Penerbitan Pergub Rusunami Dinilai Berpotensi Jadi Bom Waktu

Sabtu, 23 Maret 2019 - 06:26 WIB
Penerbitan Pergub Rusunami Dinilai Berpotensi Jadi Bom Waktu
Penerbitan Pergub Rusunami Dinilai Berpotensi Jadi Bom Waktu
A A A
JAKARTA - Penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) No 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Hak Milik dinilai oleh beberapa kalangan bukan solusi tepat untuk mengatasi konflik baik antarpemilik/penghuni maupun pemilik/penghuni dengan pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS).

Pergub yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu berpotensi menjadi bom waktu yang justru dapat merugikan semua pihak. Menurut advokat Razman Arif Nasution, pergub tersebut membuat konflik antarpemilik/penghuni dan pemilik/penghuni dengan pengurus PPPSRS memanas karena selama ini sebagian besar penghuni apartemen tidak ada masalah.

Dia menyayangkan Anies hanya mendengar dari satu pihak dan tidak mengecek langsung ke lapangan. “Apa benar pengelola apartemen yang dikelola oleh seluruh penghuni tidak ada masalah?” kata Razman yang juga pemilik/penghuni Apartemen Mediterania Palace di Kemayoran, Jakarta Pusat, kemarin.

Faktanya kepengurusan PPPSRS yang murni dari pemilik oleh pemilik dan untuk pemilik tidak seindah yang dibayangkan. Beberapa pengelolaan yang sudah dilepas pengembang, pengelolaannya bukan bertambah baik malah bertambah buruk hingga terjadi modus-modus KKN dalam penunjukan vendor.

“Saya tidak mau pengelolaan apartemen diurus oleh orang-orang yang tidak profesional. Pasti pengelolaannya amburadul. Sekarang saja setelah pergub keluar, gaji karyawan dan biaya operasional telat dibayarkan karena dibekukan Ketua PPPSRS-nya,” ujarnya.

Praktisi hukum properti Erwin Kallo menilai Pergub No 132 Tahun 2018 tidak komprehensif. Satu di antara titik lemah pergub ini adalah Pasal 28 (7) jo Pasal 36 (3) tentang one unit one vote. Pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan UU No 20 Tahun 2011 tentang Rusun, yaitu mekanisme pemungutan suara berdasarkan nilai perbandingan proporsional (NPP) atau luasan unit apartemen.

“Kalau aturan ini dimaksudkan untuk mencegah pengembang atau pengelola menjadi anggota PPPSRS itu tidak tepat. Sebab rumah susun komersial atau apartemen memang harus dikelola pihak yang profesional dan memiliki rekam jejak baik,” ungkap Erwin.

Meski demikian, dia tidak setuju bila Pergub DKI memperuncing peta konflik antara pengembang dan pemilik/penghuni. “Bagi saya siapa pun pengelola tidak masalah selama dilakukan secara transparan. Terpenting ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas terhadap penggunaan iuran dari pemilik/penghuni,” ujarnya.

Bom waktu yang dimungkinkan terjadi akibat pengelolaan tidak profesional tentu saja menyangkut keselamatan si penghuni itu sendiri. Mengenai bagaimana menangani lift, jaringan kabel, air, dan lainnya sehingga tidak terjadi lift tiba-tiba mati karena dikelola asal-asalan, air mampet, bahkan bencana kebakaran.

Belum lagi bagaimana mengatasi sengketa pengelolaan parkir, munculnya pedagang di sekitar area apartemen yang mungkin didatangkan pengurus PPPSRS yang tentunya membawa pemilik/penghuni semakin tidak nyaman. Itu juga akan menjadi bom waktu yang perlu diwaspadai karena pengelolaan parkir dan pedagang akan mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit bagi pengurus PPPSRS.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9077 seconds (0.1#10.140)