Antisipasi Permukaan Tanah Turun, Bekasi Terapkan Drainase Vertikal
A
A
A
BEKASI - Dilintasinya Kota Bekasi dengan proyek strategis nasional dan gencarnya pembangunan di daerah mitra DKI Jakarta membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi bakal mengeluarkan kebijakan setiap pembangunan segera dan wajib membangun drainase vertikal. Kebijakan itu menyusul antisipasi menyusutnya cadangan air tanah akibat pembangunan yang kian masif.
Selain itu, antispasi dilakukan untuk menghindari ancaman turunnya permukaan tanah. Untuk itu, Kota dengan sebutan barang dan jasa itu mulai mengantisipasinya dengan membuat kebijakan dan program.
Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) Kota Bekasi, Arief Maulana mengatakan, kebijakan itu perlu segera dibuat agar pemerintah bisa mengantisipasi menyusutnya tanah dan cadangan air tanah Bekasi."Kita sedang lakukan kajian, secepatnya kebijakan itu diberlakukan," kata Arief pada Minggu, 3 Februari 2019 kemarin.
Saat ini, kata dia, kebijakan drainase vertikal akan mulai diterapkan di lingkungan pemerintahan, kemudian area komersil, lalu merembet ke lingkungan masyarakat sampai ke rumah-rumah warga."Kami awali di pemerintahan, lalu diterapkan di permukiman warga, maupun nantinya disetiap semua bangunan di Bekasi," ujarnya.
Dalam rencana kajiannya, drainase vertikal atau sumur resapan yang itu berdiameter mulai 15 sentimeter, dengan kedalaman mulai tiga meter. Drainase vertikal ini merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 12 tahun 2014 tentang penyelenggaraan sistem drainase perkotaan.
Arief menjelaskan, setiap pembangunan yang masif, memang berimbas dengan menyusutnya cadangan air dan secara tidak langsung kondisi tanah sekitarnya akan terpengaruh dan turun. Untuk itu, pemerintah harus mulai mengantisipasinya dengan mengeluarkan kebijakan drainase vertikal dan program lainya.
Salah satu program yang terus dilakukan pemerintah hingga kini dengan pembuatan sejuta sumur resapan untuk menampung air hujan agar meresap ke dalam tanah. Sehingga, sudah saatnya kelebihan air tidak dibuang ke laut. Apalagi, program sejuta sumur digalakan pemerintah sejak beberapa tahun terakhir.
Arief mencontohkan, persoalan menyusutnya air tanah mengancam penurunan muka tanah itu terjadi di DKI Jakarta. Di Ibu Kota setiap tahun penurunan permukaan tanahnya mencapai 12 sentimeter. Jika tidak diantisipasi, Bekasi bisa jadi seperti Jakarta mengingat pembangunan cukup masif seiring terus berkembang wilayahnya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah menginisiasi dengan cara menampung air hujan yang selama ini membanjiri permukiman warga. Sejauh ini, air hujan dialirkan menuju saluran sekunder hingga saluran primer lalu dibuang ke laut. Meski demikian, air yang ditampung masih sedikit melalui beberapa polder air.
Kota Bekasi saat ini baru memiliki belasan polder air yang dibangun sejak lima tahun lalu. Sejumlah tempat penampungan air itu di antaranya Polder Pengasinan (Rawalumbu), Arenjaya (Bekasi Timur), Danita (Bekasi Timur), VIP (Bekasi Utara), Rawapasung (Medansatria), IKIP (Jatiasih), Nasio (Jatiasih) dan disekitar Galaxi (Bekasi Selatan).
Kemudian ada polder air yang disiapkan di Bendung Koja (Jatiasih) yang mana lokasinya berada di perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor, lalu Kalimati (Bekasi Timur), Kalibaru (Bekasi Barat). Selain yang sudah ada, kata dia, pemerintah juga akan membangun polder di Ciketing Udik (Bantargebang).
Arief menambahkan, selama ini pembangunan polder di Kota Bekasi kerap terkendala keterbatasan lahan. Sebab, lahan yang dibutuhkan cukup luas, minimal 1000 meter. Sedangkan, pengadaan lahan membutuhkan dana yang besar, karena itu sejauh ini memanfaatkan lahan fasilitas sosial dan umum.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan, sejauh ini pemerintah daerah belum melakukan penelitian terhadap penurunan permukaan tanah di Kota Bekasi. "Memang harus dilakukan kajian soal ini, untuk mengantisipasi akibat gencarnya pembangunan di Bekasi. Salah satunya kebijakan pembuatan drainase vertikal," katanya.
Menurutnya, kajian itu segera dilakukan karena merujuk pada letak geografis Kota Bekasi tak jauh dari laut dengan tingkat kemiringan mencapai 2 derajat atau cenderung datar, adapun titik terendah berada di wilayah Pondok Ungu Permai (PUP) Kecamatan Bekasi Utara yaitu 4 meter di atas permukaan laut.
Sehigga, kata dia, sebelum adanya kebijakan dengan membuat dan mengeluarkan Perwal (Peraturan Pemerintah) tersebut, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait harus melakukan penelitian di letak geografis Bekasi."Ini langkah antisipasi penurunan permukaan tanah. Apalagi Kota Bekasi berpotensi seperti Jakarta," katanya.
Bekasi Mengalami Kemiringan 0.5 DPL
Perlu diketahui, kondisi struktur wilayah Kota Bekasi mengalami kemiringan 0.5 derajat di atas permukaan laut. Akibat kemiringan itu menyebabkan banjir di wilayahnya. Kondisi itu terjadi apabila kondisi curah hujan tinggi mengguyur Bekasi. Sehingga, tingkat kemiringan itu membuat arus air menjadi lambat.
Selain itu, tidak sesuai antara besarnya curah hujan dengan besarnya aliran air. Tingkat kemiringan itu berada di daerah Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna dan daerah Kelurahan Kaliabang, Kecamatan Bekasi Utara. Kontur tanah diwilayah itu memiliki kemiringam 4.4 derajat diatas permukaan laut.
Rahmat berpendapat, dengan tingkat kemiringan itu, bila curah hujan tinggi diwilayah yang berdekatan dengan laut,maka wilayah itu dipastikan kebanjiran. Bahkan, kemiringan itu akan terus mengalami penurunan apabila tidak segera dilakukan tindakan."Pemaikaian air bawah tanah juga perlu kami awasi," ucapnya.
Selain itu, antispasi dilakukan untuk menghindari ancaman turunnya permukaan tanah. Untuk itu, Kota dengan sebutan barang dan jasa itu mulai mengantisipasinya dengan membuat kebijakan dan program.
Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) Kota Bekasi, Arief Maulana mengatakan, kebijakan itu perlu segera dibuat agar pemerintah bisa mengantisipasi menyusutnya tanah dan cadangan air tanah Bekasi."Kita sedang lakukan kajian, secepatnya kebijakan itu diberlakukan," kata Arief pada Minggu, 3 Februari 2019 kemarin.
Saat ini, kata dia, kebijakan drainase vertikal akan mulai diterapkan di lingkungan pemerintahan, kemudian area komersil, lalu merembet ke lingkungan masyarakat sampai ke rumah-rumah warga."Kami awali di pemerintahan, lalu diterapkan di permukiman warga, maupun nantinya disetiap semua bangunan di Bekasi," ujarnya.
Dalam rencana kajiannya, drainase vertikal atau sumur resapan yang itu berdiameter mulai 15 sentimeter, dengan kedalaman mulai tiga meter. Drainase vertikal ini merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 12 tahun 2014 tentang penyelenggaraan sistem drainase perkotaan.
Arief menjelaskan, setiap pembangunan yang masif, memang berimbas dengan menyusutnya cadangan air dan secara tidak langsung kondisi tanah sekitarnya akan terpengaruh dan turun. Untuk itu, pemerintah harus mulai mengantisipasinya dengan mengeluarkan kebijakan drainase vertikal dan program lainya.
Salah satu program yang terus dilakukan pemerintah hingga kini dengan pembuatan sejuta sumur resapan untuk menampung air hujan agar meresap ke dalam tanah. Sehingga, sudah saatnya kelebihan air tidak dibuang ke laut. Apalagi, program sejuta sumur digalakan pemerintah sejak beberapa tahun terakhir.
Arief mencontohkan, persoalan menyusutnya air tanah mengancam penurunan muka tanah itu terjadi di DKI Jakarta. Di Ibu Kota setiap tahun penurunan permukaan tanahnya mencapai 12 sentimeter. Jika tidak diantisipasi, Bekasi bisa jadi seperti Jakarta mengingat pembangunan cukup masif seiring terus berkembang wilayahnya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah menginisiasi dengan cara menampung air hujan yang selama ini membanjiri permukiman warga. Sejauh ini, air hujan dialirkan menuju saluran sekunder hingga saluran primer lalu dibuang ke laut. Meski demikian, air yang ditampung masih sedikit melalui beberapa polder air.
Kota Bekasi saat ini baru memiliki belasan polder air yang dibangun sejak lima tahun lalu. Sejumlah tempat penampungan air itu di antaranya Polder Pengasinan (Rawalumbu), Arenjaya (Bekasi Timur), Danita (Bekasi Timur), VIP (Bekasi Utara), Rawapasung (Medansatria), IKIP (Jatiasih), Nasio (Jatiasih) dan disekitar Galaxi (Bekasi Selatan).
Kemudian ada polder air yang disiapkan di Bendung Koja (Jatiasih) yang mana lokasinya berada di perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor, lalu Kalimati (Bekasi Timur), Kalibaru (Bekasi Barat). Selain yang sudah ada, kata dia, pemerintah juga akan membangun polder di Ciketing Udik (Bantargebang).
Arief menambahkan, selama ini pembangunan polder di Kota Bekasi kerap terkendala keterbatasan lahan. Sebab, lahan yang dibutuhkan cukup luas, minimal 1000 meter. Sedangkan, pengadaan lahan membutuhkan dana yang besar, karena itu sejauh ini memanfaatkan lahan fasilitas sosial dan umum.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan, sejauh ini pemerintah daerah belum melakukan penelitian terhadap penurunan permukaan tanah di Kota Bekasi. "Memang harus dilakukan kajian soal ini, untuk mengantisipasi akibat gencarnya pembangunan di Bekasi. Salah satunya kebijakan pembuatan drainase vertikal," katanya.
Menurutnya, kajian itu segera dilakukan karena merujuk pada letak geografis Kota Bekasi tak jauh dari laut dengan tingkat kemiringan mencapai 2 derajat atau cenderung datar, adapun titik terendah berada di wilayah Pondok Ungu Permai (PUP) Kecamatan Bekasi Utara yaitu 4 meter di atas permukaan laut.
Sehigga, kata dia, sebelum adanya kebijakan dengan membuat dan mengeluarkan Perwal (Peraturan Pemerintah) tersebut, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait harus melakukan penelitian di letak geografis Bekasi."Ini langkah antisipasi penurunan permukaan tanah. Apalagi Kota Bekasi berpotensi seperti Jakarta," katanya.
Bekasi Mengalami Kemiringan 0.5 DPL
Perlu diketahui, kondisi struktur wilayah Kota Bekasi mengalami kemiringan 0.5 derajat di atas permukaan laut. Akibat kemiringan itu menyebabkan banjir di wilayahnya. Kondisi itu terjadi apabila kondisi curah hujan tinggi mengguyur Bekasi. Sehingga, tingkat kemiringan itu membuat arus air menjadi lambat.
Selain itu, tidak sesuai antara besarnya curah hujan dengan besarnya aliran air. Tingkat kemiringan itu berada di daerah Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna dan daerah Kelurahan Kaliabang, Kecamatan Bekasi Utara. Kontur tanah diwilayah itu memiliki kemiringam 4.4 derajat diatas permukaan laut.
Rahmat berpendapat, dengan tingkat kemiringan itu, bila curah hujan tinggi diwilayah yang berdekatan dengan laut,maka wilayah itu dipastikan kebanjiran. Bahkan, kemiringan itu akan terus mengalami penurunan apabila tidak segera dilakukan tindakan."Pemaikaian air bawah tanah juga perlu kami awasi," ucapnya.
(whb)