KPK Rekomendasikan 6 Hal Strategis Terkait Monev Tata Kelola Pemerintahan DKI Jakarta
Rabu, 12 Agustus 2020 - 21:29 WIB
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan enam (6) hal strategis kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan. Hal itu disampaikan dalam rapat paparan hasil monitoring dan evaluasi (monev) Program Koordinasi Pencegahan Korupsi semester pertama tahun 2020.
Keenam poin tersebut disampaikan KPK setelah melihat capaian Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta dengan skor rata-rata selama semester pertama tahun 2020 adalah 49%. Data tersebut berdasarkan aplikasi Monitoring Control Prevention (MCP). (Baca juga; KPK Perpanjang Penahanan 5 Tersangka Korupsi Waskita Karya )
“Artinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu membenahi aspek-aspek tata kelola pemerintahannya dengan berfokus pada tujuh area intervensi yang menjadi fokus pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan di Jakarta,” ujar Kepala Satgas Koordinasi Pencegahan Wilayah III KPK, Aida Ratna Zulaiha dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/8/2020).
Karena itu, lanjut Aida, KPK merekomendasikan enam poin strategis kepada Pemprov DKI Jakarta. Pertama, integrasi data. Seluruh data milik Pemerintah DKI Jakarta, seperti Barang Milik Daerah (BMD), pajak daerah, Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dan izin-izin lainnya, data yang terkumpul di instansi pusat terkait juga data sosial, kependudukan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan lainnya, disatukan dalam sebuah Peta Digital Jakarta Satu Terintegrasi.
Kedua, terkait, perluasan tax clearance system. Implementasi tax clearance system pada semua mata pajak, yaitu pajak pribadi perorangan dan pajak badan usaha, melalui sistem elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Objek Pajak (NOP), atau lainnya, untuk diterapkan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Ketiga, evaluasi regulasi. Gubernur DKI Jakarta, kata Aida, perlu mengevaluasi peraturan daerah yang berkaitan dengan keringanan pajak dan penghapusan piutang pajak, atau peraturan lainnya, yang bertentangan dengan azas keadilan atau tak sesuai dengan regulasi di atasnya, termasuk tumpang tindih beberapa produk hukum, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, surat edaran, dan lain-lain, yang mengatur hal yang sama.
“Hal ini perlu untuk menghindari kemungkinan fraud atau conflict of interest yang menyertai penerbitan aturan tersebut,” jelasnya. (Baca juga; Denda Progresif Pelanggar PSBB Transisi Jakarta Dinilai Tidak Efektif )
Terkait rencana pemberian keringanan pajak kepada sejumlah wajib pajak, dengan alasan bencana virus Corona, Aida mengingatkan dua hal pokok kepada Gubernur DKI Jakarta. Pertama, tepat sasaran dan tidak memihak kepentingan tertentu.
"Kedua, berdasarkan hasil telaah dan disertai bukti-bukti memadai. Bila kenyataannya penuh risiko, sebaiknya Pemerintah DKI Jakarta menghindari pemberian keringanan pajak," katanya.
Keenam poin tersebut disampaikan KPK setelah melihat capaian Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta dengan skor rata-rata selama semester pertama tahun 2020 adalah 49%. Data tersebut berdasarkan aplikasi Monitoring Control Prevention (MCP). (Baca juga; KPK Perpanjang Penahanan 5 Tersangka Korupsi Waskita Karya )
“Artinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu membenahi aspek-aspek tata kelola pemerintahannya dengan berfokus pada tujuh area intervensi yang menjadi fokus pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan di Jakarta,” ujar Kepala Satgas Koordinasi Pencegahan Wilayah III KPK, Aida Ratna Zulaiha dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/8/2020).
Karena itu, lanjut Aida, KPK merekomendasikan enam poin strategis kepada Pemprov DKI Jakarta. Pertama, integrasi data. Seluruh data milik Pemerintah DKI Jakarta, seperti Barang Milik Daerah (BMD), pajak daerah, Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dan izin-izin lainnya, data yang terkumpul di instansi pusat terkait juga data sosial, kependudukan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan lainnya, disatukan dalam sebuah Peta Digital Jakarta Satu Terintegrasi.
Kedua, terkait, perluasan tax clearance system. Implementasi tax clearance system pada semua mata pajak, yaitu pajak pribadi perorangan dan pajak badan usaha, melalui sistem elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Objek Pajak (NOP), atau lainnya, untuk diterapkan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Ketiga, evaluasi regulasi. Gubernur DKI Jakarta, kata Aida, perlu mengevaluasi peraturan daerah yang berkaitan dengan keringanan pajak dan penghapusan piutang pajak, atau peraturan lainnya, yang bertentangan dengan azas keadilan atau tak sesuai dengan regulasi di atasnya, termasuk tumpang tindih beberapa produk hukum, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, surat edaran, dan lain-lain, yang mengatur hal yang sama.
“Hal ini perlu untuk menghindari kemungkinan fraud atau conflict of interest yang menyertai penerbitan aturan tersebut,” jelasnya. (Baca juga; Denda Progresif Pelanggar PSBB Transisi Jakarta Dinilai Tidak Efektif )
Terkait rencana pemberian keringanan pajak kepada sejumlah wajib pajak, dengan alasan bencana virus Corona, Aida mengingatkan dua hal pokok kepada Gubernur DKI Jakarta. Pertama, tepat sasaran dan tidak memihak kepentingan tertentu.
"Kedua, berdasarkan hasil telaah dan disertai bukti-bukti memadai. Bila kenyataannya penuh risiko, sebaiknya Pemerintah DKI Jakarta menghindari pemberian keringanan pajak," katanya.
tulis komentar anda