Bawaslu Jabar Beberkan Potensi Kerawanan pada Pilkada 2020
A
A
A
DEPOK - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat mencatat ada beberapa potensi kerawanan yang kemungkinan terjadi pada Pilkada 2020 di sejumlah kota dan kabupaten Jawa Barat.
Ketua Bawaslu Jabar, Abdullah Dahlan mengatakan, beberapa potensi kerawanan di antaranya, soal Daftar pemilih Tetap (DPT) ganda dan keterlibatan Warga Negara Asing (WNA). Potensi kerawanan tersebut, menjadi konsentrasi Bawaslu untuk terus memperbaharui data-data pemilih baik yang sudah terdaftar sebagai pemilih tetap maupun pindah memilih (baru masuk DPT).
"DPT harus bersih (clear), karena menyangkut keabsahan DPT dan basis perencanaan logistik. Sehingga fungsi DPT selain memastikan hak konstitusional juga memastikan perencanaan logistik utuh, akurat dan tepat," kata Abdullah di Depok, Minggu (1/12/2019).
Abdullah menuturkan, hampir seluruh wilayah di Jawa Barat berpotensi kerawanan pelanggaran. Terutama bila terdapat peserta dari jalur incumbent atau petahana. Oleh sebab itu, dalam pengawasan pilkada, Bawaslu tidak bisa bekerja sendirian, sinergritas bersama media dan jurnalis harus terjalin dengan baik untuk mengawal pesta demokrasi.
"Terutama Depok yang tak lama lagi akan menghadapi satu event besar pemilihan kepala daerah maka menjadi prioritas Bawaslu untuk bersinergi dengan media," tuturnya.
Soal wilayah mana paling rawan dari delapan wilayah Kabupaten dan Kota yang melaksanakan Pilkada Serentak 2020 mendatang, Abdullah enggan berspekulasi. "Kami belum bisa mengutarakan wilayah mana yang rawan. Saya tidak bisa memprediksi. Namun perlu diketahui apabila di satu wilayah DPT-nya besar, maka kemungkinan potensi kerawanan juga besar apalagi bila tidak dikawal," ujarnya.
Bawaslu sendiri sudah mulai menyusun strategi terutama dalam hal pencegahan, metode pengawasan, penegasan hukum. Konsentrasi pihaknya saat ini yaitu memberikan penegasan larangan terhadap wilayah-wilayah yang menyelenggarakan pilkada di Jawa Barat terutama kepala daerah untuk tidak melakukan mutasi dan rotasi. "Larangan ini, terhitung enam bulan sebelum penetapan calon (Pilkada)," tegasnya.
Hal tersebut, dianggapnya penting agar tidak terjadi unsur politisasi birokrasi yang dilakukan oleh petahana, demi mendapatkan suara terbanyak. Selanjutnya Bawaslu juga menyoroti masalah politik uang yang menjadi prioritas pengawasan.
"Kerawanan ini selalu ada di setiap pilkada, dengan membangun keterpilihan melalui transaksional atau menarik simpati dengan memberikan uang. Bawaslu, akan berupaya mencegah bahkan pada Undang-Undang No 10 mengenai penyelenggaraan Pemilu telah disebutkan penerima maupun pemberi ditindak tegas (pidana)," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga, Bawaslu Depok, Dede Selamet Permana mengatakan, berdasarkan evaluasi Pemilu serentak 2019 lalu beberapa catatan pelanggaran menjadi perhatian. Salah satunya, terkait kegiatan kampanye dimana kurang lebih 1.335 kegiatan di Depok yang dinyatakan resmi atau sesuai prosedur dengan melayangkan surat pemberitahuan kampanye secara resmi hanya 1.273. "Sementara itu, yang kampanye tanpa izin ada sekitar 62 kegiatan," katanya.
Temuan lainnya, lanjut Dede, masih seputar DPT, dugaan politik uang, dana kampanye yang tak sesuai dari para calon legislatif. "Kemudian kami juga menghimpun data mengenai beberapa pelanggaran seperti iklan kampanye diluar jadwal, kekurangan logistik saat pencoblosan, pengguna hak pilih yang tidak sesuai dengan aturan," katanya.
Dari sisi hukum pidana Bawaslu Depok menemukan tiga kasus. Ditambah lagi, Pemungutan Suara Ulang (PSU) sempat dilakukan yang disebabkan oleh kesalahan pada pengguna hak pilih. "PSU dilakukan, karena tujuh pengguna dari luar daerah yang bukan DPT dan bukan juga DPK (Daftar Pemilih Khusus) mencoblos surat suara tanpa menggunakan formulir A5," ucapnya.
Ketua Bawaslu Jabar, Abdullah Dahlan mengatakan, beberapa potensi kerawanan di antaranya, soal Daftar pemilih Tetap (DPT) ganda dan keterlibatan Warga Negara Asing (WNA). Potensi kerawanan tersebut, menjadi konsentrasi Bawaslu untuk terus memperbaharui data-data pemilih baik yang sudah terdaftar sebagai pemilih tetap maupun pindah memilih (baru masuk DPT).
"DPT harus bersih (clear), karena menyangkut keabsahan DPT dan basis perencanaan logistik. Sehingga fungsi DPT selain memastikan hak konstitusional juga memastikan perencanaan logistik utuh, akurat dan tepat," kata Abdullah di Depok, Minggu (1/12/2019).
Abdullah menuturkan, hampir seluruh wilayah di Jawa Barat berpotensi kerawanan pelanggaran. Terutama bila terdapat peserta dari jalur incumbent atau petahana. Oleh sebab itu, dalam pengawasan pilkada, Bawaslu tidak bisa bekerja sendirian, sinergritas bersama media dan jurnalis harus terjalin dengan baik untuk mengawal pesta demokrasi.
"Terutama Depok yang tak lama lagi akan menghadapi satu event besar pemilihan kepala daerah maka menjadi prioritas Bawaslu untuk bersinergi dengan media," tuturnya.
Soal wilayah mana paling rawan dari delapan wilayah Kabupaten dan Kota yang melaksanakan Pilkada Serentak 2020 mendatang, Abdullah enggan berspekulasi. "Kami belum bisa mengutarakan wilayah mana yang rawan. Saya tidak bisa memprediksi. Namun perlu diketahui apabila di satu wilayah DPT-nya besar, maka kemungkinan potensi kerawanan juga besar apalagi bila tidak dikawal," ujarnya.
Bawaslu sendiri sudah mulai menyusun strategi terutama dalam hal pencegahan, metode pengawasan, penegasan hukum. Konsentrasi pihaknya saat ini yaitu memberikan penegasan larangan terhadap wilayah-wilayah yang menyelenggarakan pilkada di Jawa Barat terutama kepala daerah untuk tidak melakukan mutasi dan rotasi. "Larangan ini, terhitung enam bulan sebelum penetapan calon (Pilkada)," tegasnya.
Hal tersebut, dianggapnya penting agar tidak terjadi unsur politisasi birokrasi yang dilakukan oleh petahana, demi mendapatkan suara terbanyak. Selanjutnya Bawaslu juga menyoroti masalah politik uang yang menjadi prioritas pengawasan.
"Kerawanan ini selalu ada di setiap pilkada, dengan membangun keterpilihan melalui transaksional atau menarik simpati dengan memberikan uang. Bawaslu, akan berupaya mencegah bahkan pada Undang-Undang No 10 mengenai penyelenggaraan Pemilu telah disebutkan penerima maupun pemberi ditindak tegas (pidana)," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga, Bawaslu Depok, Dede Selamet Permana mengatakan, berdasarkan evaluasi Pemilu serentak 2019 lalu beberapa catatan pelanggaran menjadi perhatian. Salah satunya, terkait kegiatan kampanye dimana kurang lebih 1.335 kegiatan di Depok yang dinyatakan resmi atau sesuai prosedur dengan melayangkan surat pemberitahuan kampanye secara resmi hanya 1.273. "Sementara itu, yang kampanye tanpa izin ada sekitar 62 kegiatan," katanya.
Temuan lainnya, lanjut Dede, masih seputar DPT, dugaan politik uang, dana kampanye yang tak sesuai dari para calon legislatif. "Kemudian kami juga menghimpun data mengenai beberapa pelanggaran seperti iklan kampanye diluar jadwal, kekurangan logistik saat pencoblosan, pengguna hak pilih yang tidak sesuai dengan aturan," katanya.
Dari sisi hukum pidana Bawaslu Depok menemukan tiga kasus. Ditambah lagi, Pemungutan Suara Ulang (PSU) sempat dilakukan yang disebabkan oleh kesalahan pada pengguna hak pilih. "PSU dilakukan, karena tujuh pengguna dari luar daerah yang bukan DPT dan bukan juga DPK (Daftar Pemilih Khusus) mencoblos surat suara tanpa menggunakan formulir A5," ucapnya.
(whb)