Pemilihan Wagub DKI Berlarut-larut, Refly Harun: Kuncinya di Prabowo
A
A
A
JAKARTA - Kekosongan Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta yang telah berjalan satu tahun dan mulai mengganggu langkah percepatan pembangunan Jakarta, dinilai bukan hal sulit untuk diselesaikan. Pakar hukum tata negara Refly Harun melihat duduk persoalannya adalah tidak adanya ketegasan politik dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Menurut Refly, bagaimana pun tanda tangan ketua umum partai politik, dalam hal ini Gerindra sebagai salah satu parpol pengusung Anies-Sandi pada Pilkada DKI dua tahun lalu, menjadi faktor paling penting. "Urusan tersebut seharusnya tak perlu berlarut-larut menjadi wacana publik yang tidak produktif. Inikan sesungguhnya bisa diselesaikan di tingkat pusat, di tingkat Prabowo-nya,” ujar Refly Harun, Selasa (13/8/2019).
Hal yang juga disayangkan Refly adalah tidak hadirnya kemauan politik (political will) dalam persoalan tersebut. Jika ada kemauan politik yang kuat untuk memenuhi kesepakatan, kata dia, tidak perlu Anies harus sendirian mengelola Jakarta hingga berbilang tahun seperti saat ini.
“Harusnya tidak susah kalau ada political will. Pastinya ada gentlemen agreement di antara parpol-parpol itu. Nah, misalnya kalau memang sudah disepakati sebagai jatah PKS, ya berikanlah kepada PKS. Memang soal begini tidak diatur dalam undang-undang, tapi inikan bagian dari moralitas dan etika politik,” kata Refly yang menyelesaikan studi doktoralnya dengan cum laude itu.
Ditanya mengenai ada tidaknya aturan dan sanksi kepada DPRD DKI Jakarta yang bisa dianggap lalai melaksanakan kewajiban mereka, Refly mengatakan tidak setiap kewajiban moral itu harus memiliki sanksi.
“Tapi yang terbaik, kewajiban ya dilaksanakan. Salah satu kewajiban DPRD dalam hal ini adalah memilih salah satu dari dua calon yang diajukan gubernur, yang juga berasal dari ajuan parpol pengusung,” kata Refly. Bagi Refly, bicara masalah politik sebaiknya memang tidak hanya bicara soal kepentingan, tapi juga moralitas politik.
Sementara itu, aktivis lingkungan hidup yang mengelola kedaulatan pangan dan air bagi warga Jakarta, Muhammad Rezza Shidqi, menilai DPRD DKI Jakarta saat ini terkesan tak acuh akan tanggung jawab mereka. Ia menilai, jika DPRD DKI punya rasa tanggung jawab moral kepada warga, tidak mungkin dengan gampang melempar persoalan besar ini kepada penerus mereka di masa bakti 2019-2024.
“Itu artinya sudah tak menjalankan tugas dengan baik sebagai wakil rakyat, lalu dengan enteng bilang itu tugas DPRD 2019-24. Kita bilang apa kepada yang begitu?” kata Rezza.
Lebih jauh panglima Laskar Krukut Luhur (Laskaru) itu menilai ada pembiaran terstruktur yang tak jelas apa tujuannya untuk membuat kursi wagub kosong selama mungkin. Padahal, kata dia, jelas-jelas itu berdampak pada menurunnya kinerja pelayanan publik yang dirasakan warga Jakarta.
“Pak Sandiaga sudah meninggalkan beberapa program kerja yang bagus. Program itu wajar belum juga bisa berjalan karena wagubnya belum ada,” kata dia.
Bagi Rezza, membiarkan pelayanan publik tidak berfungsi optimal karena Gubernur tak punya wakil untuk berbagi tugas, pengabdian dan tanggung jawab, sebenarnya merupakan kezaliman yang dilakukan DPRD. “Ya, mudah-mudahan saja mereka segera sadar,” kata dia.
Sebenarnya, menurut Rezza, yang paling ditakutkan bukanlah potensi perpecahan di antara dua parpol pengusung calon terpilih Pilkada DKI Jakarta 2017, yakni Gerindra dan PKS, karena persoalan ini. Hal yang paling layak dikhawatirkan justru adalah timbulnya ketidakpercayaan dari masyarakat Jakarta kepada partai-partai politik yang dianggap sengaja lalai menjalankan tugas mereka.
Menurut Refly, bagaimana pun tanda tangan ketua umum partai politik, dalam hal ini Gerindra sebagai salah satu parpol pengusung Anies-Sandi pada Pilkada DKI dua tahun lalu, menjadi faktor paling penting. "Urusan tersebut seharusnya tak perlu berlarut-larut menjadi wacana publik yang tidak produktif. Inikan sesungguhnya bisa diselesaikan di tingkat pusat, di tingkat Prabowo-nya,” ujar Refly Harun, Selasa (13/8/2019).
Hal yang juga disayangkan Refly adalah tidak hadirnya kemauan politik (political will) dalam persoalan tersebut. Jika ada kemauan politik yang kuat untuk memenuhi kesepakatan, kata dia, tidak perlu Anies harus sendirian mengelola Jakarta hingga berbilang tahun seperti saat ini.
“Harusnya tidak susah kalau ada political will. Pastinya ada gentlemen agreement di antara parpol-parpol itu. Nah, misalnya kalau memang sudah disepakati sebagai jatah PKS, ya berikanlah kepada PKS. Memang soal begini tidak diatur dalam undang-undang, tapi inikan bagian dari moralitas dan etika politik,” kata Refly yang menyelesaikan studi doktoralnya dengan cum laude itu.
Ditanya mengenai ada tidaknya aturan dan sanksi kepada DPRD DKI Jakarta yang bisa dianggap lalai melaksanakan kewajiban mereka, Refly mengatakan tidak setiap kewajiban moral itu harus memiliki sanksi.
“Tapi yang terbaik, kewajiban ya dilaksanakan. Salah satu kewajiban DPRD dalam hal ini adalah memilih salah satu dari dua calon yang diajukan gubernur, yang juga berasal dari ajuan parpol pengusung,” kata Refly. Bagi Refly, bicara masalah politik sebaiknya memang tidak hanya bicara soal kepentingan, tapi juga moralitas politik.
Sementara itu, aktivis lingkungan hidup yang mengelola kedaulatan pangan dan air bagi warga Jakarta, Muhammad Rezza Shidqi, menilai DPRD DKI Jakarta saat ini terkesan tak acuh akan tanggung jawab mereka. Ia menilai, jika DPRD DKI punya rasa tanggung jawab moral kepada warga, tidak mungkin dengan gampang melempar persoalan besar ini kepada penerus mereka di masa bakti 2019-2024.
“Itu artinya sudah tak menjalankan tugas dengan baik sebagai wakil rakyat, lalu dengan enteng bilang itu tugas DPRD 2019-24. Kita bilang apa kepada yang begitu?” kata Rezza.
Lebih jauh panglima Laskar Krukut Luhur (Laskaru) itu menilai ada pembiaran terstruktur yang tak jelas apa tujuannya untuk membuat kursi wagub kosong selama mungkin. Padahal, kata dia, jelas-jelas itu berdampak pada menurunnya kinerja pelayanan publik yang dirasakan warga Jakarta.
“Pak Sandiaga sudah meninggalkan beberapa program kerja yang bagus. Program itu wajar belum juga bisa berjalan karena wagubnya belum ada,” kata dia.
Bagi Rezza, membiarkan pelayanan publik tidak berfungsi optimal karena Gubernur tak punya wakil untuk berbagi tugas, pengabdian dan tanggung jawab, sebenarnya merupakan kezaliman yang dilakukan DPRD. “Ya, mudah-mudahan saja mereka segera sadar,” kata dia.
Sebenarnya, menurut Rezza, yang paling ditakutkan bukanlah potensi perpecahan di antara dua parpol pengusung calon terpilih Pilkada DKI Jakarta 2017, yakni Gerindra dan PKS, karena persoalan ini. Hal yang paling layak dikhawatirkan justru adalah timbulnya ketidakpercayaan dari masyarakat Jakarta kepada partai-partai politik yang dianggap sengaja lalai menjalankan tugas mereka.
(thm)