Tak Dapat Perhatian Pemda, Veteran Ceritakan Patriotisme Kala Muda

Sabtu, 17 Agustus 2019 - 18:28 WIB
Tak Dapat Perhatian Pemda, Veteran Ceritakan Patriotisme Kala Muda
Tak Dapat Perhatian Pemda, Veteran Ceritakan Patriotisme Kala Muda
A A A
TANGERANG SELATAN - Sejumlah veteran yang tinggal di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mengungkapkan keprihatinan atas minimnya perhatian pemerintah daerah dengan nasib mereka. Sebagian besar veteran, harus melalui usia senjanya dengan hidup jauh di bawah kecukupan.

SINDOnews coba berbincang dengan pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Tangsel di kantor sementara yang terletak di Jalan H Usman Nomor 1, Ciputat. Letaknya persis di belakang Koramil Ciputat, berdampingan dengan bangunan Gelanggang Olah Raga (GOR).

Ketua LVRI Tangsel, Nurhasan (91) mulanya mengawali cerita tentang masa-masa perjuangan yang dilaluinya sejak tahun 1945 silam. Kala itu, dia tergabung di dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang malang-melintang menembus berbagai wilayah di Banten dan Jawa Barat.

"Saya pertama bergabung di BKR, terus ditugasin bersama Batalion 3, pindah-pindah lokasi terus. Pertama dari Tangsel diperintah ke daerah Parung-Bogor, terus sampai daerah puncak, lalu lanjut ke Cianjur. Waktu itu di bawah komandan Ishak Juarsa, orang Jawa Barat," tutur Nurhasan kepada SINDOnews, Sabtu (17/8/2019).

Usia Nurhasan masih terbilang remaja saat memutuskan bergabung angkat senjata melawan penjajah Belanda dan Jepang. Padahal, ucap dia, tak banyak rekan-rekan sebaya yang berani mengambil risiko itu. Apalagi front-front perjuangan rakyat hanya mengandalkan bambu runcing sebagai senjata utama.

"Kita cuma bawa bambu runcing, dan terus berpindah-pindah. Karena Belanda waktu itu menyisir mana saja daerah yang melawan. Kalau ketahuan kita pejuang, pasti langsung dikepung tempat kita. Ibaratnya, mereka pakai senjata otomatis tapi kita cuma bawa bambu runcing, jadi harus pintar adu taktik juga," katanya.

Lantas Nurhasan mengutarakan, apa alasannya memilih berjuang dengan kekuatan jauh tak imbang layaknya David vs Goliath. Belum lagi, proses itu mengharuskan pula perpisahan dengan orang tua dan saudara tercinta hingga batas waktu tak tentu.

"Waktu itu kita memang pada keras pendirian untuk mengamankan proklamasi kemerdekaan oleh Bung Karno. Kita enggak rela orang-orang Belanda menguasai wilayah kita. Taruhannya nyawa, keluarga, saudara, pasti sulit ketemu, waktu itu saya belum menikah. Kalau dibilang nekat ya enggak juga, karena niat kita sudah lillahi ta'ala berperang waktu itu," sambungnya.

Di tengah cerita, Nurhasan yang pensiun dengan pangkat Sersan Mayor itu sempat mengenang pertempuran yang paling sulit dilupakan. Di mana dia menyaksikan langsung detik-detik sejumlah sahabatnya gugur saat bertempur melawan pasukan NICA (Netherland Indies Civil Administration) Belanda.

Dikenang dia, sahabatnya itu tertembak saat berlindung dari berondongan senapan musuh. Karena luka berat, banyak yang langsung tewas di tempat. Meski berduka akibat korban berjatuhan, gelora perjuangan terus berkobar di antara mereka, hingga berlanjut pada pertempuran-pertempuran berikutnya.

"Waktu itu kita bertempur di daerah Cianjur, ada sahabat saya tertembak di kepala, persis di samping saya. Karena kita kan pakai bambu runcing, kita balas menyerang secara senyap. Jadi saat mereka menembak, kita hanya bisa mengamati saja sambil berlindung. Beberapa sahabat dekat saya gugur waktu itu, saya menyaksikan langsung," ungkapnya.

Masa-masa perjuangan itu telah berlalu, pengorbanan nyawa yang tak terhitung jumlahnya, kucuran darah dan air mata, terabadikan dalam catatan sejarah perjalanan bangsa. Kini Indonesia benar-benar telah merdeka dari penjajahan fisik oleh Belanda, sekutu dan Jepang.

Meski demikian, keprihatinan justru dirasakan oleh mereka para veteran pejuang bangsa saat ini. Di wilayah Kota Tangsel, jumlah mereka yang terdata memiliki Surat Keputusan (SK) LVRI baru mencapai 15 veteran. Namun kini tersisa 13 orang, setelah 2 anggota lainnya telah meninggal dunia.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ke-13 veteran LVRI ini hanya mengandalkan pemasukan dari pemerintah pusat. Baik dana kehormatan sekira Rp938 ribu, ataupun tunjangan yang besarannya variatif tergantung golongan A hingga E, nilainya tak seberapa yaitu Rp1,7 juta hingga Rp2 juta per bulan.

"Dari pusat saja yang rutin, kalau dari pemerintah Kota Tangsel belum ada. Jumlah veteran yang memiliki SK LVRI nggak banyak, hanya tinggal 13 orang di sini. Sebenarnya juga kita nggak pernah berharap bantuan itu, karena perjuangan kita dahulu ikhlas semata-mata untuk memerdekakan tanah air. Tapi faktanya begitu, belum ada (bantuan) dari Pemkot Tangsel," ujar Nurhasan.

Pada momen-momen tertentu, diakui Nurhasan, Pemkot memberikan uang saku kepada anggotanya. Biasanya hal itu dilakukan saat memperingati hari-hari besar, misalnya Hari Veteran Nasional 10 Agustus dan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus.

Namun, besaran uang saku yang diberikan tak mencerminkan sebuah penghargaan kepada para mantan pejuang bangsa, karena nominalnya hanya sekira Rp200 ribu hingga paling besar mencapai Rp500 ribu per anggota LVRI dalam satu tahun.

"Kalau saat momen tertentu itu memang ada, tapi nggak tentu jumlahnya, kadang Rp200 ribu perorang, pernah juga Rp500 ribu. Momennya satu-dua kali saja. Tapi kita nggak terlalu mempersoalkan itu, walaupun kehidupan kita sesulit apapun tetap kita jalani, ngggak pernah kita sesali pengorbanan kita dulu. Mudah-mudahan ini jadi pembelajaran juga buat generasi bangsa saat ini," serunya lagi.

Nurhasan sendiri tinggal bersama istri, Suharti (74), dan anak cucunya di daerah Pisangan, Ciputat Timur. Hampir saban hari, dia berjalan kaki dari rumahnya menuju kantor sekretariat sementara LVRI. Jika dihitung jaraknya cukup melelahkan, mencapai sekira 4 kilometer.

"Tiap pagi kalau nggak ada kegiatan lain, saya ke sekretariat ini, jalan kaki. Saya sebagai ketua harus punya tanggung jawab kepada semua anggota saya. Itulah sebenarnya penting keberadaan sekretariat LVRI di sini, kita sudah berulang kali minta dibantu pengadaannya, tapi belum ada tanggapan, hanya dijanjikan saja dari tahun ke tahun," lanjut Nurhasan.

Pengurus LVRI Kota Tangsel sendiri memang cukup aktif berkoordinasi di sekretariat kantornya. Termasuk agenda yang dibahas adalah mengetahui update informasi terkini para veteran di Kota Tangsel, baik yang memiliki SK LVRI ataupun mereka yang masih tercecer tak diketahui keberadaannya.

"Sebenarnya jumlahnya banyak, ada sekira 120-an veteran di Tangsel yang belum dapat SK, karena kita nggak tahu juga keberadaannya di mana, data itu dari Kodam. Ini yang ke depan harus kita sisir lagi," tambah Didi Gamu, Wakil Ketua LVRI Kota Tangsel di tempat yang sama.

Nurhasan dan Didi Gamu sempat pula menyinggung adanya bantuan dari Kementerian Sosial (Kemensos) melalui Dinas Sosial (Dinsos) Kota Tangsel yang tak kunjung diberikan. Padahal diketahui, tunjangan itu sebenarnya telah dikucurkan oleh Kemensos pada tahun lalu.

"Tahun lalu kita memang dapat bantuan tunjangan dari Kemensos, disalurkan melalui Dinsos. Tapi nggak tahu kenapa belum disampaikan ke kita, belum ada sampai sekarang," tukas Didi, veteran pejuang Trikora 1961 itu.

Pihak Dinsos Tangsel sendiri tak menjelaskan secara rinci apa alasan tunjangan para veteran tak juga diserahkan. Saat dikonfirmasi, Kepala Dinsos Wahyunoto Lukman hanya menjelaskan singkat, bahwa benar ada bantuan dari Kemensos untuk veteran, nilainya Rp1,2 juta hingga Rp1,8 juta.

"LVRI di Tangsel mendapat tunjangan langsung dari Kemensos, jadi diserahkan langung ke rekening veteran, besarannya bervariasi mulai dari Rp1, 2 juta sampai Rp1, 8 juta," jawab Wahyu dihubungi terpisah.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5003 seconds (0.1#10.140)