Bangun Ruang Publik, Anies Disarankan Tidak Tiru Cara Ahok
A
A
A
JAKARTA - Serapan APBD DKI Jakarta dalam lima tahun terakhir tergolong rendah. Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menyebutkan, serapan APBD DKI sejak 2013-2016 hanya berkisar 45%. Tahun ini serapan APBD diprediksi tidak lebih dari 86%.
Menurut Nirwono, rendahnya serapan ABPD sejak era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dikarenakan sumber pembiayaan pembangunan Jakarta mengandalkan dana bantuan corporate social responsibility (CSR) dan kompensasi lantai bangunan (KLB) perusahaan-perusahan di Ibu Kota.
Adapun untuk mendongkrak serapan ABPD, anggaran dimasukan dalam modal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga penyerapan naik hingga 65-70%. (Baca: Tahun Ini Serapan APBD DKI Diprediksi Tak Lebih dari 86%)
Di era Ahok hingga Djarot Saiful Hidayat, serapan ABPD lebih dominan dialokasikan untuk belanja tidak langsung (BTL), seperti gaji pegawai, bayar tagihan air, tagihan listrik, dan sebagainya. Sedangkan untuk pembiayaan belanja langsung, seperti pembangunan infrastruktur, Ahok lebih mengandalkan dana CSR dan KLB.
Hal inilah yang kemudian banyak dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA), rumah susun (rusun), dan pembangunan infrastruktur seperti jembatan Simpang Susun Semanggi (SSS). (Baca:Fokus di RPTRA, DKI Dinilai Tak Serius Menambah RTH)
Menurut Nirwono, cara seperti ini sebenarnya kurang efektif. Dengan menggunakan dana CSR dan KLB, pembangunan tidak akan berkelanjutan. Sebab perawatannya kerap diabaikan oleh perangkat daerah terkait, karena merasa tidak terlibat dalam pembangunannya. Apalagi sarana publik tersebut belum diserah terimakan menjadi aset DKI.
"Kalau menggunakan anggaran daerah (APBD) untuk pembangunan fasilitas publik, perangkat daerah merasa terlibat dan perawatanya berkelanjutan," ungkapnya ketika dihubungi Senin (18/12/2017).
Ia mencontohkan keberadaan RPTRA yang dibangun dari dana CSR, ketika ada masalah dalam perawatan, perangkat daerah terkait melempar tanggung jawab karena merasa bukan pihak yang membangunnya. (Baca: Ingin Jadikan Program Nasional, RPTRA Banyak Kendala)
"Dinas Bina Marga membanggakan Simpang Susun Semanggi (SSS) dengan (sumber) dana KLB, karena mereka tidak repot lelang, tinggal duduk dan akhirnya punya DKI. Tapi kalau ada masalah, mereka lempar," kata Nirwono.
Karena itu, Nirwono menyarankan agar penggunaan dana KLB dan CSR dievaluasi dan dimaksimalkan untuk kegiatan lain yang memang tidak tercover APBD dan menjadi pilihan terakhir. Adapun untuk fasilitas publik sebaiknya diserahkan ke perangkat daerah terkait.
Menurut Nirwono, rendahnya serapan ABPD sejak era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dikarenakan sumber pembiayaan pembangunan Jakarta mengandalkan dana bantuan corporate social responsibility (CSR) dan kompensasi lantai bangunan (KLB) perusahaan-perusahan di Ibu Kota.
Adapun untuk mendongkrak serapan ABPD, anggaran dimasukan dalam modal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga penyerapan naik hingga 65-70%. (Baca: Tahun Ini Serapan APBD DKI Diprediksi Tak Lebih dari 86%)
Di era Ahok hingga Djarot Saiful Hidayat, serapan ABPD lebih dominan dialokasikan untuk belanja tidak langsung (BTL), seperti gaji pegawai, bayar tagihan air, tagihan listrik, dan sebagainya. Sedangkan untuk pembiayaan belanja langsung, seperti pembangunan infrastruktur, Ahok lebih mengandalkan dana CSR dan KLB.
Hal inilah yang kemudian banyak dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA), rumah susun (rusun), dan pembangunan infrastruktur seperti jembatan Simpang Susun Semanggi (SSS). (Baca:Fokus di RPTRA, DKI Dinilai Tak Serius Menambah RTH)
Menurut Nirwono, cara seperti ini sebenarnya kurang efektif. Dengan menggunakan dana CSR dan KLB, pembangunan tidak akan berkelanjutan. Sebab perawatannya kerap diabaikan oleh perangkat daerah terkait, karena merasa tidak terlibat dalam pembangunannya. Apalagi sarana publik tersebut belum diserah terimakan menjadi aset DKI.
"Kalau menggunakan anggaran daerah (APBD) untuk pembangunan fasilitas publik, perangkat daerah merasa terlibat dan perawatanya berkelanjutan," ungkapnya ketika dihubungi Senin (18/12/2017).
Ia mencontohkan keberadaan RPTRA yang dibangun dari dana CSR, ketika ada masalah dalam perawatan, perangkat daerah terkait melempar tanggung jawab karena merasa bukan pihak yang membangunnya. (Baca: Ingin Jadikan Program Nasional, RPTRA Banyak Kendala)
"Dinas Bina Marga membanggakan Simpang Susun Semanggi (SSS) dengan (sumber) dana KLB, karena mereka tidak repot lelang, tinggal duduk dan akhirnya punya DKI. Tapi kalau ada masalah, mereka lempar," kata Nirwono.
Karena itu, Nirwono menyarankan agar penggunaan dana KLB dan CSR dievaluasi dan dimaksimalkan untuk kegiatan lain yang memang tidak tercover APBD dan menjadi pilihan terakhir. Adapun untuk fasilitas publik sebaiknya diserahkan ke perangkat daerah terkait.
(thm)