Dokter Klinik Aborsi Percetakan Negara Tak Miliki Sertifikasi Dokter

Rabu, 23 September 2020 - 18:26 WIB
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus.Foto/SINDOnews/Dok
JAKARTA - DK (30) dokter yang melakukan praktik aborsi ilegal di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat, tidak memiliki sertifikasi kedokteran. Meskipun DK merupakan lulusan dari Fakultas Kedokteran di salah satu universitas ternama di Sumatera Utara.

Kabid Humas Polda Metro Jaya , Kombes Pol yusri Yunus mengatakan, klinik aborsi yang telah beroperasi sejak 2017 ini sudah mengugurkan sebanyak 32.760 janin. Menurutnya, klinik tersebut pernah buka pada tahun 2002-2004, lalu tutup dan pada tahun 2017 kembali buka hingga saat ini.

Klinik aborsi Percetakan Negara tersebut buka setiap hari sejak pagi hingga sore hari dan tiap harinya ada sekitar 5-10 pasien aborsi yang ditangani, diperkirakan per bulan klinik itu menerima lebih dari 780 pasien.



"Per hari klinik aborsi itu bisa meraup Rp10-15 juta dari pasien aborsi, lalu uang itu dibagi ke dokter sebesar 40%," kata Yusri kepada wartawan Rabu (23/9/2020).

Dalam penangkap ini petugas menciduk LA (52) selaku pemilik klinik dan DK selaku dokter. Serta delapan pelaku lainnya yakni, NA (30), MM (38), YA (51), RA (52), LL (50), ED (28), SM (62), dan RS (25) yang memiliki peran berbeda-beda.

"DK ini adalah oknum dokter yang melakukan tindakan aborsi ke pasiennya. Dia bukanlah dokter bersertifikat. LA selaku pemilik klinik merekrut DK untuk menjadi dokter aborsi," ujarnya. (Baca: Klinik Aborsi Percetakan Negara Telah Gugurkan 32.760 Janin)

Yusri menuturkan, DK merupakan Fakultas Kedokteran di salah satu universitas ternama di Sumatera Utara."DK pernah melakukan KOAS (ko-assistant) di salah satu rumah sakit di sana dan hanya berlangsung sekitar dua bulan. Sehingga DK tidak memiliki sertifikasi sebagai dokter. Karena dia tidak sampai selesai, kemudian direkrut oleh si pemilik klinik untuk melakukan praktik aborsi," ucapnya.

Atas perbuatannya para tersangka dikenakan Pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 dan atau Pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan atau Pasal 77A juncto Pasal 45A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
(hab)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More