Cerita Sesepuh Kalijodo, dari Wisata Air ke Prostitusi
A
A
A
JAKARTA - Sebelum berkembang sebagai lokasi prostitusi, pada tahun 1950-an kawasan Kalijodo dulunya adalah lokasi wisata air. Untuk naik perahu wisata air di Kalijodo dikutip bayaran Rp20 perak.
Warga sekitar Kalijodo, Ceceng (67) menceritakan kalau dulunya Kalijodo merupakan kawasan wisata air. Kala itu, Banjir Kanal Barat yang saat ini berada di depan Kalijodo merupakan tempat wisata bagi pribumi dan etnis Tionghoa.
Mereka berwisata untuk menikmati perahu kayu sepanjang enam meter saat hari mulai sore dan malam hari. "Untuk masuknya bayar Rp20 perak, di tengah perahu ada gadis China yang bernyanyi gambang kromong dan bangunan kamar-kamar di atasnya," tuturnya kala menceritakan kawasan Kalijodo sekitar tahun 1950-an.
Kala itu, di kawasan itu terdapat seorang saudagar Cina kaya bernama Tjong Wie Pien yang memiliki puluhan kamar. Kamar itupun kerap digunakan sejumlah pria hidung belang untuk memuaskan nafsu syahwatnya melalui PSK yang mangkal di kawasan jalan Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat.
Kebanyakan PSK di Tubagus Angke, kata Ceceng, merupakan seorang janda-janda muda yang berasal dari warga sekitar. Namun seiring berkembangnya jaman, warga dari luar Jakarta berdatangan dan bermukim di kawasan itu.
Mereka yang datang kebanyakan merupakan gadis lugu yang kemudian di perjualbelikan untuk pemuas nafsu. "Itu terjadi sekitar tahun 80-an," jelasnya.
Sekitar tahun 90-an, barulah prostitusi di kawasan Kalijodo semakin berkembang pesat, hal ini mendorong rumah-rumah judi mulai berkembang. Sehingga arus PSK pun semakin tak terkendali. (Ahok Prediksi Penertiban Kalijodo Akan Berujung Bentrok)
Budayawan, Remi Silado Tambayong tak menampik dengan pernyataan Ceceng. Ia menambahkan banyak etnis Cina di kawasan itu bermula saat konflik antara Cina dan Monggolia muncul di tahun 1740. Kala itu, warga cina bermunculan di Indonesia termasuk di kawasan Kalijodo.
"Kala itu banyak warga cina (pria) menikah dengan warga pribumi. Sehingga banyak etnis keturunan yang bernyanyi di perahu itu," jelasnya. (Cerita FPI Ketika Bentrok Berdarah di Kalijodo)
Kondisi itupun pernah ia tuangkan dalam novel dengan judul Cabaokan yang kemudian di film beberapa tahun lalu. "Namun mereka (etnis tionghoa) kemudian pergi seiring masuknya kaum pribumi di kawasan itu," tutupnya.
Warga sekitar Kalijodo, Ceceng (67) menceritakan kalau dulunya Kalijodo merupakan kawasan wisata air. Kala itu, Banjir Kanal Barat yang saat ini berada di depan Kalijodo merupakan tempat wisata bagi pribumi dan etnis Tionghoa.
Mereka berwisata untuk menikmati perahu kayu sepanjang enam meter saat hari mulai sore dan malam hari. "Untuk masuknya bayar Rp20 perak, di tengah perahu ada gadis China yang bernyanyi gambang kromong dan bangunan kamar-kamar di atasnya," tuturnya kala menceritakan kawasan Kalijodo sekitar tahun 1950-an.
Kala itu, di kawasan itu terdapat seorang saudagar Cina kaya bernama Tjong Wie Pien yang memiliki puluhan kamar. Kamar itupun kerap digunakan sejumlah pria hidung belang untuk memuaskan nafsu syahwatnya melalui PSK yang mangkal di kawasan jalan Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat.
Kebanyakan PSK di Tubagus Angke, kata Ceceng, merupakan seorang janda-janda muda yang berasal dari warga sekitar. Namun seiring berkembangnya jaman, warga dari luar Jakarta berdatangan dan bermukim di kawasan itu.
Mereka yang datang kebanyakan merupakan gadis lugu yang kemudian di perjualbelikan untuk pemuas nafsu. "Itu terjadi sekitar tahun 80-an," jelasnya.
Sekitar tahun 90-an, barulah prostitusi di kawasan Kalijodo semakin berkembang pesat, hal ini mendorong rumah-rumah judi mulai berkembang. Sehingga arus PSK pun semakin tak terkendali. (Ahok Prediksi Penertiban Kalijodo Akan Berujung Bentrok)
Budayawan, Remi Silado Tambayong tak menampik dengan pernyataan Ceceng. Ia menambahkan banyak etnis Cina di kawasan itu bermula saat konflik antara Cina dan Monggolia muncul di tahun 1740. Kala itu, warga cina bermunculan di Indonesia termasuk di kawasan Kalijodo.
"Kala itu banyak warga cina (pria) menikah dengan warga pribumi. Sehingga banyak etnis keturunan yang bernyanyi di perahu itu," jelasnya. (Cerita FPI Ketika Bentrok Berdarah di Kalijodo)
Kondisi itupun pernah ia tuangkan dalam novel dengan judul Cabaokan yang kemudian di film beberapa tahun lalu. "Namun mereka (etnis tionghoa) kemudian pergi seiring masuknya kaum pribumi di kawasan itu," tutupnya.
(ysw)