surat pernyataan dari ahli warisnya," ungkap Jazuli.
Kondisi bangunannya terlihat begitu mengenaskan, kilauan cahaya matahari nampak tembus dari celah-celah atap ke bagian permukaan lantai. Hal itu menandakan sisi atap gubuknya banyak renggang, hingga saat hujan turun airnya kerap masuk ke dalam. Sepeninggal suaminya, almarhum Rusdianto, pada 21 Agustus 2020 lalu, Nuraini kini harus menghidupi keluarga seorang diri dengan berdagang mie rebus, dibantu putri pertamanya yang bekerja membantu di salah satu konter handphone. (Baca juga: Pemkot Tangsel Perbaiki Ratusan Rumah Tak Layak Huni)
Ditemui saat berada di lapak kecilnya tempat berdagang, Nuraini menceritakan bahwa sejak suaminya meninggal dia berinisiatif berjualan mie di bangunan semi permanen yang dibangun tak jauh dari gubuknya. "Sejak suami saya meninggal jadi saya bantu-bantu lewat jualan mie. Kan anak saya yang paling tua juga kerja di konter HP," tuturnya, Rabu (23/9/2020). (Baca juga: Ada Klaster COVID-19 Baru, 75% ASN Pemkot Tangsel Kerja di Rumah)
Sejak 5 tahun lalu, Nuraini dan anak cucunya tinggal di gubuk reyot setelah tak mampu membayar kontrakan yang juga berada di sekitar perkampungan Jaletreng. Gubuk yang terdiri dari 2 bangunan semi permanen itu semula adalah tempat singgah saat mengurus kebun dan sekaligus juga tempat tinggal mertuanya. "Dulu awalnya buat tempat istirahat, tapi setelah itu nggak pernah digunain. Suami saya kan dulu abis di PHK kerja serabutan, kadang ngojek, macam-macam. Dulu kita ngontrak petakan, karena nggak kuat lagi bayar akhirnya kita pindah ke gubuk punya ibu mertua saya itu," jelasnya. (Baca juga: Sasaran Warga Miskin Diperluas Jadi 60%, Kemensos Sempurnakan DTKS)
Keberadaan gubuk reyot itu sungguh kontras dengan permukiman sekitar. Kondisinya kian memprihatinkan manakala hujan turun, seisi dalam gubuk basah kuyup akibat curah air menerjang bebas dari atap. Saat masih hidup, suami Nuraini lah yang kerap naik ke atas menambal atap-atap yang bocor. "Dulu waktu suami masih hidup, dia yang betulin atap-atap. Tiap hari kalajengking, ular, tikus itu sering muncul di dapur, halaman depan. Kalau kalajengking dari yang kecil sampai yang sebesar kepalan tangan itu banyak muncul di dalam. Pernah ular dari atap jatuh ke bak mandi anak, untung anak saya udah selesai mandi waktu itu," sambungnya.
Di belakang persis gubuk reyot itu memang terdapat pohon-pohon bambu lebat di bagian kiri dan kanannya. Pohon bambu itu menjadi pembatas tebing di bawahnya dengan kedalaman sekira 10 meter. Tanpa turap atau penahan apapun, permukaan tanah dari gubuk reyot Nuraini memang bisa saja sewaktu-waktu tergerus dan longsor. "Makanya sementara ini kita mengungsi ke kontrakan petak di samping rumah, untuk sementara karena kasihan anak-anak saya masih kecil takut kenapa-kenapa. Apalagi bapaknya kan nggak ada," tambahnya lagi.
Nuraini beserta anak dan cucunya sudah hampir 2 bulan ini tinggal menyewa kontrakan kecil di dekat gubuknya. Harga sewanya Rp500.000 perbulan. Untuk membayarnya, dia mengandalkan hasil berjualan mie dan pendapatan putrinya dari bekerja di konter HP. "Bayarnya patungan. Belum tahu gimana ke depan, yang ada di pikiran saya cuman bagaimana membesarkan anak-anak saya ke depan," ucapnya.
Tak banyak harapan Nuraini, lantaran dinas terkait menyatakan tak mampu membangun gubuk reyot itu karena lahan di sana adalah milik keluarga dari almarhum suaminya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua RT03, Ahmad Juhdi Jazuli, membenarkan bahwa lahan yang dibangun gubuk itu adalah milik mertua dari almarhum suami Nuraini. Pihak dari Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimta) disebut tak bisa membangun gubuk itu lantaran surat tanah kepemilikannya bukan atas nama Nuraini atau suaminya. "Tanahnya masih punya saudara, bukan tanah dia, jadi nggak bisa dibantu sama dinas. Sebenarnya bisa bedah rumah, cuma si Nuraini nya harus izin minta persetujuan dari saudara almarhum suaminya, surat pernyataan dari ahli warisnya," ungkap Jazuli.
(cip)
tulis komentar anda