Memaksimalkan Bangunan Bersejarah dengan Menyulap Venue

Minggu, 01 April 2018 - 09:44 WIB
Memaksimalkan Bangunan Bersejarah dengan Menyulap Venue
Memaksimalkan Bangunan Bersejarah dengan Menyulap Venue
A A A
JAKARTA - Indonesia terkhusus ibu kota Jakarta memiliki begitu banyak bangunan tua bernilai sejarah tinggi. Meski begitu, kenyataan banyak bangunan tersebut seperti tidak dimaksimalkan pemanfaatannya, bahkan cenderung tidak dijaga dan dirawat dengan baik.

Revitalisasi terhadap berbagai bangunan tua bernilai sejarah tinggi tentu mutlak dilakukan. Tidak hanya mengedepankan aspek sejarah dan keunikan arsitektur, salah satunya juga bagaimana mampu menyulapnya sebagai venue seni pertunjukan yang menghadirkan berbagai event besar, bahkan bila perlu mendatangkan para pesohor dunia.

Anas Syahrul Alimi, CEO Rajawali Indonesia Communications (RIC), yang telah banyak memanggungkan artis dan musisi baik dalam maupun luar negeri mengatakan, apabila bangunan-bangunan tua itu direvitalisasi tentunya akan memiliki nilai ekonomi tinggi, baik sebagai tempat wisata, budaya, sejarah, maupun tempat menggelar berbagai seni pertunjukan.

Anas mencontohkan, kehadiran maestro dunia David Foster yang menggelar konser di Indonesia beberapa waktu lalu, cukup menjadi sorotan. Bukan hanya soal nama besar David Foster, tapi di mana salah satu tempat konser yang dipakai adalah bekas pabrik gula yang melegenda di Karanganyar, Jawa Tengah, yakni Colomadu.

Bangunan bernilai sejarah yang didirikan pada masa Kerajaan Mangkunegaran IV, pada 1861 itu, kini telah disulap sebagai tempat seni pertunjukan. David Foster, sang hits maker yang telah 16 kali meraih trofi Grammy Awards, sempat tergoda hatinya dengan pesona tempat yang kini bernama De Tjolomadoe tersebut. Bahkan, tempat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton.

“Bahkan, dari 2.650 tiket yang kami sediakan untuk konser David Foster di sana sold out ,” ujar Anas Syahrul Alimi, promotor musik sekaligus event consultant pertunjukan David Foster and Friends di De Tjolomadoe, lewat pesan yang diterima KORAN SINDO belum lama ini.

Melihat peluang ataupun potensi ini, pria kelahiran Sidoarjo, 16 September 1976, ini pun berharap konsep tempat konser atau pertunjukan yang memakai bangunan sejarah atau peninggalan Belanda bisa dilakukan juga di Jakarta.

“Tentunya dengan adanya beberapa venue pertunjukan dengan kekuatan nilai heritage serta dikelola secara profesional akan menjadi kekuatan dan daya tarik bagi wisatawan asing dan lokal ke Jakarta,” kata pria yang mengoleksi sejumlah lukisan karya pelukis ternama Joko Pekik dan Agus Suwage ini.

Alumnus Fakultas Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini berpendapat, terkhusus di Jakarta memiliki banyak sekali bangunan bernilai sejarah yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat per tunjukan.

Menurut penggagas Prambanan Jazz Festival dan Jog jaROCKarta ini, nilai heritage sebuah bangunan tua dapat menjadi daya tarik tersendiri ketika nantinya dipakai menjadi tempat pertunjukan. “Kita pun berharap adanya sinergi yang baik antara beberapa pihak terkait.

Misalnya dengan pihak pengelola cagar budaya, bahkan bisa saja dengan UNESCO, kalau memang bangunan itu masuk yang sudah berkategori warisan dunia,“ tandas Anas. Sejauh ini, kata Anas, di Jakarta masih sangat minim ditemukan venue seni pertunjukan bernilai heritage .

Padahal, potensi untuk mengelola bangunan-bangunan tua peninggalan zaman kolonial Belanda itu sangat banyak dan tersebar di Jakarta. “Seharusnya Jakarta juga bisa mengelola bangunan tua sebagaimana halnya revitalisasi yang sudah dilakukan oleh De Tjolomadoe,” sambung Anas.

Pada Oktober 2017, Anas sempat menggagas penyelenggaraan acara Jogja ROC Karta dengan berlatarkan Candi Prambanan. Namun, penyelenggaraan itu pupus karena muncul polemik di tengah masyarakat dan belum ada aturan baku terkait gelaran konser di cagar budaya.

Padahal, menurut Anas, kawasan wisata Candi Prambanan dan Borobudur juga bisa dibuat setara situs peninggalan sejarah asing, seperti Acropolis, Pompeii, atau Royal Abert Hall. Caranya dengan membangun amphitheatre di sana.

“Ruang terbuka yang biasa digunakan untuk tampil itu akan membuat eksotisme Prambanan dan Borobudur semakin jadi daya tarik dunia internasional, termasuk pencinta seni pertunjukan. Membangun amphitheatre itu hal yang sangat mungkin untuk dilakukan. Tinggal bagaimana merancang sinerginya saja,” katanya.

Amphitheatre itu, saran Anas, bisa dibangun di kawasan ring dua candi. Dengan demikian, masih berjarak 200-300 meter dari kawasan utama situs warisan dunia tersebut. “Posisinya mungkin berada di dekat panggung Ramayana hingga kawasan hutan pinus di dekat candi.

Dari sana pemandangan dengan latar candi Prambanan masih tetap menarik. Ini akan jadi daya pikat bagi para penonton sekaligus para artis yang akan tampil di sana,” ungkapnya. Pria yang sukses memanggungkan musisi dunia Rick Price yang konser bersama Kahitna ini pun membayangkan, amphitheatre yang akan dibangun tidak asal dibuat.

Namun, harus mempertimbangkan berbagai aspek, salah satunya daya tampungnya harus besar, sekitar 10.000 penonton. Dengan kapasitas yang besar, selain bisa mendorong pemasukan bagi pengelola candi dari PT Taman Wisata Candi (TWC), itu juga sesuai cita-cita Joko Widodo untuk menggeliatkan sektor pariwisata sebagai penggerak ekonomi di daerah.

Anas mencontohkan, gedung pertunjukan Royal Albert Hall di utara Kota Westminster, London, Inggris. Ruang pentas yang diresmikan Ratu Victoria, pada 1871 ini memiliki kapasitas hingga 5.272 kursi. Nilai sejarahnya pun dikuatkan budaya pop.

Tak hanya itu, bangunan tua Pompeii yang berdiri kukuh di dekat Kota Napoli, Italia, juga pernah dibuat lokasi tampilnya band terkenal Pink Floyd. Penampilan band ini di kota peninggalan zaman Romawi Kuno yang sempat hilang selama 1.600 tahun akibat letusan Gunung Vesuvius, pada 79 Masehi, itu pun bahkan difilmkan.

“Musisi Yanni di Acropolis, Athena, Yunani, juga pernah melakukan hal yang sama. Nah, harusnya Prambanan dan Borobudur bisa melakukan hal serupa seperti di Acropolis, Pompeii, atau Royal Abert Hall. Tinggal political will saja untuk mewujudkannya,” ucap Founder dan CEO ArchPolitica.

Menggeliatkan Balai Budaya Jakarta
Sunyinya sebuah pameran dan gedung-gedung seni karena kurangnya kepedulian masyarakat untuk menggerakkan kecintaan pada seni budaya adalah sebuah sinyal kemunduran peradaban. Kegiatan kebudayaan diyakini mampu mengembalikan pintu peradaban Indonesia, khususnya Kota Jakarta yang lebih bermartabat.

“Apa pun yang terjadi, Jakarta harus tetap bertahan sebagai kota yang berbudaya dan kaya nilai luhur. Itu untuk mengantisipasi dekadensi budaya yang lebih parah. Kesenian itu salah satu pintu peradaban bangsa dan ini tentunya harus terus dikembangkan,” kata Budayawan Ridwan Saidi, dalam suatu kesempatan pameran seni rupa di Balai Budaya Jakarta.

Menyoroti keberadaan gedung Balai Budaya Jakarta yang belakangan mulai menggeliat kembali, Ridwan menyatakan apresiasinya. Di sisi lain, keberpihakan pemerintah terhadap pemeliharaan gedung, situs-situs seni, dan budaya asli bangsa masih sangat minim, bahkan tak jarang terjadi penggusuran sejumlah situs bersejarah demi memenuhi hasrat semu segelintir orang.

“Padahal, dengan dipeliharanya objek-objek seni dan budaya, para generasi penerus dapat mempelajari nilai-nilai kasih sayang dan persatuan dari para leluhur kita sehingga mereka lebih mencintai dan bangga terhadap bangsanya sendiri,” ujar Ridwan.

Seniman lukis Syahnaga Ismail menyatakan, Jakarta sebagai kota metropolitan sekaligus ibu kota negara memerlukan tempat seni dan tempat berkebudayaan untuk menyatukan visi misi dari perkembangan peradaban dunia.

Dalam pandangannya, Jakarta memerlukan tempat yang bukan saja berupa gedung atau sekadar proyek mercusuar yang memuaskan segelintir orang, tapi juga tata kelola yang diciptakan oleh para seniman. “Oleh karena itu, Balai Budaya Jakarta akan terus bergerak tumbuh bersama seniman dan masyarakat dalam menciptakan kehidupan seni yang murni, membangun kekuatan kebudayaan yang sejatinya harus menjadi jati diri bangsa,” ujarnya.

Tetap Eksis walau Tak Ada Dana
Di luar komunitas seniman, bisa dipastikan tak banyak masyarakat awam yang mengenal apa itu Balai Budaya Jakarta, yang dulunya dikelola Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Padahal, dari galeri sederhana ini sudah ratusan seniman dibesarkan. Di sini pula cikal bakal pergerakan seni budaya nasional berawal, termasuk Manifesto Kebudayaan 1963, dicetuskan di sini.

Balai Budaya menjadi saksi bisu kiprah seniman Tanah Air dalam berkarya. Seniman-seniman ter na - ma, seperti Affandi, Soedjojono, serta WS Rendra, mengawali karier dari sini. Bahkan, tepat di sayap kiri ge dung ini, dulu majalah sastra Horison yang dikelola Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri pernah berkantor.

Pelukis legendaris Nashar juga pernah tinggal di sayap kanan ge dung ini, termasuk buda ya wan Rid wan Saidi juga sempat nong krong di sini. Penulis, musikus, dan bu dayawan Remy Silado pernah pula ber pentas di Balai Budaya, sekitar 1972.

Setelah berpuluh tahun tak terurus dan bangunannya lapuk dimakan usia, pada 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sempat berencana membangun kembali gedung Balai Budaya. Itu pun setelah sejarah gedung bersejarah ini terungkap seiring penemuan sejumlah dokumen bersejarah di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.

Seniman perupa Cak Kandar, yang sekarang ini dipercaya sebagai Ketua Pengelola Balai Budaya mengatakan, dengan penemuan data-data sejarah Balai Budaya, maka status kepemilikan dan sejarah Balai Budaya semakin jelas. Dengan demikian, nantinya pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib Balai Budaya ke depan. Terlebih, saat ini kondisi Balai Budaya sangat memprihatinkan karena bangunannya yang sudah tua.

Dua tahun yang lalu, ujar Cak Kandar, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI sempat mau menggelontorkan dana sebesar Rp15 miliar untuk pembangunan Gedung Balai Budaya. Namun, karena status kepemilikannya dalam hal ini sertifikat tanah gedung Balai Budaya yang tidak diketahui rimbanya, alhasil dana tersebut dikembalikan ke kas Pemprov DKI dan sampai sekarang revitalisasi gedung Balai Budaya masih sebatas rencana.

Kendati begitu, dengan segala keterbatasan bangunan ini tetap difungsikan sebagai tempat pameran sekaligus wahana pertemuan para seniman. Bahkan, setelah puluhan tahun tertidur dan sempat seperti rumah hantu, gedung Balai Budaya Jakarta kini mulai berdenyut kembali.

Pasca renovasi kecil-kecilan hasil dari urunan sejumlah seniman terutama seniman-seniman senior yang peduli, gedung tua di Jalan Gereja Theresia 47, Menteng, Jakarta Pusat, ini mulai rutin menggelar kegiatan, terutama pameran seni rupa. “Tapi ya itu, karena memang tak ada dananya, saya bersama sejumlah seniman yang peduli, berinisiatif menanggung biaya operasional Balai Budaya.

Kondisi seperti ini sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Sementara sekarang ini setiap bulannya butuh dana sekitar Rp3 juta. Itu pun hanya untuk membayar tagihan listrik, belum untuk biaya operasional lainnya, seperti kebersihan, tagihan air, dan banyak lagi, termasuk membayar orang yang menjaga gedung ini,” katanya. (Thomasmanggalla/ Hendri Irawan)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4218 seconds (0.1#10.140)