6.000 Kepala Keluarga di Bekasi Masih BAB di Sungai
A
A
A
BEKASI - Sebanyak 6.000 kepala rumah tangga di Kota Bekasi masih buang air besar (BAB) di sungai melalui jamban. Kondisi ini hampir terjadi di 50 kelurahan se-Kota Bekasi. Ironisnya, pemerintah daerah hanya diam dan tidak memfasilitasinya.
Kabid Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Fevi Herawati mengatakan, hanya enam kelurahan yang dinyatakan tidak BAB sembarangan atau menerapkan sistem open defection free (ODF). "Untuk enam kelurahan itu sekarang menerapkan pola hidup sehat dengan membuang feses lewat septic tank," kata Fevi kepada wartawan Senin (21/1/2019).
Adapun enam kelurahan yang menerapkan sistem ODF adalah Kelurahan Jatibening, Kotabaru, Jatikarya, Bojong Rawalumbu, Arenjaya dan Pengasinan. Satu kelurahan yang belum menarapkan ODF adalah Margahayu di Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Di sana ada 205 KK yang belum memiliki septic tank untuk menampung feses.
Sehingga, kata dia, mereka membuang kotorannya ke kali belakang rumahnya lewat jamban. Menurut dia, penyebab utama gaya hidup masyarakat seperti ini karena minimnya perekonomian dan pengetahuan mereka. Mereka terlalu mudah mengandalkan kali yang ada di dekat rumahnya, sehingga enggan membangun septic tank.
"Pola hidup seperti ini bisa mengakibatkan pencemaran lingkungan salah satunya kualitas air dan memudahkan penularan penyakit lewat serangga lalat," ungkapnya.
Pemkot Bekasi mencatat ada 20 meter kubik feses manusia yang dihasilkan masyarakat setempat. Pemerintah kemudian mewajibkan seluruh warganya, baik perseorangan dan perusahaan properti memiliki pengolahan air limbah domestik sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal ini bertujuan agar kualitas air tanah dan air permukaan tetap terjaga.
Pemerintah juga telah membuat payung hukum untuk mengatur penyedotan limbah domestik yang tertuang di dalam Peraturan Daerah Nomor 09/2018 tentang Retribusi Daerah. Aturan itu menjabarkan klasifikasi tarif berdasarkan dengan tipe rumah tinggal mereka.
Untuk rumah tinggal bertipe subsidi (Perumnas) pemerintah menetapkan tarif sebesar Rp50.000 per meter kubik, perumahan menengah sebesar Rp70.000 per meter kubik, serta real estate sebesar Rp100.000 per meter kubik. Sedangkan untuk bangunan seperti asrama, kantor, lembaga pendidikan, dikenakan tarif sebesar Rp75.000 per meter kubik.
Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Tanti Rohilawati menambahkan, sebetulnya di tingkat Jawa Barat daerah Kota Bekasi masuk peringkat kedua dengan kategori memiliki akses terhadap jamban sehat."Jamban sehat itu dilihat dari akses masyarakat terhadap ketersediaan jamban," katanya.
Saat ini, lanjut dia, Kota Bekasi sudah mencapai 98% warganya mempunyai akses terhadap jamban sehat. Hanya 2 persen atau sekitar 6.000 KK yang belum mempunyai jamban sehat. Apalagi, lembaganya telah mendukung progam Geser si Jahat (Gerakan Seribu Rupiah Siapkan Jamban Sehat).
Kabid Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Fevi Herawati mengatakan, hanya enam kelurahan yang dinyatakan tidak BAB sembarangan atau menerapkan sistem open defection free (ODF). "Untuk enam kelurahan itu sekarang menerapkan pola hidup sehat dengan membuang feses lewat septic tank," kata Fevi kepada wartawan Senin (21/1/2019).
Adapun enam kelurahan yang menerapkan sistem ODF adalah Kelurahan Jatibening, Kotabaru, Jatikarya, Bojong Rawalumbu, Arenjaya dan Pengasinan. Satu kelurahan yang belum menarapkan ODF adalah Margahayu di Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Di sana ada 205 KK yang belum memiliki septic tank untuk menampung feses.
Sehingga, kata dia, mereka membuang kotorannya ke kali belakang rumahnya lewat jamban. Menurut dia, penyebab utama gaya hidup masyarakat seperti ini karena minimnya perekonomian dan pengetahuan mereka. Mereka terlalu mudah mengandalkan kali yang ada di dekat rumahnya, sehingga enggan membangun septic tank.
"Pola hidup seperti ini bisa mengakibatkan pencemaran lingkungan salah satunya kualitas air dan memudahkan penularan penyakit lewat serangga lalat," ungkapnya.
Pemkot Bekasi mencatat ada 20 meter kubik feses manusia yang dihasilkan masyarakat setempat. Pemerintah kemudian mewajibkan seluruh warganya, baik perseorangan dan perusahaan properti memiliki pengolahan air limbah domestik sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal ini bertujuan agar kualitas air tanah dan air permukaan tetap terjaga.
Pemerintah juga telah membuat payung hukum untuk mengatur penyedotan limbah domestik yang tertuang di dalam Peraturan Daerah Nomor 09/2018 tentang Retribusi Daerah. Aturan itu menjabarkan klasifikasi tarif berdasarkan dengan tipe rumah tinggal mereka.
Untuk rumah tinggal bertipe subsidi (Perumnas) pemerintah menetapkan tarif sebesar Rp50.000 per meter kubik, perumahan menengah sebesar Rp70.000 per meter kubik, serta real estate sebesar Rp100.000 per meter kubik. Sedangkan untuk bangunan seperti asrama, kantor, lembaga pendidikan, dikenakan tarif sebesar Rp75.000 per meter kubik.
Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Tanti Rohilawati menambahkan, sebetulnya di tingkat Jawa Barat daerah Kota Bekasi masuk peringkat kedua dengan kategori memiliki akses terhadap jamban sehat."Jamban sehat itu dilihat dari akses masyarakat terhadap ketersediaan jamban," katanya.
Saat ini, lanjut dia, Kota Bekasi sudah mencapai 98% warganya mempunyai akses terhadap jamban sehat. Hanya 2 persen atau sekitar 6.000 KK yang belum mempunyai jamban sehat. Apalagi, lembaganya telah mendukung progam Geser si Jahat (Gerakan Seribu Rupiah Siapkan Jamban Sehat).
(whb)