Sejarah Kali Molenvliet dan Aliran Deras Ekonomi Jakarta
A
A
A
BYUR, byur, byur…. Bunyi deburan air terempas ke bibir Kali Molenvliet yang membelah antara Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk, Taman Sari, Jakarta Barat. Meski tak banyak pohon yang ditanam, suasana bibir kali sore itu terasa segar. Apalagi angin sepoi-sepoi tak henti berembus. Minimnya polusi dan kemacetan membuat anak-anak begitu asyik berenang di kawasan itu.
Ingatan indah masa kanak-kanak itu masih kuat membekas di benak Said (76). Bersama teman bermainnya, Parmin dan Romli, Said mengenang 60 tahunan silam Kali Molenvliet menjadi tempat mengasyikkan untuk bermain atau berenang. “Saat anak-anak bermain, saat sore hari ibu biasanya mencuci pakaian, di lokasi yang tak juga jauh dari kami bermain,” kata Said pekan lalu, saat mengenang masa kecilnya tinggal di Jalan Kebon Jeruk II, sekitar 500 meter dari Kali Molenvliet.
Selain sejuk, yang membuat anak-anak suka bermain di Kali Molenvliet adalah aliran airnya begitu jernih dan tiada henti mengalir. Tak ada lumpur maupun sampah di kali yang pembangunannya dipimpin oleh kapitan Tionghoa, Phoa Beng Gan, pada Abad XVII tersebut.
Bahkan saat sore hari banyak orang kampung beraktivitas di jalan pinggir kali. Meski beberapa warga sekitar memiliki sumur, tapi saat itu banyak warga memilih beraktivitas di kawasan kali. Beberapa di antaranya sampai mencuci pakaian atau sepeda ontelnya.
Keindahan Molenvliet itu dulu. Kini, Molenvliet kini telah banyak berubah. Kanal yang membelah dua jalan utama legendaris di Ibu Kota, yakni Gajah Mada dan Hayam Wuruk, itu sudah banyak mengalami perubahan. Misalnya di atas Molenvliet kini dibangun empat jembatan untuk menjadi putar balik kendaraan.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan saat ini ada banyak pintu air yang terdapat di kawasan Kali Molenvliet. Pintu ini menjadi pengendali air di saat hujan deras melanda Jakarta. Saat zaman kolonial, menurut Nirwono, banyak sistem irigasi yang berfungsi untuk pengairan, transportasi air, dan pengendali banjir. (Baca: Kisah Adipati Awangga dan Cikal Bakal Kawasan Kuningan)
Karena terawat dan terjaga hingga kini, Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk pun menjadi bebas banjir. Terlebih Kali Molenvliet diketahui melintasi Istana Negara, sehingga pengendalian air menjadi perhatian utama agar kawasan ini tetap kering.
Meski terlindungi, Nirwono mengingatkan Pemprov DKI agar tak lengah. Sebab, banyak aliran kali yang dibuat Belanda masih terputus, sebagian besar kawasan dari Monas ke arah Jakarta Utara seperti Kali Angke, Kali Sunter, dan anak kali lainnya. “Kalau diaudit atau ditelusuri akan banyak ditemukan yang terputus,” ungkapnya.
Saat ini pembangunan MRT juga akan dilanjutkan hingga kawasan Kota Tua dan Kampung Bandan. Artinya, MRT nantinya akan melintasi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang membuat Kali Molenvliet kemungkinan bakal lebih terjaga. Nirwono mengingatkan pengembangan MRT harus diiringi pengembangan transit on development (TOD) maupun hunian vertikal yang terjangkau.
Jalur Ekonomi Vital
Kini Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk menjadi sentra perekonomian di Jakarta. Begitu tingginya aktivitas masyarakat di kawasan ini, banyak pusat perbelanjaan besar atau restoran berdiri. Sebagian gerai-gerai itu bahkan beroperasi selama 24 jam. Akses transportasi yang mudah membuat kawasan ini seolah tak henti berdenyut dari pagi hingga pagi lagi. Setali tiga uang, hotel juga tumbuh subur di sisi kanan atau kiri Kali Molenvliet.
Sejatinya, hiruk-pikuk sepanjang Kali Molenvliet bukan terjadi pada waktu belakangan saja. Dua abad silam kawasan ini sudah dikenal menjadi pusat bisnis. Kali Molenvliet ini juga penghubung antara Kota Tua (Belanda: Oud Batavia) dan kawasan selatan seperti Lapangan Banten dan Monas (Belanda: Weltevreden).Begitu strategisnya kawasan ini membuat lokasi ini menjadi daerah komersial dan incaran permukiman elite kala itu. “Pembuatan Kanal Mookevart juga menambah kawasan Molenvliet paling sibuk di Batavia. Transportasi murni dari air. Bahkan pengangkutan kayu diantar melalui air,” kata sejarawan Chandrian Attahiriyat.
Molenvliet memang bukan kanal biasa. Di dalamnya terkandung aliran sejarah yang panjang dan mendalam. Bila kita merujuk buku Menyisir Jejak Betawi karya Windoro Adi, Kali Molenvliet dibangun setelah konflik internal di Kesultanan Banten kian tak terbendung pada Abad XVII. Kondisi ini dianggap tak menguntungkan perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). (Baca: Matraman, Medan Pertempuran Mataram dengan VOC) Gubernur keempat VOC kala itu, Jan Pieterszoo Coen (JP Coen), lantas memindahkan armadanya ke Batavia atau Jakarta yang kala itu masuk dalam tahap pembangunan, tepatnya di kota lama Kampung Akuarium atau sekitar Museum Bahari. Namun, aktivitas yang tinggi membuat warga kesulitan mendapatkan air tawar. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya rawa di kawasan ini yang dipenuhi sampah. Lambat laun warga mulai diserang malaria.
JP Coen kemudian meminta kepada Kapten Tionghoa Phoa Ben Gan untuk membantu mengatasinya. Dengan ilmu keirigasiannya, Phoa Ben Gan mulai merancang kanal menuju Teluk Jakarta di kawasan Kampung Aquarium. Dengan aliran besar air dari kawasan selatan seperti Kali Ciliwung dan Krukut, maka sampah di rawa-rawa akan menjadi bersih dan tak lagi memicu banjir.
Dalam pembangunannya, Phoa Ben Gan mengajak warga di sekitar Molenvliet untuk membantu menggali kanal yang berada tengah Jalan Molenvliet. Kanal selebar 25 meter itu kemudian tersambung hingga ke kawasan Kali Besar dan tembus ke galangan VOC. Di sisi lain, keberadaan kanal ini sangat membantu transportasi dan suplai barang yang kala itu murni dilakukan melalui perairan.
Seiring meningkatnya aktivitas di kawasan Mookevart, pada Abad XVIII, para pelaku ekonomi berdatangan. Pecinan kemudian muncul di sekitar kawasan Glodok, toko- toko kemudian bermunculan menghidupkan ekonomi di kawasan itu.
Adapun perumahan elite yang berdiri kokoh saat itu antara lain vila Gubernur VOC 1777-1790, Reinier de Klerk, seluas 27.000 meter persegi. Vila ini kemudian menjadi gedung arsip pada 1925.
Di pertengahan awal 1960-an setelah nasionalisasi kedua dimulai, nama Jalan Molenvliet kemudian diubah dari Molenvliet West menjadi Gajah Mada di sisi barat dan Molenvliet Oost menjadi Hayam Wuruk di sisi timur. Dua nama itu demi mengingat sejarah Kerajaan Majapahit. (Yan Yusuf)
Ingatan indah masa kanak-kanak itu masih kuat membekas di benak Said (76). Bersama teman bermainnya, Parmin dan Romli, Said mengenang 60 tahunan silam Kali Molenvliet menjadi tempat mengasyikkan untuk bermain atau berenang. “Saat anak-anak bermain, saat sore hari ibu biasanya mencuci pakaian, di lokasi yang tak juga jauh dari kami bermain,” kata Said pekan lalu, saat mengenang masa kecilnya tinggal di Jalan Kebon Jeruk II, sekitar 500 meter dari Kali Molenvliet.
Selain sejuk, yang membuat anak-anak suka bermain di Kali Molenvliet adalah aliran airnya begitu jernih dan tiada henti mengalir. Tak ada lumpur maupun sampah di kali yang pembangunannya dipimpin oleh kapitan Tionghoa, Phoa Beng Gan, pada Abad XVII tersebut.
Bahkan saat sore hari banyak orang kampung beraktivitas di jalan pinggir kali. Meski beberapa warga sekitar memiliki sumur, tapi saat itu banyak warga memilih beraktivitas di kawasan kali. Beberapa di antaranya sampai mencuci pakaian atau sepeda ontelnya.
Keindahan Molenvliet itu dulu. Kini, Molenvliet kini telah banyak berubah. Kanal yang membelah dua jalan utama legendaris di Ibu Kota, yakni Gajah Mada dan Hayam Wuruk, itu sudah banyak mengalami perubahan. Misalnya di atas Molenvliet kini dibangun empat jembatan untuk menjadi putar balik kendaraan.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan saat ini ada banyak pintu air yang terdapat di kawasan Kali Molenvliet. Pintu ini menjadi pengendali air di saat hujan deras melanda Jakarta. Saat zaman kolonial, menurut Nirwono, banyak sistem irigasi yang berfungsi untuk pengairan, transportasi air, dan pengendali banjir. (Baca: Kisah Adipati Awangga dan Cikal Bakal Kawasan Kuningan)
Karena terawat dan terjaga hingga kini, Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk pun menjadi bebas banjir. Terlebih Kali Molenvliet diketahui melintasi Istana Negara, sehingga pengendalian air menjadi perhatian utama agar kawasan ini tetap kering.
Meski terlindungi, Nirwono mengingatkan Pemprov DKI agar tak lengah. Sebab, banyak aliran kali yang dibuat Belanda masih terputus, sebagian besar kawasan dari Monas ke arah Jakarta Utara seperti Kali Angke, Kali Sunter, dan anak kali lainnya. “Kalau diaudit atau ditelusuri akan banyak ditemukan yang terputus,” ungkapnya.
Saat ini pembangunan MRT juga akan dilanjutkan hingga kawasan Kota Tua dan Kampung Bandan. Artinya, MRT nantinya akan melintasi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang membuat Kali Molenvliet kemungkinan bakal lebih terjaga. Nirwono mengingatkan pengembangan MRT harus diiringi pengembangan transit on development (TOD) maupun hunian vertikal yang terjangkau.
Jalur Ekonomi Vital
Kini Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk menjadi sentra perekonomian di Jakarta. Begitu tingginya aktivitas masyarakat di kawasan ini, banyak pusat perbelanjaan besar atau restoran berdiri. Sebagian gerai-gerai itu bahkan beroperasi selama 24 jam. Akses transportasi yang mudah membuat kawasan ini seolah tak henti berdenyut dari pagi hingga pagi lagi. Setali tiga uang, hotel juga tumbuh subur di sisi kanan atau kiri Kali Molenvliet.
Sejatinya, hiruk-pikuk sepanjang Kali Molenvliet bukan terjadi pada waktu belakangan saja. Dua abad silam kawasan ini sudah dikenal menjadi pusat bisnis. Kali Molenvliet ini juga penghubung antara Kota Tua (Belanda: Oud Batavia) dan kawasan selatan seperti Lapangan Banten dan Monas (Belanda: Weltevreden).Begitu strategisnya kawasan ini membuat lokasi ini menjadi daerah komersial dan incaran permukiman elite kala itu. “Pembuatan Kanal Mookevart juga menambah kawasan Molenvliet paling sibuk di Batavia. Transportasi murni dari air. Bahkan pengangkutan kayu diantar melalui air,” kata sejarawan Chandrian Attahiriyat.
Molenvliet memang bukan kanal biasa. Di dalamnya terkandung aliran sejarah yang panjang dan mendalam. Bila kita merujuk buku Menyisir Jejak Betawi karya Windoro Adi, Kali Molenvliet dibangun setelah konflik internal di Kesultanan Banten kian tak terbendung pada Abad XVII. Kondisi ini dianggap tak menguntungkan perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). (Baca: Matraman, Medan Pertempuran Mataram dengan VOC) Gubernur keempat VOC kala itu, Jan Pieterszoo Coen (JP Coen), lantas memindahkan armadanya ke Batavia atau Jakarta yang kala itu masuk dalam tahap pembangunan, tepatnya di kota lama Kampung Akuarium atau sekitar Museum Bahari. Namun, aktivitas yang tinggi membuat warga kesulitan mendapatkan air tawar. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya rawa di kawasan ini yang dipenuhi sampah. Lambat laun warga mulai diserang malaria.
JP Coen kemudian meminta kepada Kapten Tionghoa Phoa Ben Gan untuk membantu mengatasinya. Dengan ilmu keirigasiannya, Phoa Ben Gan mulai merancang kanal menuju Teluk Jakarta di kawasan Kampung Aquarium. Dengan aliran besar air dari kawasan selatan seperti Kali Ciliwung dan Krukut, maka sampah di rawa-rawa akan menjadi bersih dan tak lagi memicu banjir.
Dalam pembangunannya, Phoa Ben Gan mengajak warga di sekitar Molenvliet untuk membantu menggali kanal yang berada tengah Jalan Molenvliet. Kanal selebar 25 meter itu kemudian tersambung hingga ke kawasan Kali Besar dan tembus ke galangan VOC. Di sisi lain, keberadaan kanal ini sangat membantu transportasi dan suplai barang yang kala itu murni dilakukan melalui perairan.
Seiring meningkatnya aktivitas di kawasan Mookevart, pada Abad XVIII, para pelaku ekonomi berdatangan. Pecinan kemudian muncul di sekitar kawasan Glodok, toko- toko kemudian bermunculan menghidupkan ekonomi di kawasan itu.
Adapun perumahan elite yang berdiri kokoh saat itu antara lain vila Gubernur VOC 1777-1790, Reinier de Klerk, seluas 27.000 meter persegi. Vila ini kemudian menjadi gedung arsip pada 1925.
Di pertengahan awal 1960-an setelah nasionalisasi kedua dimulai, nama Jalan Molenvliet kemudian diubah dari Molenvliet West menjadi Gajah Mada di sisi barat dan Molenvliet Oost menjadi Hayam Wuruk di sisi timur. Dua nama itu demi mengingat sejarah Kerajaan Majapahit. (Yan Yusuf)
(ysw)