Ini Kata Pengamat Soal Seringnya Bus Transjakarta Terbakar
A
A
A
JAKARTA - Seringnya bus Transjakarta terbakar dinilai akibat rasa kepemilikan (sense of belonging) pengelola bus sangat rendah.
Peneliti Institut Studi Transportasi (Instran) Izzul Waro menuturkan, kejadian yang menimpa Transjakarta ini sangat kontras dengan armada transportasi yang dikelola oleh swasta.
Beberapa perusahaan besar nyaris tidak mengalami armada terbakar di jalan saat mengangkut penumpang, mogok di jalan karena mesin tidak terawat, atau kecelakaan akibat perilaku pengemudi yang kurang hati-hati.
"Pengelola dan Pemprov DKI Jakarta mestinya berkaca ke swasta," ungkap Izzul kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Kamis 28 Agustus malam.
Menurutnya, sejak moda transporasi massal jenis Transjakarta diluncurkan 2004, insiden bus terbakar terjadi pada 2008 di Tugu Tani.
Kejadian serupa kembali berulang pada waktu berikutnya di beberapa tempat lain, seperti di Pinang Ranti, Bundaran HI dan lain sebagainya.
Bahkan masalah besar teranyar baut sambungan bus gandeng rusak yang membuat bus gandeng jadi putus. Kemarin terbakar di depan Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan.
Menurutnya, rendahnya sense of belonging dari pengelola Transjakarta dalam hal ini Badan Layanan Umum (BLU), karena lembaga itu masih bagian dari aparat pemerintah dan sarat birokratis.
Lembaga seperti ini tidak terlalu dibebankan untuk mendapatkan hasil optimal dari operasional bus Transjakarta. Bila biaya operasional tidak mencukupi, bisa meminta subsidi ke Pemprov DKI Jakarta. Target penumpang yang diangkut tidak banyak.
BLU Transjakarta sebagai manajemen pengelola tidak terlalu apik dalam memelihara, menjaga perawatan bus. Sehingga tidak heran terjadinya bus terbakar, mengempul, roda lepas, mogok di jalan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan perusahaan swasta yang menjadikan pelayanan angkutan umum sebagai penghidupannya. Bila kualitas jasa yang diberikan kepada konsumen menurun berdampak pada pengurangan penghasilan didapatkan.
"Agar ancaman itu tidak terjadi, direksi hingga pengemudi sama-sama merawat armadanya yang akan menjadi sumber penghidupan mereka," terang Izzul.
Peneliti Institut Studi Transportasi (Instran) Izzul Waro menuturkan, kejadian yang menimpa Transjakarta ini sangat kontras dengan armada transportasi yang dikelola oleh swasta.
Beberapa perusahaan besar nyaris tidak mengalami armada terbakar di jalan saat mengangkut penumpang, mogok di jalan karena mesin tidak terawat, atau kecelakaan akibat perilaku pengemudi yang kurang hati-hati.
"Pengelola dan Pemprov DKI Jakarta mestinya berkaca ke swasta," ungkap Izzul kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Kamis 28 Agustus malam.
Menurutnya, sejak moda transporasi massal jenis Transjakarta diluncurkan 2004, insiden bus terbakar terjadi pada 2008 di Tugu Tani.
Kejadian serupa kembali berulang pada waktu berikutnya di beberapa tempat lain, seperti di Pinang Ranti, Bundaran HI dan lain sebagainya.
Bahkan masalah besar teranyar baut sambungan bus gandeng rusak yang membuat bus gandeng jadi putus. Kemarin terbakar di depan Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan.
Menurutnya, rendahnya sense of belonging dari pengelola Transjakarta dalam hal ini Badan Layanan Umum (BLU), karena lembaga itu masih bagian dari aparat pemerintah dan sarat birokratis.
Lembaga seperti ini tidak terlalu dibebankan untuk mendapatkan hasil optimal dari operasional bus Transjakarta. Bila biaya operasional tidak mencukupi, bisa meminta subsidi ke Pemprov DKI Jakarta. Target penumpang yang diangkut tidak banyak.
BLU Transjakarta sebagai manajemen pengelola tidak terlalu apik dalam memelihara, menjaga perawatan bus. Sehingga tidak heran terjadinya bus terbakar, mengempul, roda lepas, mogok di jalan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan perusahaan swasta yang menjadikan pelayanan angkutan umum sebagai penghidupannya. Bila kualitas jasa yang diberikan kepada konsumen menurun berdampak pada pengurangan penghasilan didapatkan.
"Agar ancaman itu tidak terjadi, direksi hingga pengemudi sama-sama merawat armadanya yang akan menjadi sumber penghidupan mereka," terang Izzul.
(whb)