Peringatan Hari Ibu Harus Dimaknai Sebagai Gerakan Perempuan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Indonesia setiap tanggal 22 Desember selalu riuh dengan perayaan Hari Ibu . Ucapan peringatan Hari Ibu setidaknya ramai berseliweran di jagat sosial media.
Akan tetapi, sangat disayangkan seringkali peringatan 22 Desember dimaknai sebagai Hari Ibu dengan makna yang sempit. Simplifikasi yang dimaksud adalah mengasosiasikan hanya pada peran perempuan sebagai manusia domestik sebagai penjaga keluarga dan meniadakan peran lain di luar ranah domestik.
Hari Ibu hanya diperuntukkan kepada para ibu yang sebagian besarnya diasosiasikan hanya kepada perempuan yang melahirkan, ibu yang merawat, ibu yang mengorbankan kepentingan pribadi, dan rela mengubur mimpi hanya untuk keluarga, ibu yang tidak enggan mengambil banyak tanggung jawab bekerja demi membantu ekonomi keluarga sekaligus menjadi satu-satunya orang yang harus memastikan kehidupan keluarga berjalan dengan stabil.
"Pada 22 Desember euforia tentang ibu super masih menjadi topik utama. Ibu yang di satu sisi sukses sebagai profesional pekerja, dan di sisi lain mampu mengatur rumah tetap rapih, anak-anak rajin sekolah dan belajar, tentunya suami terurus dengan baik. Terbayang untuk menjadi ibu yang pantas dirayakan setiap Hari Ibu, membutuhkan pengorbanan dan risiko yang luar biasa berat yang hanya dibebankan kepada perempuan," ujar Formatur Ketua Umum Kohati PB HMI Periode 2023-2025 Sri Meisista, Jumat (22/12/2023).
Menurut dia, pemaknaan yang demikian merupakan normalisasi pada beban ganda terhadap perempuan, dan lebih luas berimplikasi pada langgengnya ketidakadilan terhadap perempuan.
Pertama, hanya mengakui ibu sebagai perempuan yang melahirkan. Setidaknya meski tidak terang-terangan mengatakan demikian, namun seringkali selalu menambahkan kata-kata “sayangnya”, “meskipun/walaupun” kepada para perempuan yang tidak melahirkan. Ini berarti meniadakan identitas ibu yang tidak melahirkan dari rahimnya, dan memberi label menyedihkan kepada perempuan yang tidak mampu melahirkan.
"Padahal tidak dapat dinafikan bahwa begitu banyak perempuan baik di luar sana yang memiliki cinta kasih dan komitmen merawat anak dari keluarga yang tidak beruntung, menjadi donator untuk panti asuhan, membiayai sekolah anak-anak yang tidak mampu dan lain sebagainya. Itu semua merupakan peran ibu merawat dan memastikan anak-anaknya memiliki kehidupan yang layak," katanya.
Kedua, hanya memperuntukkan 22 Desember sebagai perayaan kepada Ibu. Hal ini bergeser dari latar belakang sejarah momentum yang terjadi pada tanggal tersebut. Padahal sejarahnya, 22 Desember 1928 merupakan Kongres Perempuan pertama di Indonesia. Kongres ini melibatkan setidaknya sebanyak 30 organisasi perempuan di Sumatera dan Jawa.
Melalui Kongres tersebut secara kritis para perempuan yang terlibat membicarakan berbagai persoalan serius yang dialami oleh hampir semua perempuan di Indonesia, dan secara bersama memikirkan cara memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga nasib perempuan ke depannya akan lebih baik.
Beberapa persoalan yang diangkat menjadi pokok perjuangan pada kongres tersebut antara lain hak dalam perkawinan dan pendidikan.
"Kongres tersebut menyepakati beberapa hasil. yakni segera membuat federasi perempuan, menerbitkan surat kabar yang dimotori oleh para anggota federasi, mendirikan lembaga pengumpulan dana studi untuk perempuan yang tidak mampu, mencegah perkawinan anak, mendorong agar sekolah-sekolah putri diperbanyak, mengadvokasi agar hak perempuan yang diceraikan dan perempuan janda dipenuhi dengan adil," ungkap Sri.
Pesan-pesan perjuangan terhadap hak-hak perempuan pada Kongres Perempuan I di Indonesia pada 22 Desember 1928 begitu berani mendobrak sistem patriarki yang mendiskriminasi perempuan masa itu. Kemudian Kongres Perempuan II, III, dan IV terus dilakukan dengan semangat yang sama memperjuangkan hak yang adil bagi perempuan hingga berhenti dilaksanakan saat Kolonialisasi Jepang menjajah Indonesia.
"Meskipun penamaan Hari Ibu dikeluarkan pada Kongres ke III pada tahun 1938 lalu disahkan melalui Dekrit Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959, namun menjadi sangat bergeser dari semangat perjuangan Kongres Perempuan, yakni memperjuangkan hak keadilan bagi perempuan jika direduksi hanya perayaan Hari Ibu dengan makna yang sempit sebagai perempuan dengan peran domestik semata," bebernya.
Padahal, Kongres Perempuan yang menjadi latar belakangnya merupakan peran-peran advokasi dan politik bagi para perempuan progresif yang dengan berani keluar dari ranah domestik yang tidak adil bagi perempuan.
"Maka, semangatnya adalah untuk menciptakan kehidupan kehidupan yang berkeadilan bagi perempuan, sehingga perempuan dapat meningkatkan kualitas dirinya untuk berdaya," tandasnya.
Ketiga, menjadi penting untuk mengembalikan makna yang lebih substantif pada peringatan 22 Desember dari sekadar perayaan simbolis yang sempit. Mengingat akses yang adil bagi perempuan saat ini masih jauh dari capaian.
Data tahunan Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022 terdapat sebanyak 339.782 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 25.050 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Jumlah kematian Ibu melahirkan juga masih tinggi sekitar 305 per 100.000 kelahiran, masih di bawah target yakni 183 per 100.000 kelahiran.
"Selain persoalan buruknya situasi perempuan di atas, ternyata akses pendidikan bagi perempuan juga masih di bawah angka yang setara," ucapanya.
Data BPS tahun 2018, beber Sri, memperlihatkan semakin tinggi tingkat pendidikannya maka partisipasi perempuan akan semakin berkurang. Perempuan yang dapat menyelesaikan jenjang SMA ke atas di pedesaan sebanyak 19, 65% dan di perkotaan sebanyak 42,92%. Sedangkan laki-laki di pedesaan sebanyak 23,93% dan di perkotaan sebanyak 48,83%.
"Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perempuan dengan usia 15 tahun ke atas, baik di perkotaan maupun di pedesaan lebih banyak yang tidak menyelesaikan pendidikannya, dan dibandingkan di kota lebih banyak perempuan usia 15 tahun di pedesaan yang tidak menyelesaikan pendidikannya," imbuhnya.
Maka dari itu, sebut Sri, jika akses perempuan terhadap pendidikan masih tertinggal, tidak heran jika perempuan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni untuk berkiprah pada ranah profesional. Proporsi perempuan pada angkatan kerja formal mencapai 36,20 pada tahun 2021 dan 34,65 pada tahun 2020. Sedangkan proporsi laki-laki mencapai 42,71 pada tahun 2020 dan 43,39 pada tahun 2021 (data BPS 2021).
Tingkat penyerapan tenaga kerja perempuan juga hanya sebesar 53,13% dan laki-laki sebesar 82,41%. Data ini menunjukkan partisipasi perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki.
"Data BPS tentang jenis pekerjaan perempuan menunjukkan bahwa mayoritas perempuan bekerja pada ranah informal yakni sebesar 61,8% sedangkan laki-laki yang bekerja pada sektor informal sebesar 53,71%," jelasnya.
International Conference of Labour Statisticians (ICLS) ke-15 pada tahun 1993 mendefinisikan sektor informal sebagai unit produksi dalam usaha rumah tangga yang dimiliki oleh rumah tangga. Dari sedikitnya perempuan yang bekerja pada sektor formal, tidak banyak perempuan yang menempati posisi strategis dalam perusahaan.
Salah satu temuan Sakernas 2019 menunjukkan hanya ada 30,63% perempuan yang menduduki jabatan manajer, sementara laki-laki mencapai lebih dari dua kali lipatnya yaitu 69,37 persen.
Dengan demikian, melalui peringatan tanggal 22 Desember yang dipelopori oleh semangat memperjuangkan kesetaraan dan keadilan akses bagi perempuan dan menghilangkan berbagai ketidakadilan terhadap perempuan, maka penting bagi generasi penerus bangsa untuk mengingat kembali semangat perjuangan tersebut.
"Sehingga, ke depan segenap pihak dapat secara serius dan konsisten memberikan perhatianya untuk turut berupaya menghilangkan ketidakadilan terhadap perempuan," katanya.
Sri membeberkan negara telah menyepakati ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No 7 tahun 1984.
Selain itu, dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yakni tujuan pembangunan berkelanjutan yang menjadi acuan secara global pada poin 5, menempatkan upaya mewujudkan kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan penting dalam mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan masyarakat.
"Memang tidak ada salahnya turut mengungkapkan rasa cinta dan terima kasih yang terdalam kepada Ibu pada setiap 22 Desmber, namun tidak tepat rasanya jika momentum 22 Desember masih dimaknai hanya pada peran domestik yang sangat membatasi peran-peran strategis perempuan saat ini. Mari kita rayakan 22 Desember sebagai hari Gerakan Perempuan Indonesia untuk terus memperjuangkan kehidupan yang berkeadilan bagi perempuan di Indonesia sebagaimana semangat pendahulu kita 95 tahun yang lalu," ujar Sri.
Akan tetapi, sangat disayangkan seringkali peringatan 22 Desember dimaknai sebagai Hari Ibu dengan makna yang sempit. Simplifikasi yang dimaksud adalah mengasosiasikan hanya pada peran perempuan sebagai manusia domestik sebagai penjaga keluarga dan meniadakan peran lain di luar ranah domestik.
Hari Ibu hanya diperuntukkan kepada para ibu yang sebagian besarnya diasosiasikan hanya kepada perempuan yang melahirkan, ibu yang merawat, ibu yang mengorbankan kepentingan pribadi, dan rela mengubur mimpi hanya untuk keluarga, ibu yang tidak enggan mengambil banyak tanggung jawab bekerja demi membantu ekonomi keluarga sekaligus menjadi satu-satunya orang yang harus memastikan kehidupan keluarga berjalan dengan stabil.
"Pada 22 Desember euforia tentang ibu super masih menjadi topik utama. Ibu yang di satu sisi sukses sebagai profesional pekerja, dan di sisi lain mampu mengatur rumah tetap rapih, anak-anak rajin sekolah dan belajar, tentunya suami terurus dengan baik. Terbayang untuk menjadi ibu yang pantas dirayakan setiap Hari Ibu, membutuhkan pengorbanan dan risiko yang luar biasa berat yang hanya dibebankan kepada perempuan," ujar Formatur Ketua Umum Kohati PB HMI Periode 2023-2025 Sri Meisista, Jumat (22/12/2023).
Menurut dia, pemaknaan yang demikian merupakan normalisasi pada beban ganda terhadap perempuan, dan lebih luas berimplikasi pada langgengnya ketidakadilan terhadap perempuan.
Pertama, hanya mengakui ibu sebagai perempuan yang melahirkan. Setidaknya meski tidak terang-terangan mengatakan demikian, namun seringkali selalu menambahkan kata-kata “sayangnya”, “meskipun/walaupun” kepada para perempuan yang tidak melahirkan. Ini berarti meniadakan identitas ibu yang tidak melahirkan dari rahimnya, dan memberi label menyedihkan kepada perempuan yang tidak mampu melahirkan.
"Padahal tidak dapat dinafikan bahwa begitu banyak perempuan baik di luar sana yang memiliki cinta kasih dan komitmen merawat anak dari keluarga yang tidak beruntung, menjadi donator untuk panti asuhan, membiayai sekolah anak-anak yang tidak mampu dan lain sebagainya. Itu semua merupakan peran ibu merawat dan memastikan anak-anaknya memiliki kehidupan yang layak," katanya.
Kedua, hanya memperuntukkan 22 Desember sebagai perayaan kepada Ibu. Hal ini bergeser dari latar belakang sejarah momentum yang terjadi pada tanggal tersebut. Padahal sejarahnya, 22 Desember 1928 merupakan Kongres Perempuan pertama di Indonesia. Kongres ini melibatkan setidaknya sebanyak 30 organisasi perempuan di Sumatera dan Jawa.
Melalui Kongres tersebut secara kritis para perempuan yang terlibat membicarakan berbagai persoalan serius yang dialami oleh hampir semua perempuan di Indonesia, dan secara bersama memikirkan cara memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga nasib perempuan ke depannya akan lebih baik.
Beberapa persoalan yang diangkat menjadi pokok perjuangan pada kongres tersebut antara lain hak dalam perkawinan dan pendidikan.
"Kongres tersebut menyepakati beberapa hasil. yakni segera membuat federasi perempuan, menerbitkan surat kabar yang dimotori oleh para anggota federasi, mendirikan lembaga pengumpulan dana studi untuk perempuan yang tidak mampu, mencegah perkawinan anak, mendorong agar sekolah-sekolah putri diperbanyak, mengadvokasi agar hak perempuan yang diceraikan dan perempuan janda dipenuhi dengan adil," ungkap Sri.
Pesan-pesan perjuangan terhadap hak-hak perempuan pada Kongres Perempuan I di Indonesia pada 22 Desember 1928 begitu berani mendobrak sistem patriarki yang mendiskriminasi perempuan masa itu. Kemudian Kongres Perempuan II, III, dan IV terus dilakukan dengan semangat yang sama memperjuangkan hak yang adil bagi perempuan hingga berhenti dilaksanakan saat Kolonialisasi Jepang menjajah Indonesia.
"Meskipun penamaan Hari Ibu dikeluarkan pada Kongres ke III pada tahun 1938 lalu disahkan melalui Dekrit Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959, namun menjadi sangat bergeser dari semangat perjuangan Kongres Perempuan, yakni memperjuangkan hak keadilan bagi perempuan jika direduksi hanya perayaan Hari Ibu dengan makna yang sempit sebagai perempuan dengan peran domestik semata," bebernya.
Padahal, Kongres Perempuan yang menjadi latar belakangnya merupakan peran-peran advokasi dan politik bagi para perempuan progresif yang dengan berani keluar dari ranah domestik yang tidak adil bagi perempuan.
"Maka, semangatnya adalah untuk menciptakan kehidupan kehidupan yang berkeadilan bagi perempuan, sehingga perempuan dapat meningkatkan kualitas dirinya untuk berdaya," tandasnya.
Ketiga, menjadi penting untuk mengembalikan makna yang lebih substantif pada peringatan 22 Desember dari sekadar perayaan simbolis yang sempit. Mengingat akses yang adil bagi perempuan saat ini masih jauh dari capaian.
Data tahunan Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022 terdapat sebanyak 339.782 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 25.050 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Jumlah kematian Ibu melahirkan juga masih tinggi sekitar 305 per 100.000 kelahiran, masih di bawah target yakni 183 per 100.000 kelahiran.
"Selain persoalan buruknya situasi perempuan di atas, ternyata akses pendidikan bagi perempuan juga masih di bawah angka yang setara," ucapanya.
Data BPS tahun 2018, beber Sri, memperlihatkan semakin tinggi tingkat pendidikannya maka partisipasi perempuan akan semakin berkurang. Perempuan yang dapat menyelesaikan jenjang SMA ke atas di pedesaan sebanyak 19, 65% dan di perkotaan sebanyak 42,92%. Sedangkan laki-laki di pedesaan sebanyak 23,93% dan di perkotaan sebanyak 48,83%.
"Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perempuan dengan usia 15 tahun ke atas, baik di perkotaan maupun di pedesaan lebih banyak yang tidak menyelesaikan pendidikannya, dan dibandingkan di kota lebih banyak perempuan usia 15 tahun di pedesaan yang tidak menyelesaikan pendidikannya," imbuhnya.
Maka dari itu, sebut Sri, jika akses perempuan terhadap pendidikan masih tertinggal, tidak heran jika perempuan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni untuk berkiprah pada ranah profesional. Proporsi perempuan pada angkatan kerja formal mencapai 36,20 pada tahun 2021 dan 34,65 pada tahun 2020. Sedangkan proporsi laki-laki mencapai 42,71 pada tahun 2020 dan 43,39 pada tahun 2021 (data BPS 2021).
Tingkat penyerapan tenaga kerja perempuan juga hanya sebesar 53,13% dan laki-laki sebesar 82,41%. Data ini menunjukkan partisipasi perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki.
"Data BPS tentang jenis pekerjaan perempuan menunjukkan bahwa mayoritas perempuan bekerja pada ranah informal yakni sebesar 61,8% sedangkan laki-laki yang bekerja pada sektor informal sebesar 53,71%," jelasnya.
International Conference of Labour Statisticians (ICLS) ke-15 pada tahun 1993 mendefinisikan sektor informal sebagai unit produksi dalam usaha rumah tangga yang dimiliki oleh rumah tangga. Dari sedikitnya perempuan yang bekerja pada sektor formal, tidak banyak perempuan yang menempati posisi strategis dalam perusahaan.
Salah satu temuan Sakernas 2019 menunjukkan hanya ada 30,63% perempuan yang menduduki jabatan manajer, sementara laki-laki mencapai lebih dari dua kali lipatnya yaitu 69,37 persen.
Dengan demikian, melalui peringatan tanggal 22 Desember yang dipelopori oleh semangat memperjuangkan kesetaraan dan keadilan akses bagi perempuan dan menghilangkan berbagai ketidakadilan terhadap perempuan, maka penting bagi generasi penerus bangsa untuk mengingat kembali semangat perjuangan tersebut.
"Sehingga, ke depan segenap pihak dapat secara serius dan konsisten memberikan perhatianya untuk turut berupaya menghilangkan ketidakadilan terhadap perempuan," katanya.
Sri membeberkan negara telah menyepakati ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No 7 tahun 1984.
Selain itu, dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yakni tujuan pembangunan berkelanjutan yang menjadi acuan secara global pada poin 5, menempatkan upaya mewujudkan kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan penting dalam mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan masyarakat.
"Memang tidak ada salahnya turut mengungkapkan rasa cinta dan terima kasih yang terdalam kepada Ibu pada setiap 22 Desmber, namun tidak tepat rasanya jika momentum 22 Desember masih dimaknai hanya pada peran domestik yang sangat membatasi peran-peran strategis perempuan saat ini. Mari kita rayakan 22 Desember sebagai hari Gerakan Perempuan Indonesia untuk terus memperjuangkan kehidupan yang berkeadilan bagi perempuan di Indonesia sebagaimana semangat pendahulu kita 95 tahun yang lalu," ujar Sri.
(jon)