Pemprov DKI Diminta Urungkan Niat Trotoar untuk PKL
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta diminta untuk mengurungkan niatnya membiarkan Pedagang Kaki Lima (PKL) di trotoar. Kebijakan untuk menjadikan Jakarta sebagai sebuah kota harus sesuai aturan yang berlaku.
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono mengatakan, penataan trotoar dengan pelebaran yang tengah berjalan saat ini sebenarnya sudah baik dan menjadikan Jakarta sebagai kota yang mampu bersaing dengan kota di negara lain. Namun apabila di beri ruang untuk PKL, penataan trotoar justru akan menimbulkan citra buruk meskipun didesign sebagus mungkin.
Politikus PDIP ini menyarankan agar sebaiknya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meningkatkan harkat dan derajat PKL dengan menempatkannya di lokasi yang pada umumnya. Seperti di pasar, perkantoran dan sebagainya.
"Kalau ditrotoar itu lebih bagus ditempatkan fending machine. Itu lebih manusiawi dan membuat nyaman pejalan kaki. Kalau PKL banyak masalah, belum pungutan liar yang pasti tidak bisa dihindarkan," kata Gembong Warsono saat dihubungi, Kamis 12 September 2019.
Penataan trotoar untuk PKL sangat bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, yaitu undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas angkutan jalan dan undang undang No 38 tahun 2004 tentang jalan. Menurutnya, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) yang diandalkan Anies justru berada di bawah Undang-undang No 22 dan 38 itu.
Permen PU Nomor 3 tahun 2014 itu menjelaskan tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Anies berpendapat, Permen PU itu dikeluarkan karena mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
"Undang-undang Nomor 22 dan 38 itu jelas menyatakan bahwa trotoar adalah hak pejalan kaki. Jangan alasan demi masyarakat kecil, Gubernur Anies justru menabrak aturan," ungkapnya.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitourus mengajak Pemprov DKI Jakarta untuk membedah payung hukum dalam memberi izin PKL berjualan di trotoar. Dia menganggap ada perspektif yang berbeda mengenai UU dalam memberi izin PKL berjualan.
Alfred meminta agar DKI mengedepankan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aturan itu menjelaskan mengenai hak pejalan kaki atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar.
"Sebaiknya kembali lagi ke asal. Pakai UU Lalu Lintas?," ujarnya.
Alfred menjelaskan pembahasan mengenai payung hukum perlu dilakukan untuk menghindari potensi kesalahan terhadap aturan pemerintah daerah dengan ketentuan di atasnya. Apabila ini dibiarkan, dikhawatirkan bisa terjadi kesalahpahaman antara aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan daerah.
"Jadi kita di jalan raya itu rujukannya UU Lalu Lintas atau UU yang lain? Kalau bicara ruang yah semua juga ruang, tapi ini kan ada eksplisit mengenai UU Lalu Lintas," ungkapnya.
Menurut Alfred, trotoar merupakan bagian dari jalan raya sehingga pedoman mengenai penataan trotoar yang pas adalah UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam memberikan sanksi tilang kepada pengendara yang melintas di trotoar, polisi juga mengacu pada UU tersebut.
Sementara itu Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, seluruh trotoar yang ada di Indonesia sebetulnya bisa dipakai untuk berjualan, namun ada aturannya. Ketentuan ini harus dipatuhi agar keberadaan pedagang tidak menyulitkan pejalan kaki yang melintas.
"Aturannya banyak dan memang mengizinkan. Itu berlaku di seluruh Indonesia. Emang nggak boleh trotoar dipakai untuk berjualan? Aturannya se-Indonesia tuh," ungkapnya.
Anies menjelaskan, putusan Mahkamah Agung (MA) mengamanatkan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2007 pasal 25 ayat 1 tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak berlaku. Meski dibatalkan, dia berdalih ada payung hukum di atas Perda yang mengatur pedagang berjualan di trotoar.
Misalnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Aturan itu dikeluarkan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selain itu, Anies juga berpedoman pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM dan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2012 dan Peraturan Gubernur DKi Nomor 10 tahun 2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
"Kesimpulannya, PKL diperbolehkan berada di trotoar selama mengikuti Permen PU. Nah, ini yang kemudian menjadi rujukan bagi kami," ujarnya
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono mengatakan, penataan trotoar dengan pelebaran yang tengah berjalan saat ini sebenarnya sudah baik dan menjadikan Jakarta sebagai kota yang mampu bersaing dengan kota di negara lain. Namun apabila di beri ruang untuk PKL, penataan trotoar justru akan menimbulkan citra buruk meskipun didesign sebagus mungkin.
Politikus PDIP ini menyarankan agar sebaiknya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meningkatkan harkat dan derajat PKL dengan menempatkannya di lokasi yang pada umumnya. Seperti di pasar, perkantoran dan sebagainya.
"Kalau ditrotoar itu lebih bagus ditempatkan fending machine. Itu lebih manusiawi dan membuat nyaman pejalan kaki. Kalau PKL banyak masalah, belum pungutan liar yang pasti tidak bisa dihindarkan," kata Gembong Warsono saat dihubungi, Kamis 12 September 2019.
Penataan trotoar untuk PKL sangat bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, yaitu undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas angkutan jalan dan undang undang No 38 tahun 2004 tentang jalan. Menurutnya, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) yang diandalkan Anies justru berada di bawah Undang-undang No 22 dan 38 itu.
Permen PU Nomor 3 tahun 2014 itu menjelaskan tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Anies berpendapat, Permen PU itu dikeluarkan karena mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
"Undang-undang Nomor 22 dan 38 itu jelas menyatakan bahwa trotoar adalah hak pejalan kaki. Jangan alasan demi masyarakat kecil, Gubernur Anies justru menabrak aturan," ungkapnya.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitourus mengajak Pemprov DKI Jakarta untuk membedah payung hukum dalam memberi izin PKL berjualan di trotoar. Dia menganggap ada perspektif yang berbeda mengenai UU dalam memberi izin PKL berjualan.
Alfred meminta agar DKI mengedepankan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aturan itu menjelaskan mengenai hak pejalan kaki atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar.
"Sebaiknya kembali lagi ke asal. Pakai UU Lalu Lintas?," ujarnya.
Alfred menjelaskan pembahasan mengenai payung hukum perlu dilakukan untuk menghindari potensi kesalahan terhadap aturan pemerintah daerah dengan ketentuan di atasnya. Apabila ini dibiarkan, dikhawatirkan bisa terjadi kesalahpahaman antara aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan daerah.
"Jadi kita di jalan raya itu rujukannya UU Lalu Lintas atau UU yang lain? Kalau bicara ruang yah semua juga ruang, tapi ini kan ada eksplisit mengenai UU Lalu Lintas," ungkapnya.
Menurut Alfred, trotoar merupakan bagian dari jalan raya sehingga pedoman mengenai penataan trotoar yang pas adalah UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam memberikan sanksi tilang kepada pengendara yang melintas di trotoar, polisi juga mengacu pada UU tersebut.
Sementara itu Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, seluruh trotoar yang ada di Indonesia sebetulnya bisa dipakai untuk berjualan, namun ada aturannya. Ketentuan ini harus dipatuhi agar keberadaan pedagang tidak menyulitkan pejalan kaki yang melintas.
"Aturannya banyak dan memang mengizinkan. Itu berlaku di seluruh Indonesia. Emang nggak boleh trotoar dipakai untuk berjualan? Aturannya se-Indonesia tuh," ungkapnya.
Anies menjelaskan, putusan Mahkamah Agung (MA) mengamanatkan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2007 pasal 25 ayat 1 tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak berlaku. Meski dibatalkan, dia berdalih ada payung hukum di atas Perda yang mengatur pedagang berjualan di trotoar.
Misalnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Aturan itu dikeluarkan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selain itu, Anies juga berpedoman pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM dan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2012 dan Peraturan Gubernur DKi Nomor 10 tahun 2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
"Kesimpulannya, PKL diperbolehkan berada di trotoar selama mengikuti Permen PU. Nah, ini yang kemudian menjadi rujukan bagi kami," ujarnya
(mhd)