DKI Pilih Naturalisasi Sungai Ketimbang Estetika

Rabu, 12 September 2018 - 23:35 WIB
DKI Pilih Naturalisasi Sungai Ketimbang Estetika
DKI Pilih Naturalisasi Sungai Ketimbang Estetika
A A A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memilih untuk mengembalikan fungsi sungai yang alamiah ketimbang mempercantik estetika. Sungai alami terindikasi dari hidupnya satwa di sekitar sungai.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, kondisi kualitas air sungai di Jakarta sejak 2014 sampai 2017 memang mengalami perubahan cukup signifikan. Dimana, sungai yang tercemar ringan dari 23% turun menjadi 12%. Sungai yang tercemar sedang turun dari 44% pada 2014 menjadi 17 persen di tahun 2017. Namun, dari tercemar berat 32% naik menjadi 61%.

"Jadi yang sedang dan ringan itu menjadi berat, bukan turun lalu hilang. Jadi selama 2014, 2015, 2017, kita mengalami peningkatan sungai yang mnegalami pencemaran berat," kata Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (12/9/2018).

Anies menjelaskan, saat ini pihaknya tengah menyusun dan menyiapkan roadmap untuk segera mengembalikan sungai ke kondisi sebelumnya. Sebab, proses pencemaran terjadi dalam waktu yang cukup singkat dan itulah pekerjaan rumah sesungguhnya.

Artinya, lanjut Anies, pembersihan sungai bukan sekedar soal estetika, nampak indah. Untuk itu yang akan dilakukan adalah membangun sungai sehingga menjadi ekosistem yang alamiah. Sehingga, nantinya sungai akan bisa menjadi kehidupan para satwa.

"Itu adalah indikasi paling sederhana. Kalau satwa bisa berada di sungai artinya sungai itu sehat, bersih. nah itulah yang disebut sebagai sungai yang alamiah,sungai yang natural. Kita akan dorong kesana," pungkasnya.

Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Ali Maulana menuturkan, berdasarkan trend kualitas sungai dari 2014-2017 memperlihatkan tercemar berat mulai dari hulu (Bogor, Depok, Tangerang).

Permasalahannya, kata Ali, banyak air limbah rumah tangga dibuang secara langsung maupun tidak langsung ke badan air. Kemudian, mandi dan cuci juga langsung di buang ke badan air tanpa diolah.

"Tinja/kakus diolah ke septictank yang belum memadai ataupun langsung dibuang ke badan air," ungkapnya.

Adapun upaya yang dilakukan dinas lingkungan hidup, lanjut Ali, yaitu memantau 90 titik sungai dengan frekuensi 4 kali selama 1 tahun. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat/komunitas, peningkatan sanitasi lingkungan (pembangunan IPAL komunal). Kemudian melakukan pengawasan terhadap 1.542 kegiatan dan atau usaha dengan frekuensi 4 kali setahun pada 2017.

Hasil dari pengawasan yaitu pemenuhan baku mutu air limbah sebanyak 1.045 kegiatan usaha atau 67,8%. Tidak memenuhi baku mutu air limbag sebanyak 497 kegiatan (32,2%). Total ssusoended solid 23,4%, ammonia 55,8%, BOD sebesar 14,7% dan COD 17,1%.

"Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah merelokasi penduduk di daerah sempadan sungai dan relokasi pengelolaan air limbah untuk industri kecil," tegasnya.

Sementara itu, Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga menegaskan, penataan sungai yang dilakukan saat ini adalah betonisasi sungai, bukan naturalisasi.

"Naturalisasi seluruh sungai dan anak sungai, bukan betonisasi. Menata dengan kontruksi ramah lingkungan, dan itu sudah banyak diterapkan di kota-kota dunia," ungkapnya.

Ada tiga permasalahan mendasar dalam membersihkan kali. Pertama, Industri rumah tangga seperti pembuatan tahu, cuci jeans harus memiliki ipal dan dilarang keras mbuang air limbah ke sungai. Menurutnya, harus ada sanksi tegas mulai dari penyegelan bahkan penutupan pabrik.

Kedua, Pemprov DKI sudah harus membuat saluran air limbah tersendiri dan ipal kota sehingga tidak ada lagi pembuangan limbah rumah tangga langsung ke saluran air kota atau sungai. Terakhir, Penataan ulang bangunan dan fungsi peruntukan lahan apa yang boleh di spanjang sungai. "Tanpa ke 3 hal itu sebanyak apa pun kali dibersihkan tidak akan pernah bhasil," tegasnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6863 seconds (0.1#10.140)