Sekjen PDIP: Kebakaran di Bandara Soetta, Tidak Ada Manajemen Krisis
A
A
A
TANGERANG - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan kebakaran yang terjadi di Bandara International Soekarno-Hatta (Soetta) menunjukkan kegagalan safety system.
"Penangganan para penumpang juga sangat mengecewakan. Angkasa Pura dan Garuda Indonesia praktis tidak memberikan informasi atas apa yang terjadi dan bagaimana dengan kepastian jadwal penerbangan," kata Hasto Kristiyanto kepada wartawan, Minggu (5/7/2015).
Hasto yang saat itu berada di lokasi kejadian mengatakan, kesemrawutan sangat terlihat, bahkan dua karyawan otoritas bandara berdiri kebingungan. "Hanya ada suara keluar dari satu toa yang dipakai untuk menyampaikan pengumuman, dan suara toa pun tenggelam dalam hiruk pikuk suara penumpang," katanya.
Hasto melihat ada kemunduran manajemen krisis karena sata terjadi peristiwa itu kekacauan bandara tanpa ada kehadiran otoritas bandara untuk sekedar memberikan informasi atas apa yang terjadi. "Kembali nampak bagaimana Angkasa Pura dan Garuda Indonesia sama sekali tidak siap menghadapi skenario krisis, meski hanya berupa kebakaran salah satu lounge yang berimbas kepada 'kemacetan sistem' operasionalisasi bandara," ucapnya.
Hasto yang terjebak selama lebih dari 3 jam dalam antrean hanya bisa membatinkan betapa mundurnya manajemen krisis. "Mereka yang berprofesi sebagai porter menjadi sasaran banyak pertanyaan penumpang. Jadilah para porter itu menjadi juru bicara Angkasa Pura dan Garuda Indonesia. Ada juga seorang ibu dengan empat anaknya yang begitu khawatir atas ketidakpastian yang terjadi," ujarnya.
Apa yang terjadi saat ini tidak hanya menjadi pelajaran yang sangat penting bagi otoritas bandara, sebab simbol bandara international Indonesia begitu mudah lumpuh dan tidak berdaya.
"Penangganan para penumpang juga sangat mengecewakan. Angkasa Pura dan Garuda Indonesia praktis tidak memberikan informasi atas apa yang terjadi dan bagaimana dengan kepastian jadwal penerbangan," kata Hasto Kristiyanto kepada wartawan, Minggu (5/7/2015).
Hasto yang saat itu berada di lokasi kejadian mengatakan, kesemrawutan sangat terlihat, bahkan dua karyawan otoritas bandara berdiri kebingungan. "Hanya ada suara keluar dari satu toa yang dipakai untuk menyampaikan pengumuman, dan suara toa pun tenggelam dalam hiruk pikuk suara penumpang," katanya.
Hasto melihat ada kemunduran manajemen krisis karena sata terjadi peristiwa itu kekacauan bandara tanpa ada kehadiran otoritas bandara untuk sekedar memberikan informasi atas apa yang terjadi. "Kembali nampak bagaimana Angkasa Pura dan Garuda Indonesia sama sekali tidak siap menghadapi skenario krisis, meski hanya berupa kebakaran salah satu lounge yang berimbas kepada 'kemacetan sistem' operasionalisasi bandara," ucapnya.
Hasto yang terjebak selama lebih dari 3 jam dalam antrean hanya bisa membatinkan betapa mundurnya manajemen krisis. "Mereka yang berprofesi sebagai porter menjadi sasaran banyak pertanyaan penumpang. Jadilah para porter itu menjadi juru bicara Angkasa Pura dan Garuda Indonesia. Ada juga seorang ibu dengan empat anaknya yang begitu khawatir atas ketidakpastian yang terjadi," ujarnya.
Apa yang terjadi saat ini tidak hanya menjadi pelajaran yang sangat penting bagi otoritas bandara, sebab simbol bandara international Indonesia begitu mudah lumpuh dan tidak berdaya.
(whb)