Tak Bisa Dijerat Pidana, Prostitusi Online Menjamur
A
A
A
JAKARTA - Fenomena prostitusi online saat ini tengah merebak. Dalam sejumlah situs jejaring sosial, banyak akun alter yang terang-terangan menjajakan jasa seks via Twitter ataupun Facebook dan sosial media lainnya.
Hal itu juga diakui oleh Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Hilarius Duha. Fenomena prostitusi online itu menjadi tren di kalangan masyarakat.
"Prostitusi online ini tidak diatur dalam undang-undang (UU) kita, baik dalam KUHP maupun UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik )," katanya di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (16/4/2015).
Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang menjajakan diri lewat Twitter, tidak dapat dijerat hukum. Kecuali, jika proses prostitusi tersebut dibarengi dengan adanya sang mucikari atau germo.
Dia melanjutkan, jika salah satu pihak dalam prostitusi baik wanitanya maupun lelaki hidung belang yang menggunakan jasa PSK tersebut sudah berkeluarga, dan dilaporkan oleh sang suami atau istri dari pelaku, maka bisa dimasukan dalam pasal perzinahan atau kejahatan kumpul kebo.
Prostitusi itu seperti simbiosis mutualisme. Di satu sisi, wanita penjaja seks membutuhkan uang, dan di sisi lain, pemakai juga membutuhkan jasa PSK untuk memuaskan nafsu birahinya. Lain halnya, jika PSK-nya masih di bawah umur.
Kendati PSK di bawah umur tersebut merasa tidak ada paksaan ketika menjajakan diri, namun pria yang menggunakan jasanya bisa dijerat dengan hukuman. "Kalau PSK-nya di bawah umur, lelakinya bisa dikenakan UU Perlindungan Anak," jelasnya.
Hilarius mengakui, prostitusi via online sudah menjamur. Banyak website ataupun situs jejaring sosial yang digunakan PSK untuk menjajakan diri. Sementara tidak ada konstruksi hukum yang jelas untuk memberantas pelaku prostitusi.
"Konstruksi hukumnya tidak ada. Kalau pun ada yang tertangkap basah pasangan bukan suami-istri melakukan hubungan badan, itu cuma dimasukkan ke panti sosial, dibina di panti sosial," tuturnya.
Menurutnya, ‎banyaknya PSK yang menggunakan website atau situs jejaring sosial untuk menjual diri karena memberikan kemudahan.
"Mereka mudah menyebarkan kalau menggunakan internet. Di situ menyediakan nomor telepon yang bisa dihubungi, sehingga bisa dengan gampang berkomunikasi dan janjian," jelasnya.
Meski PSK yang menjajakan diri tidak dapat dijerat hukuman, namun, lanjutnya, pelaku tetap bisa dihukum bila memajang foto-foto yang berbau pornografi.
"Kalau seandainya dia memasukan foto-foto dirinya yang merangsang hasrat seksual, itu bisa dikenakan UU Pornografi," pungkasnya.
Hal itu juga diakui oleh Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Hilarius Duha. Fenomena prostitusi online itu menjadi tren di kalangan masyarakat.
"Prostitusi online ini tidak diatur dalam undang-undang (UU) kita, baik dalam KUHP maupun UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik )," katanya di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (16/4/2015).
Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang menjajakan diri lewat Twitter, tidak dapat dijerat hukum. Kecuali, jika proses prostitusi tersebut dibarengi dengan adanya sang mucikari atau germo.
Dia melanjutkan, jika salah satu pihak dalam prostitusi baik wanitanya maupun lelaki hidung belang yang menggunakan jasa PSK tersebut sudah berkeluarga, dan dilaporkan oleh sang suami atau istri dari pelaku, maka bisa dimasukan dalam pasal perzinahan atau kejahatan kumpul kebo.
Prostitusi itu seperti simbiosis mutualisme. Di satu sisi, wanita penjaja seks membutuhkan uang, dan di sisi lain, pemakai juga membutuhkan jasa PSK untuk memuaskan nafsu birahinya. Lain halnya, jika PSK-nya masih di bawah umur.
Kendati PSK di bawah umur tersebut merasa tidak ada paksaan ketika menjajakan diri, namun pria yang menggunakan jasanya bisa dijerat dengan hukuman. "Kalau PSK-nya di bawah umur, lelakinya bisa dikenakan UU Perlindungan Anak," jelasnya.
Hilarius mengakui, prostitusi via online sudah menjamur. Banyak website ataupun situs jejaring sosial yang digunakan PSK untuk menjajakan diri. Sementara tidak ada konstruksi hukum yang jelas untuk memberantas pelaku prostitusi.
"Konstruksi hukumnya tidak ada. Kalau pun ada yang tertangkap basah pasangan bukan suami-istri melakukan hubungan badan, itu cuma dimasukkan ke panti sosial, dibina di panti sosial," tuturnya.
Menurutnya, ‎banyaknya PSK yang menggunakan website atau situs jejaring sosial untuk menjual diri karena memberikan kemudahan.
"Mereka mudah menyebarkan kalau menggunakan internet. Di situ menyediakan nomor telepon yang bisa dihubungi, sehingga bisa dengan gampang berkomunikasi dan janjian," jelasnya.
Meski PSK yang menjajakan diri tidak dapat dijerat hukuman, namun, lanjutnya, pelaku tetap bisa dihukum bila memajang foto-foto yang berbau pornografi.
"Kalau seandainya dia memasukan foto-foto dirinya yang merangsang hasrat seksual, itu bisa dikenakan UU Pornografi," pungkasnya.
(mhd)