Peringatan Hari Ibu Harus Dimaknai Sebagai Gerakan Perempuan Indonesia
Jum'at, 22 Desember 2023 - 21:55 WIB
Melalui Kongres tersebut secara kritis para perempuan yang terlibat membicarakan berbagai persoalan serius yang dialami oleh hampir semua perempuan di Indonesia, dan secara bersama memikirkan cara memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga nasib perempuan ke depannya akan lebih baik.
Beberapa persoalan yang diangkat menjadi pokok perjuangan pada kongres tersebut antara lain hak dalam perkawinan dan pendidikan.
"Kongres tersebut menyepakati beberapa hasil. yakni segera membuat federasi perempuan, menerbitkan surat kabar yang dimotori oleh para anggota federasi, mendirikan lembaga pengumpulan dana studi untuk perempuan yang tidak mampu, mencegah perkawinan anak, mendorong agar sekolah-sekolah putri diperbanyak, mengadvokasi agar hak perempuan yang diceraikan dan perempuan janda dipenuhi dengan adil," ungkap Sri.
Pesan-pesan perjuangan terhadap hak-hak perempuan pada Kongres Perempuan I di Indonesia pada 22 Desember 1928 begitu berani mendobrak sistem patriarki yang mendiskriminasi perempuan masa itu. Kemudian Kongres Perempuan II, III, dan IV terus dilakukan dengan semangat yang sama memperjuangkan hak yang adil bagi perempuan hingga berhenti dilaksanakan saat Kolonialisasi Jepang menjajah Indonesia.
"Meskipun penamaan Hari Ibu dikeluarkan pada Kongres ke III pada tahun 1938 lalu disahkan melalui Dekrit Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959, namun menjadi sangat bergeser dari semangat perjuangan Kongres Perempuan, yakni memperjuangkan hak keadilan bagi perempuan jika direduksi hanya perayaan Hari Ibu dengan makna yang sempit sebagai perempuan dengan peran domestik semata," bebernya.
Padahal, Kongres Perempuan yang menjadi latar belakangnya merupakan peran-peran advokasi dan politik bagi para perempuan progresif yang dengan berani keluar dari ranah domestik yang tidak adil bagi perempuan.
"Maka, semangatnya adalah untuk menciptakan kehidupan kehidupan yang berkeadilan bagi perempuan, sehingga perempuan dapat meningkatkan kualitas dirinya untuk berdaya," tandasnya.
Ketiga, menjadi penting untuk mengembalikan makna yang lebih substantif pada peringatan 22 Desember dari sekadar perayaan simbolis yang sempit. Mengingat akses yang adil bagi perempuan saat ini masih jauh dari capaian.
Data tahunan Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022 terdapat sebanyak 339.782 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 25.050 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Jumlah kematian Ibu melahirkan juga masih tinggi sekitar 305 per 100.000 kelahiran, masih di bawah target yakni 183 per 100.000 kelahiran.
"Selain persoalan buruknya situasi perempuan di atas, ternyata akses pendidikan bagi perempuan juga masih di bawah angka yang setara," ucapanya.
Beberapa persoalan yang diangkat menjadi pokok perjuangan pada kongres tersebut antara lain hak dalam perkawinan dan pendidikan.
"Kongres tersebut menyepakati beberapa hasil. yakni segera membuat federasi perempuan, menerbitkan surat kabar yang dimotori oleh para anggota federasi, mendirikan lembaga pengumpulan dana studi untuk perempuan yang tidak mampu, mencegah perkawinan anak, mendorong agar sekolah-sekolah putri diperbanyak, mengadvokasi agar hak perempuan yang diceraikan dan perempuan janda dipenuhi dengan adil," ungkap Sri.
Pesan-pesan perjuangan terhadap hak-hak perempuan pada Kongres Perempuan I di Indonesia pada 22 Desember 1928 begitu berani mendobrak sistem patriarki yang mendiskriminasi perempuan masa itu. Kemudian Kongres Perempuan II, III, dan IV terus dilakukan dengan semangat yang sama memperjuangkan hak yang adil bagi perempuan hingga berhenti dilaksanakan saat Kolonialisasi Jepang menjajah Indonesia.
"Meskipun penamaan Hari Ibu dikeluarkan pada Kongres ke III pada tahun 1938 lalu disahkan melalui Dekrit Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959, namun menjadi sangat bergeser dari semangat perjuangan Kongres Perempuan, yakni memperjuangkan hak keadilan bagi perempuan jika direduksi hanya perayaan Hari Ibu dengan makna yang sempit sebagai perempuan dengan peran domestik semata," bebernya.
Padahal, Kongres Perempuan yang menjadi latar belakangnya merupakan peran-peran advokasi dan politik bagi para perempuan progresif yang dengan berani keluar dari ranah domestik yang tidak adil bagi perempuan.
"Maka, semangatnya adalah untuk menciptakan kehidupan kehidupan yang berkeadilan bagi perempuan, sehingga perempuan dapat meningkatkan kualitas dirinya untuk berdaya," tandasnya.
Ketiga, menjadi penting untuk mengembalikan makna yang lebih substantif pada peringatan 22 Desember dari sekadar perayaan simbolis yang sempit. Mengingat akses yang adil bagi perempuan saat ini masih jauh dari capaian.
Data tahunan Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022 terdapat sebanyak 339.782 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 25.050 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Jumlah kematian Ibu melahirkan juga masih tinggi sekitar 305 per 100.000 kelahiran, masih di bawah target yakni 183 per 100.000 kelahiran.
"Selain persoalan buruknya situasi perempuan di atas, ternyata akses pendidikan bagi perempuan juga masih di bawah angka yang setara," ucapanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda