Mengintip Kampung Penadah Air Hujan di Jakarta
A
A
A
JAKARTA - Musim hujan menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar warga Jakarta karena banjir kerap kali datang melumpuhkan ekonomi Jakarta. Namun hal itu tak berlaku di kawasan perkampungan Kamal Muara, Jakarta Utara.
Hujan yang turun menjadi berkah, dan hujan menjadi sesuatu yang sangat ditunggu. Pasalnya, air hujan dapat dimanfaatkan ratusan warga yang tinggal di tempat untuk mencuci, mandi, hingga untuk minum.
Pantauan SINDOnews, sebanyak 700 rumah di kawasan ini masing-masing memiliki gentong berukuran 200 liter. Gentong-gentong yang berjejer didepan dan belakang rumah ini menjadi wadah untuk menampung air hujan. Semakin hujan turun kian deras, warga makin bahagia.
Tetesan air hujan yang di jatuh ke asbes dan genteng-genteng kemudian dialiri ke talang talang air. Talang-talang itu kemudian masuk ke dalam gentong yang telah lebih dahulu disaring oleh filter-filter buatan warga.
“Fungsi filter ini agar debu dan kotoran tak langsung masuk ke gentong,” ungkap Junaedi (45) warga RT 05/04, Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Selasa, 27 Maret 2018. Letak rumah Junaedi hanya kurang dari 20 meter dari tanggul yang memisahkan antara daratan dan lautan.
Rumah itu berbentuk panggung dengan terbuat dari kayu. Cukup nyaman menampung dirinya dan empat orang anggota keluarga. Bagi Junaedi menampung hujan bukan hal tabu, sejak direlokasi pada 1998 silam, Junaedi dan sejumlah warga suka menampung air hujan.
Air itu digunakan untuk mencuci pakaian, mandi, hingga minum. Di rumah Junaedi sendiri terdapat empat gantong kapasitas besar, memanfaatkan talang dari bambu air kemudian dialirkan ke gentong di depan dan belakang rumah.
Air itu memang tak banyak, hanya mampu menghidupi kebutuhan air bersih selama 2-3 hari saja.“Yah kalo lagi deres, gentong kami banyak, cukup untuk kebutuhan 5-6 hari,” katanya.
Hal serupa juga dikatakan Hera (35). Hujan kerap kali menjadi berkah tersendiri, ketika musim hujan datang dengan intensitas tinggi, dirinya dan keluarga tak takut kehabisan air. Anak-anak tak lagi dibatasi mandi, termasuk mencuci pakaian semaunya.
Ibu dua anak ini, mengaku memiliki tujuh gentong yang tersimpan disekeliling rumah. Empat di belakang, dua di depan, dan masing masing di sisi kiri dan kanan rumah. Berbeda dengan rumah Junaedi yang talangnya sangat tradisional, rumah Hera terlihat lebih modern, seluruh rumah terkeliling oleh talang talang besar yang dibelinya. Talang itu kemudian menjadi aliran sebelum ke gentong.
Bila Junaedi mengandalkan serat serat bambu, talang di rumah Hera mengandalkan dari filter-filter saringan makanan. Saringan inipun dibersihkan setiap dua minggu sekali demi memastikan air yang tertampung di gentong tetap bersih dan steril.
“Kan genteng dan asbes kerap kali kotor, airnya kemudian membawa ke gentong, dan membuat kotor,” kata Hera.
Air Payau
Baik Junaedi, Hera, dan warga lainnya bukan tanpa upaya meminta air bersih ke pemerintah. Sejak dipercaya menjadi anggota dewan kelurahan (LMK), Junaedi kerapa kali meminta perusahaan air, seperti Palyja hingga PAM Jaya untuk mengaliri air bersih ke kawasan ini. Termasuk bekerja sama dengan lembaga kemanusian nasional dan internasional. Junaedi mengakui upaya sudah dilakukan.
“Dulu pernah mencoba membuat sumur bor. Di bor sampai 120 meter, air ada tapi jumlah sedikit, perhitungan kami hanya 2-3 kubik air sebulan,” kata Junaedi yang mengatakan jumlah itu tak cukup memenuhi kebutuhan warga.
Beberapa upaya lain juga sempat dilakukan oleh warga, upaya pengeboran dilakukan di sebagian rumah dan masjid. Namun tetap air yang keluar merupakan air payau dan air asin. Bila digunakan untuk mencuci akan merusak baju, mandi membuat kulit kering, dan tidak mungkin untuk makan.
Manakala musim kemarau datang, warga kemudian membeli air dari pebisnis pebisnis air di sekitar kawasan tersebut. Air tersebut dihargai Rp20.000 per gerobak, dan air minum dihargai Rp4.000 per jeriken kapasitas 20 liter. “Yang gerobak digunakan untuk mandi dan cuci dan jeriken untuk masak dan minum,” ucapnya.
Direktur Utama PAM Jaya, Erlan Hidayat membenarkan kondisi di Kamal Muara masih sulit mendapatkan air bersih. “Tegal Alur, Cengkareng, Kamal Muara, Pegadungan, Daan Mogot dan sekitarnya adalah daerah low supply. Artinya selain tidak cukup airnya, jaringan pipanya pun belum memadai,” ucap Erlan ketika dikonfirmasi.
Meski demikian, mengaliri air disitu, PAM Jaya tengah membangun Water Treatment Plan (WTP) di hutan kota Penjaringan untuk memaksimalkan transmisi dan distribusi ke wilayah bibir pantai.
Kini pembangunan itu pun tengah dilakukan oleh Jakpro dan tengah dikebut.
Dia yakin, dengan kondisi dan pembangunan maka pada 2019 bisa difungsikan secara bertahap di tempat tempat itu.“Jadi memang sudah diprogramkan untuk menambah air dan jaringanya,” ucapnya.
Hujan yang turun menjadi berkah, dan hujan menjadi sesuatu yang sangat ditunggu. Pasalnya, air hujan dapat dimanfaatkan ratusan warga yang tinggal di tempat untuk mencuci, mandi, hingga untuk minum.
Pantauan SINDOnews, sebanyak 700 rumah di kawasan ini masing-masing memiliki gentong berukuran 200 liter. Gentong-gentong yang berjejer didepan dan belakang rumah ini menjadi wadah untuk menampung air hujan. Semakin hujan turun kian deras, warga makin bahagia.
Tetesan air hujan yang di jatuh ke asbes dan genteng-genteng kemudian dialiri ke talang talang air. Talang-talang itu kemudian masuk ke dalam gentong yang telah lebih dahulu disaring oleh filter-filter buatan warga.
“Fungsi filter ini agar debu dan kotoran tak langsung masuk ke gentong,” ungkap Junaedi (45) warga RT 05/04, Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Selasa, 27 Maret 2018. Letak rumah Junaedi hanya kurang dari 20 meter dari tanggul yang memisahkan antara daratan dan lautan.
Rumah itu berbentuk panggung dengan terbuat dari kayu. Cukup nyaman menampung dirinya dan empat orang anggota keluarga. Bagi Junaedi menampung hujan bukan hal tabu, sejak direlokasi pada 1998 silam, Junaedi dan sejumlah warga suka menampung air hujan.
Air itu digunakan untuk mencuci pakaian, mandi, hingga minum. Di rumah Junaedi sendiri terdapat empat gantong kapasitas besar, memanfaatkan talang dari bambu air kemudian dialirkan ke gentong di depan dan belakang rumah.
Air itu memang tak banyak, hanya mampu menghidupi kebutuhan air bersih selama 2-3 hari saja.“Yah kalo lagi deres, gentong kami banyak, cukup untuk kebutuhan 5-6 hari,” katanya.
Hal serupa juga dikatakan Hera (35). Hujan kerap kali menjadi berkah tersendiri, ketika musim hujan datang dengan intensitas tinggi, dirinya dan keluarga tak takut kehabisan air. Anak-anak tak lagi dibatasi mandi, termasuk mencuci pakaian semaunya.
Ibu dua anak ini, mengaku memiliki tujuh gentong yang tersimpan disekeliling rumah. Empat di belakang, dua di depan, dan masing masing di sisi kiri dan kanan rumah. Berbeda dengan rumah Junaedi yang talangnya sangat tradisional, rumah Hera terlihat lebih modern, seluruh rumah terkeliling oleh talang talang besar yang dibelinya. Talang itu kemudian menjadi aliran sebelum ke gentong.
Bila Junaedi mengandalkan serat serat bambu, talang di rumah Hera mengandalkan dari filter-filter saringan makanan. Saringan inipun dibersihkan setiap dua minggu sekali demi memastikan air yang tertampung di gentong tetap bersih dan steril.
“Kan genteng dan asbes kerap kali kotor, airnya kemudian membawa ke gentong, dan membuat kotor,” kata Hera.
Air Payau
Baik Junaedi, Hera, dan warga lainnya bukan tanpa upaya meminta air bersih ke pemerintah. Sejak dipercaya menjadi anggota dewan kelurahan (LMK), Junaedi kerapa kali meminta perusahaan air, seperti Palyja hingga PAM Jaya untuk mengaliri air bersih ke kawasan ini. Termasuk bekerja sama dengan lembaga kemanusian nasional dan internasional. Junaedi mengakui upaya sudah dilakukan.
“Dulu pernah mencoba membuat sumur bor. Di bor sampai 120 meter, air ada tapi jumlah sedikit, perhitungan kami hanya 2-3 kubik air sebulan,” kata Junaedi yang mengatakan jumlah itu tak cukup memenuhi kebutuhan warga.
Beberapa upaya lain juga sempat dilakukan oleh warga, upaya pengeboran dilakukan di sebagian rumah dan masjid. Namun tetap air yang keluar merupakan air payau dan air asin. Bila digunakan untuk mencuci akan merusak baju, mandi membuat kulit kering, dan tidak mungkin untuk makan.
Manakala musim kemarau datang, warga kemudian membeli air dari pebisnis pebisnis air di sekitar kawasan tersebut. Air tersebut dihargai Rp20.000 per gerobak, dan air minum dihargai Rp4.000 per jeriken kapasitas 20 liter. “Yang gerobak digunakan untuk mandi dan cuci dan jeriken untuk masak dan minum,” ucapnya.
Direktur Utama PAM Jaya, Erlan Hidayat membenarkan kondisi di Kamal Muara masih sulit mendapatkan air bersih. “Tegal Alur, Cengkareng, Kamal Muara, Pegadungan, Daan Mogot dan sekitarnya adalah daerah low supply. Artinya selain tidak cukup airnya, jaringan pipanya pun belum memadai,” ucap Erlan ketika dikonfirmasi.
Meski demikian, mengaliri air disitu, PAM Jaya tengah membangun Water Treatment Plan (WTP) di hutan kota Penjaringan untuk memaksimalkan transmisi dan distribusi ke wilayah bibir pantai.
Kini pembangunan itu pun tengah dilakukan oleh Jakpro dan tengah dikebut.
Dia yakin, dengan kondisi dan pembangunan maka pada 2019 bisa difungsikan secara bertahap di tempat tempat itu.“Jadi memang sudah diprogramkan untuk menambah air dan jaringanya,” ucapnya.
(whb)