Pemkot Tak Serius, Taman Wali Kota dan Kampung Tematik Kumuh
A
A
A
TANGERANG - Pemkot Tangerang dan warganya belum serius mengelola pariwisata yang ada. Wisata di kota berjuluk Kota Benteng ini memang tidak sama dengan daerah lain, khususnya daerah pegunungan yang memiliki kekayaan alam melimpah.
"Wisata apa di Tangerang? Promo kurang, fasilitas tempat wisatanya enggak oke, guide jarang ada yang paham, masyarakatnya juga belum well educated," ujar Budayawan Tangerang Miing Khadafi, kemarin.
Wisata yang ada dan sarat muatan lokal malah ditinggalkan, diganti dengan jenis wisata tematik saat ini. Wisata kampung tematik yang dibanggakan Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah, misalnya. Wisata ini dinilai melanggar rambu-rambu kebudayaan yang ada pada masyarakat lokal. "Kampung tematik secara kebudayaan saja sudah salah. Setiap kampung itu memiliki sejarah penamaannya sendiri, tapi ujug-ujug diganti namanya jadi kampung ini lah, itu lah," katanya.
Begitupun dengan taman wali kota. Taman yang berjumlah puluhan itu dibangun dengan perencanaan kurang baik dan terkesan sekenanya saja yang penting asal terlihat hijau. "Cari saja coba taman yang ada tempat parkirnya dulu dah yang nyaman. Enggak ada. Yang ada warga susah dan jadi was-was main di taman karena parkir di pinggir jalan. Belum lagi ada pak ogah," ujar Miing.
Banyak taman wali kota dan kampung tematik yang dibangun tidak jelas kelanjutannya sehingga menjadi kumuh dan tidak terawat. Seperti terlihat di Kampung Kita (KPK) yang berada di lingkungan RW11, Tanah Tinggi, Kota Tangerang. Kampung ini diresmikan Arief pada Februari 2019. Pemandangan kampung yang penuh mural itu kini terlihat lusuh. Dinding-dindingnya kusam dan berdebu. Goresan cat pada gambar muralnya juga memudar dan tidak ada pengunjung yang mau datang.
Miing menuturkan, sebenarnya yang perlu ditonjolkan kepada wisatawan mancanegara tidak hanya taman atau kampung tematik tapi bagaimana turis asing itu melakukan riset dan ikut pertunjukan seni teater, jadi tak hanya berwisata. Sektor ini belum banyak digarap, namun cukup efektif mengenalkan Kota Tangerang ke luar negeri.
Banyak turis dari benua Asia dan Eropa datang kepadanya untuk belajar mengenai kebudayaan lokal. "Mereka berkelompok ingin melakukan riset. Bikin naskah teater lalu mentas di Pasar Lama (site specific theatre)," kata Miing.
Neni, warga Tangerang mengatakan, sejak pertama kali diresmikan wali kota, Kampung Kita tidak pernah ada kegiatan lagi. Mural yang awalnya indah saat ini terlihat kusam. "Awal-awal memang ramai. Banyak warga datang hanya untuk berswafoto, tapi sekarang sepi. Kondisi siang jalan berdebu, malam gelap enggak ada lampu penerangan jalan. Memprihatinkan," ujarnya.
Dia berharap Pemkot Tangerang tidak asal lagi membangun program kampung tematik karena yang akan dirugikan adalah warga perumahan sekitar. "Lihat saja sendiri kondisinya sekarang. Kan sayang sudah digambar bagus-bagus pakai cat dinding, tapi enggak ada perawatannya. Jadi, kayak program buang-buang duit saja. Enggak produktif," ungkapnya. (Hasan Kurniawan)
"Wisata apa di Tangerang? Promo kurang, fasilitas tempat wisatanya enggak oke, guide jarang ada yang paham, masyarakatnya juga belum well educated," ujar Budayawan Tangerang Miing Khadafi, kemarin.
Wisata yang ada dan sarat muatan lokal malah ditinggalkan, diganti dengan jenis wisata tematik saat ini. Wisata kampung tematik yang dibanggakan Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah, misalnya. Wisata ini dinilai melanggar rambu-rambu kebudayaan yang ada pada masyarakat lokal. "Kampung tematik secara kebudayaan saja sudah salah. Setiap kampung itu memiliki sejarah penamaannya sendiri, tapi ujug-ujug diganti namanya jadi kampung ini lah, itu lah," katanya.
Begitupun dengan taman wali kota. Taman yang berjumlah puluhan itu dibangun dengan perencanaan kurang baik dan terkesan sekenanya saja yang penting asal terlihat hijau. "Cari saja coba taman yang ada tempat parkirnya dulu dah yang nyaman. Enggak ada. Yang ada warga susah dan jadi was-was main di taman karena parkir di pinggir jalan. Belum lagi ada pak ogah," ujar Miing.
Banyak taman wali kota dan kampung tematik yang dibangun tidak jelas kelanjutannya sehingga menjadi kumuh dan tidak terawat. Seperti terlihat di Kampung Kita (KPK) yang berada di lingkungan RW11, Tanah Tinggi, Kota Tangerang. Kampung ini diresmikan Arief pada Februari 2019. Pemandangan kampung yang penuh mural itu kini terlihat lusuh. Dinding-dindingnya kusam dan berdebu. Goresan cat pada gambar muralnya juga memudar dan tidak ada pengunjung yang mau datang.
Miing menuturkan, sebenarnya yang perlu ditonjolkan kepada wisatawan mancanegara tidak hanya taman atau kampung tematik tapi bagaimana turis asing itu melakukan riset dan ikut pertunjukan seni teater, jadi tak hanya berwisata. Sektor ini belum banyak digarap, namun cukup efektif mengenalkan Kota Tangerang ke luar negeri.
Banyak turis dari benua Asia dan Eropa datang kepadanya untuk belajar mengenai kebudayaan lokal. "Mereka berkelompok ingin melakukan riset. Bikin naskah teater lalu mentas di Pasar Lama (site specific theatre)," kata Miing.
Neni, warga Tangerang mengatakan, sejak pertama kali diresmikan wali kota, Kampung Kita tidak pernah ada kegiatan lagi. Mural yang awalnya indah saat ini terlihat kusam. "Awal-awal memang ramai. Banyak warga datang hanya untuk berswafoto, tapi sekarang sepi. Kondisi siang jalan berdebu, malam gelap enggak ada lampu penerangan jalan. Memprihatinkan," ujarnya.
Dia berharap Pemkot Tangerang tidak asal lagi membangun program kampung tematik karena yang akan dirugikan adalah warga perumahan sekitar. "Lihat saja sendiri kondisinya sekarang. Kan sayang sudah digambar bagus-bagus pakai cat dinding, tapi enggak ada perawatannya. Jadi, kayak program buang-buang duit saja. Enggak produktif," ungkapnya. (Hasan Kurniawan)
(nfl)