Jejak Sultan Banten Pertama Maulana Hasanuddin di Tanah Batavia
A
A
A
JAKARTA - Jakarta hingga kini masih banyak meninggalkan bangunan bersejarah jaman dulu (jadoel). Salah satunya Masjid Al Atiq yang berada di Jalan Masjid I Nomor 3, Kelurahan Kampung Melayu Besar, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
Posisinya yang tersembunyi dengan arsitektur yang sederhana membuat Masjid Al Atiq seperti luput dari perhatian masyarakat. Padahal di balik bentuknya yang sederhana, masjid ini termasuk salah satu masjid yang memiliki pengaruh cukup kuat terhadap perkembangan penyebaran agama Islam di Jakarta.
Dikutip dari berbagai sumber, masjid ini dulu kerap menjadi tempat pengungsingan warga dan pasukan Jayakarta yang tengah berperang melawan VOC Belanda. Jika diperhatikan seksama, tidak ada yang istimewa dari masjid yang berada di tengah permukiman dan jauh dari jalan besar ini. Lokasinya yang tersembunyi dari keramaian membuat masjid ini tidak terkenal di kalangan masyarakat luas.
Masjid Al-Atiq juga merupakan peninggalan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama yang pusat pemerintahannya berada di daerah Banten Lama. Sultan Maulana Hasanuddin adalah putra Syarif Hidayatullah dari istiinya Ratu Kaurig Anten.
Melihat bentuk arsitektur masjid yang berdiri pada abad ke-16 ini, tampak pada atap bangunannya yang bersusun dan lambang panah sebagai simbol bersejarah seperti beberapa masjid yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain Masjid Demak, Masjid Sunan Giri, dan Gresik.
Kesamaan itu di antaranya adalah bentuk atap masjid sebelumnya yang tidak menggunakan genteng dari tanah liat, melainkan kayu sirap. Anehnya, peninggalan bersejarah seperti omamenbagian langit-langit yang terdapat di dalam masjid, raib entah ke mana rimbanya. Ada yang mengatakan, telah diamankan oleh Dinas Museum Pemda DKI Jakarta.
Berdirinya Masjid Al-Atiq konon bertepatan dengan berdirinya masjid yang berada di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah, sehingga dikatakan sebagai cabang masjid yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Namun masjid tersebut merupakan bangunan yang terakhir penyelesaiannya.
Menurut Ketua Takmir Masjid Al Atiq, H Ichwan Rasidi, sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan tepatnya masjid ini dibangun. Namun dari para sesepuh kampung dan risalah yang ada di masjid ini, meyakini bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1632 M atau 1053 H. Nama Al Atiq sendiri diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1970-an. Secara harafiah Al Atiq memiliki makna tertua.
Pembangunan masjid ini diperkirakan bersamaan dengan pembangunan masjid di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah di mana kedua masjid tersebut dibangun karena peran Sultan Maulana Hasanuddin. Pendiri masjid ini adalah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang tengah berperang melawan VOC. Dulunya masjid ini dibangun sebagai tempat istirahat Sultan.
Masjid yang letaknya persis di tepi Kali Ciliwung ini pun menguatkan indikasi kebenaran cerita tersebut. H Ichwan menyebut, pada zaman dahulu pergerakan tentara selalu saja memanfaatkan sungai yang berfungsi sebagai transportasi atau sumber minum para tentara.
Pada tahun 1619, ketika VOC masih berkuasa, keadaan bangunan masjid sangat memprihatinkan. Maka, ketika pengikut Pangeran Jayakarta tengah menelusuri Batavia melalui Sungai Ciliwung dengan menggunakan perahu, salah satu rombongan secara kebetulan melihat sebuah bangunan masjid yang tidak terpelihara, bahkan nyaris roboh. Akhirnya rombongan segera memutuskan untuk menetap di wilayah itu, sekaligus memperbaiki bangunan masjid yang telah ada sebelumnya.
Saat ini, bentuk fisik masjid ini telah mengalami beberapa perubahan karena pernah dilakukan beberapa kali pemugaran. Seperti pada tiang penyangga yang berada di tengah masjid dulunya terbuat dari kayu jati, saat ini digantikan dengan beton berlapis keramik/marmer.
Perombakan juga dilakukan pada bangunan masjid, di mana masjid dibangun menjadi dua lantai yang lebih modern, sedangkan pernak pernik asli dari masjid telah diserahkan ke Museum Sejarah Jakarta.
Namun, pemugaran tidak dilakukan pada seluruh bagian masjid. Komponen masjid yang masih dipertahankan ialah trisula penunjuk arah kiblat yang terletak di puncak menara masjid. Bentuk menara pun masih sama dengan saat pertama kali dibangun, yaitu berupa limas.
Sebelum dilakukan pemugaran, terdapat dua buah makam pengurus pertama masjid ini. Makam yang letaknya berada persis di samping mimbar atau tempat berdirinya imam ini tidak diketahui nama pengurus yang dimaksud. Namun setelah pemugaran, kedua makam dipindahkan.
Masjid ini juga menyimpan kisah mistis yang menarik, yaitu adanya tongkat khatib ajaib yang terletak di mimbar masjid. Tongkat tersebut merupakan benda pusaka peninggalan masjid. Kabarnya, tongkat tersebut ampuh menyembuhkan penyakit lewat ramuan yang diracik dari serpihan kayu pada tongkat itu. Kini, pengerikan tongkat kayu tersebut sudah dilarang oleh para pengurus masjid.
Sumber lain menyebut, konon masjid ini merupakan tempat persembunyian Si Pitung dan Ji’ih, jagoan Betawi yang terkenal karena membela rakyat kecil dan menentang Kolonial Belanda saat itu.
Setelah melarikan diri dari penjara Meester Comelis (kini Jatinegara) pada tahun 1890-an, si Pitung dan Si Ji’ih disembunyikan di masjid ini selama berbulan-bulan atas perintah kiai setempat. Pada 1996, Masjid Al-Atiq juga disebutkan pernah disinggahi Presiden Soekarno untuk melaksanakan salat.
(sumber: http://www.beritajakarta.id/http://duniamasjid.islamic-center.or.id)
Posisinya yang tersembunyi dengan arsitektur yang sederhana membuat Masjid Al Atiq seperti luput dari perhatian masyarakat. Padahal di balik bentuknya yang sederhana, masjid ini termasuk salah satu masjid yang memiliki pengaruh cukup kuat terhadap perkembangan penyebaran agama Islam di Jakarta.
Dikutip dari berbagai sumber, masjid ini dulu kerap menjadi tempat pengungsingan warga dan pasukan Jayakarta yang tengah berperang melawan VOC Belanda. Jika diperhatikan seksama, tidak ada yang istimewa dari masjid yang berada di tengah permukiman dan jauh dari jalan besar ini. Lokasinya yang tersembunyi dari keramaian membuat masjid ini tidak terkenal di kalangan masyarakat luas.
Masjid Al-Atiq juga merupakan peninggalan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama yang pusat pemerintahannya berada di daerah Banten Lama. Sultan Maulana Hasanuddin adalah putra Syarif Hidayatullah dari istiinya Ratu Kaurig Anten.
Melihat bentuk arsitektur masjid yang berdiri pada abad ke-16 ini, tampak pada atap bangunannya yang bersusun dan lambang panah sebagai simbol bersejarah seperti beberapa masjid yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain Masjid Demak, Masjid Sunan Giri, dan Gresik.
Kesamaan itu di antaranya adalah bentuk atap masjid sebelumnya yang tidak menggunakan genteng dari tanah liat, melainkan kayu sirap. Anehnya, peninggalan bersejarah seperti omamenbagian langit-langit yang terdapat di dalam masjid, raib entah ke mana rimbanya. Ada yang mengatakan, telah diamankan oleh Dinas Museum Pemda DKI Jakarta.
Berdirinya Masjid Al-Atiq konon bertepatan dengan berdirinya masjid yang berada di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah, sehingga dikatakan sebagai cabang masjid yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Namun masjid tersebut merupakan bangunan yang terakhir penyelesaiannya.
Menurut Ketua Takmir Masjid Al Atiq, H Ichwan Rasidi, sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan tepatnya masjid ini dibangun. Namun dari para sesepuh kampung dan risalah yang ada di masjid ini, meyakini bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1632 M atau 1053 H. Nama Al Atiq sendiri diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1970-an. Secara harafiah Al Atiq memiliki makna tertua.
Pembangunan masjid ini diperkirakan bersamaan dengan pembangunan masjid di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah di mana kedua masjid tersebut dibangun karena peran Sultan Maulana Hasanuddin. Pendiri masjid ini adalah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang tengah berperang melawan VOC. Dulunya masjid ini dibangun sebagai tempat istirahat Sultan.
Masjid yang letaknya persis di tepi Kali Ciliwung ini pun menguatkan indikasi kebenaran cerita tersebut. H Ichwan menyebut, pada zaman dahulu pergerakan tentara selalu saja memanfaatkan sungai yang berfungsi sebagai transportasi atau sumber minum para tentara.
Pada tahun 1619, ketika VOC masih berkuasa, keadaan bangunan masjid sangat memprihatinkan. Maka, ketika pengikut Pangeran Jayakarta tengah menelusuri Batavia melalui Sungai Ciliwung dengan menggunakan perahu, salah satu rombongan secara kebetulan melihat sebuah bangunan masjid yang tidak terpelihara, bahkan nyaris roboh. Akhirnya rombongan segera memutuskan untuk menetap di wilayah itu, sekaligus memperbaiki bangunan masjid yang telah ada sebelumnya.
Saat ini, bentuk fisik masjid ini telah mengalami beberapa perubahan karena pernah dilakukan beberapa kali pemugaran. Seperti pada tiang penyangga yang berada di tengah masjid dulunya terbuat dari kayu jati, saat ini digantikan dengan beton berlapis keramik/marmer.
Perombakan juga dilakukan pada bangunan masjid, di mana masjid dibangun menjadi dua lantai yang lebih modern, sedangkan pernak pernik asli dari masjid telah diserahkan ke Museum Sejarah Jakarta.
Namun, pemugaran tidak dilakukan pada seluruh bagian masjid. Komponen masjid yang masih dipertahankan ialah trisula penunjuk arah kiblat yang terletak di puncak menara masjid. Bentuk menara pun masih sama dengan saat pertama kali dibangun, yaitu berupa limas.
Sebelum dilakukan pemugaran, terdapat dua buah makam pengurus pertama masjid ini. Makam yang letaknya berada persis di samping mimbar atau tempat berdirinya imam ini tidak diketahui nama pengurus yang dimaksud. Namun setelah pemugaran, kedua makam dipindahkan.
Masjid ini juga menyimpan kisah mistis yang menarik, yaitu adanya tongkat khatib ajaib yang terletak di mimbar masjid. Tongkat tersebut merupakan benda pusaka peninggalan masjid. Kabarnya, tongkat tersebut ampuh menyembuhkan penyakit lewat ramuan yang diracik dari serpihan kayu pada tongkat itu. Kini, pengerikan tongkat kayu tersebut sudah dilarang oleh para pengurus masjid.
Sumber lain menyebut, konon masjid ini merupakan tempat persembunyian Si Pitung dan Ji’ih, jagoan Betawi yang terkenal karena membela rakyat kecil dan menentang Kolonial Belanda saat itu.
Setelah melarikan diri dari penjara Meester Comelis (kini Jatinegara) pada tahun 1890-an, si Pitung dan Si Ji’ih disembunyikan di masjid ini selama berbulan-bulan atas perintah kiai setempat. Pada 1996, Masjid Al-Atiq juga disebutkan pernah disinggahi Presiden Soekarno untuk melaksanakan salat.
(sumber: http://www.beritajakarta.id/http://duniamasjid.islamic-center.or.id)
(thm)