KPK Rekomendasikan 6 Hal Strategis Terkait Monev Tata Kelola Pemerintahan DKI Jakarta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan enam (6) hal strategis kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan. Hal itu disampaikan dalam rapat paparan hasil monitoring dan evaluasi (monev) Program Koordinasi Pencegahan Korupsi semester pertama tahun 2020.
Keenam poin tersebut disampaikan KPK setelah melihat capaian Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta dengan skor rata-rata selama semester pertama tahun 2020 adalah 49%. Data tersebut berdasarkan aplikasi Monitoring Control Prevention (MCP). (Baca juga; KPK Perpanjang Penahanan 5 Tersangka Korupsi Waskita Karya )
“Artinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu membenahi aspek-aspek tata kelola pemerintahannya dengan berfokus pada tujuh area intervensi yang menjadi fokus pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan di Jakarta,” ujar Kepala Satgas Koordinasi Pencegahan Wilayah III KPK, Aida Ratna Zulaiha dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/8/2020).
Karena itu, lanjut Aida, KPK merekomendasikan enam poin strategis kepada Pemprov DKI Jakarta. Pertama, integrasi data. Seluruh data milik Pemerintah DKI Jakarta, seperti Barang Milik Daerah (BMD), pajak daerah, Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dan izin-izin lainnya, data yang terkumpul di instansi pusat terkait juga data sosial, kependudukan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan lainnya, disatukan dalam sebuah Peta Digital Jakarta Satu Terintegrasi.
Kedua, terkait, perluasan tax clearance system. Implementasi tax clearance system pada semua mata pajak, yaitu pajak pribadi perorangan dan pajak badan usaha, melalui sistem elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Objek Pajak (NOP), atau lainnya, untuk diterapkan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Ketiga, evaluasi regulasi. Gubernur DKI Jakarta, kata Aida, perlu mengevaluasi peraturan daerah yang berkaitan dengan keringanan pajak dan penghapusan piutang pajak, atau peraturan lainnya, yang bertentangan dengan azas keadilan atau tak sesuai dengan regulasi di atasnya, termasuk tumpang tindih beberapa produk hukum, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, surat edaran, dan lain-lain, yang mengatur hal yang sama.
“Hal ini perlu untuk menghindari kemungkinan fraud atau conflict of interest yang menyertai penerbitan aturan tersebut,” jelasnya. (Baca juga; Denda Progresif Pelanggar PSBB Transisi Jakarta Dinilai Tidak Efektif )
Terkait rencana pemberian keringanan pajak kepada sejumlah wajib pajak, dengan alasan bencana virus Corona, Aida mengingatkan dua hal pokok kepada Gubernur DKI Jakarta. Pertama, tepat sasaran dan tidak memihak kepentingan tertentu.
"Kedua, berdasarkan hasil telaah dan disertai bukti-bukti memadai. Bila kenyataannya penuh risiko, sebaiknya Pemerintah DKI Jakarta menghindari pemberian keringanan pajak," katanya.
Kemudian rekomendasi yang keempat, realokasi anggaran penanganan COVID-19 terkait pengadaan barang dan jasa (PBJ) dan belanja anggaran. Pemerintah DKI Jakarta agar tidak merencanakan dan melaksanakan PBJ yang tak terkait penanganan COVID-19, kecuali PBJ yang sesuai Surat Edaran Sekda Provinsi DKI Nomor 46/SE/2020, hingga pandemi COVID-19 dinyatakan selesai.
Kelima, penertiban dan pemulihan aset. Pemerintah DKI Jakarta, sebut Aida, perlu mempercepat upaya sertifikasi aset, mengadakan rapat koordinasi barang milik daerah, penertiban prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU), serta penertiban aset yang masih sengketa dan aset yang tumpang tindih.
Dan keenam, optimalisasi pendapatan di tengah wabah COVID-19. Pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan optimalisasi pajak daerah melalui upaya sosialisasi kepada asosiasi pengusaha, wajib pajak, notaris, PPAT, dan stakeholders terkait lainnya. Selain itu, menagih piutang pajak dan pemeriksaan pajak bekerja sama dengan Kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atau pihak terkait lainnya.
Selain itu ada tujuh area intervensi yang menjadi fokus dalam Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta. Ketujuh fokus tersebut adalah Perencanaan dan Penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Pengadaan Barang dan Jasa, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Optimalisasi Penerimaan Daerah, dan Manajemen Aset Daerah.
Detail capaian DKI Jakarta untuk semester 1 - 2020, yaitu Perencanaan dan Penganggaran APBD 80,8%, Pengadaan Barang dan Jasa 34,6%, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) 69,3%, Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) 47,8%, Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) 39,0%, Optimalisasi Penerimaan Daerah 50,5%, dan Manajemen Aset Daerah 33,7%. Lebih lengkap terkait capaian ke-7 area intervensi itu dapat diakses melalui https://jaga.id.
Rapat monev diselenggarakan di Kantor Gubernur Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Agustus 2020. Hadir dalam pertemuan tersebut selain Gubernur DKI Jakarta adalah Sekretaris Daerah (Sekda), Inspektur, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi DKI Jakarta.
Keenam poin tersebut disampaikan KPK setelah melihat capaian Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta dengan skor rata-rata selama semester pertama tahun 2020 adalah 49%. Data tersebut berdasarkan aplikasi Monitoring Control Prevention (MCP). (Baca juga; KPK Perpanjang Penahanan 5 Tersangka Korupsi Waskita Karya )
“Artinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu membenahi aspek-aspek tata kelola pemerintahannya dengan berfokus pada tujuh area intervensi yang menjadi fokus pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan di Jakarta,” ujar Kepala Satgas Koordinasi Pencegahan Wilayah III KPK, Aida Ratna Zulaiha dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/8/2020).
Karena itu, lanjut Aida, KPK merekomendasikan enam poin strategis kepada Pemprov DKI Jakarta. Pertama, integrasi data. Seluruh data milik Pemerintah DKI Jakarta, seperti Barang Milik Daerah (BMD), pajak daerah, Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dan izin-izin lainnya, data yang terkumpul di instansi pusat terkait juga data sosial, kependudukan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan lainnya, disatukan dalam sebuah Peta Digital Jakarta Satu Terintegrasi.
Kedua, terkait, perluasan tax clearance system. Implementasi tax clearance system pada semua mata pajak, yaitu pajak pribadi perorangan dan pajak badan usaha, melalui sistem elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Objek Pajak (NOP), atau lainnya, untuk diterapkan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Ketiga, evaluasi regulasi. Gubernur DKI Jakarta, kata Aida, perlu mengevaluasi peraturan daerah yang berkaitan dengan keringanan pajak dan penghapusan piutang pajak, atau peraturan lainnya, yang bertentangan dengan azas keadilan atau tak sesuai dengan regulasi di atasnya, termasuk tumpang tindih beberapa produk hukum, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, surat edaran, dan lain-lain, yang mengatur hal yang sama.
“Hal ini perlu untuk menghindari kemungkinan fraud atau conflict of interest yang menyertai penerbitan aturan tersebut,” jelasnya. (Baca juga; Denda Progresif Pelanggar PSBB Transisi Jakarta Dinilai Tidak Efektif )
Terkait rencana pemberian keringanan pajak kepada sejumlah wajib pajak, dengan alasan bencana virus Corona, Aida mengingatkan dua hal pokok kepada Gubernur DKI Jakarta. Pertama, tepat sasaran dan tidak memihak kepentingan tertentu.
"Kedua, berdasarkan hasil telaah dan disertai bukti-bukti memadai. Bila kenyataannya penuh risiko, sebaiknya Pemerintah DKI Jakarta menghindari pemberian keringanan pajak," katanya.
Kemudian rekomendasi yang keempat, realokasi anggaran penanganan COVID-19 terkait pengadaan barang dan jasa (PBJ) dan belanja anggaran. Pemerintah DKI Jakarta agar tidak merencanakan dan melaksanakan PBJ yang tak terkait penanganan COVID-19, kecuali PBJ yang sesuai Surat Edaran Sekda Provinsi DKI Nomor 46/SE/2020, hingga pandemi COVID-19 dinyatakan selesai.
Kelima, penertiban dan pemulihan aset. Pemerintah DKI Jakarta, sebut Aida, perlu mempercepat upaya sertifikasi aset, mengadakan rapat koordinasi barang milik daerah, penertiban prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU), serta penertiban aset yang masih sengketa dan aset yang tumpang tindih.
Dan keenam, optimalisasi pendapatan di tengah wabah COVID-19. Pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan optimalisasi pajak daerah melalui upaya sosialisasi kepada asosiasi pengusaha, wajib pajak, notaris, PPAT, dan stakeholders terkait lainnya. Selain itu, menagih piutang pajak dan pemeriksaan pajak bekerja sama dengan Kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atau pihak terkait lainnya.
Selain itu ada tujuh area intervensi yang menjadi fokus dalam Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta. Ketujuh fokus tersebut adalah Perencanaan dan Penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Pengadaan Barang dan Jasa, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Optimalisasi Penerimaan Daerah, dan Manajemen Aset Daerah.
Detail capaian DKI Jakarta untuk semester 1 - 2020, yaitu Perencanaan dan Penganggaran APBD 80,8%, Pengadaan Barang dan Jasa 34,6%, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) 69,3%, Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) 47,8%, Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) 39,0%, Optimalisasi Penerimaan Daerah 50,5%, dan Manajemen Aset Daerah 33,7%. Lebih lengkap terkait capaian ke-7 area intervensi itu dapat diakses melalui https://jaga.id.
Rapat monev diselenggarakan di Kantor Gubernur Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Agustus 2020. Hadir dalam pertemuan tersebut selain Gubernur DKI Jakarta adalah Sekretaris Daerah (Sekda), Inspektur, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi DKI Jakarta.
(wib)