Mulai Beroperasi, Begini Suasana Baru Mal pada Masa Transisi
loading...
A
A
A
Terkait pembayaran transaksi, Stefanus meminta pengunjung menggunakan uang elektronik. Selain itu, pengunjung juga disarankan melakukan pemesanan digital melalui aplikasi. "Kami menyarankan pengunjung menghindari penggunaan uang cash," ucapnya.
Pengelola mal juga telah membuat petunjuk arah untuk pengunjung agar pengunjung berjalan mengikuti arah yang telah ditentukan. "Hal ini untuk menghindari agar pengunjung tidak berpapasan dan bisa menjaga jarak," ungkapnya. (Baca juga: Butuh Penyesuaian, Begini Belanja Fashion Pada New Normal)
Stefanus berharap pengunjung yang masuk bisa mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan sehingga dengan pembukaan mal, tidak membuat kasus baru pasien terjangkit bertambah.
"Masyarakat diharapkan bisa mengikuti protokol kesehatan yang ada agar pandemi ini segera berakhir dan kasusnya tidak naik lagi," tandasnya.
Sementara itu, analis kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai dengan mal yang saat ini sudah dibuka terasa terlalu terburu-buru. Karena, mal merupakan tempat berkumpulnya orang.
"Menurut saya terlalu terburu-buru, yang berbahaya orang tanpa gejala, kita ngak tahu. Dia sehat, tapi nanti tahu-tahu menyebar. Di Jakarta memang sudah menurun, tapi kan belum sampai titik yang diharapkan," kata Trubus. (Lihat fotonya: Antisipasi Penyebaran Covid-19, Karyawan Senayan City Mal Jalani Rapid Test)
Meskipun dengan kembalinya mal dibuka mampu menggerakkan kembali perekonomian, pengambilan kebijakan ini dinilai perlu pertimbangan yang matang karena taruhannya nyawa.
"Kita setuju ekonomi dalam keadaan terpuruk. Dengan dibukanya mal diharapkan akan mengangkat perekonomian. Namun, harus dilihat dari sisi manfaatnya dan risiko yang ditanggung karena ini persoalan nyawa," imbuhnya.
Hal yang sama dikatakan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. Menurutnya, pemerintah harus bisa memantau dengan baik. Jangan hanya beralaskan untuk mendongkrak ekonomi.
"Kalau yang di-test (swab PCR) masih di bawah 10.000 (per hari), saya secara pribadi meragukan karena angka itu adalah angka internasional yang digunakan untuk pengambilan kebijakan selanjutnya. Kalau dasarnya tidak ada, berarti hanya pakai dasar ekonomi, orang yang sakit pandemi kok," ucapnya. (Aprilia S Andyna)
Pengelola mal juga telah membuat petunjuk arah untuk pengunjung agar pengunjung berjalan mengikuti arah yang telah ditentukan. "Hal ini untuk menghindari agar pengunjung tidak berpapasan dan bisa menjaga jarak," ungkapnya. (Baca juga: Butuh Penyesuaian, Begini Belanja Fashion Pada New Normal)
Stefanus berharap pengunjung yang masuk bisa mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan sehingga dengan pembukaan mal, tidak membuat kasus baru pasien terjangkit bertambah.
"Masyarakat diharapkan bisa mengikuti protokol kesehatan yang ada agar pandemi ini segera berakhir dan kasusnya tidak naik lagi," tandasnya.
Sementara itu, analis kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai dengan mal yang saat ini sudah dibuka terasa terlalu terburu-buru. Karena, mal merupakan tempat berkumpulnya orang.
"Menurut saya terlalu terburu-buru, yang berbahaya orang tanpa gejala, kita ngak tahu. Dia sehat, tapi nanti tahu-tahu menyebar. Di Jakarta memang sudah menurun, tapi kan belum sampai titik yang diharapkan," kata Trubus. (Lihat fotonya: Antisipasi Penyebaran Covid-19, Karyawan Senayan City Mal Jalani Rapid Test)
Meskipun dengan kembalinya mal dibuka mampu menggerakkan kembali perekonomian, pengambilan kebijakan ini dinilai perlu pertimbangan yang matang karena taruhannya nyawa.
"Kita setuju ekonomi dalam keadaan terpuruk. Dengan dibukanya mal diharapkan akan mengangkat perekonomian. Namun, harus dilihat dari sisi manfaatnya dan risiko yang ditanggung karena ini persoalan nyawa," imbuhnya.
Hal yang sama dikatakan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. Menurutnya, pemerintah harus bisa memantau dengan baik. Jangan hanya beralaskan untuk mendongkrak ekonomi.
"Kalau yang di-test (swab PCR) masih di bawah 10.000 (per hari), saya secara pribadi meragukan karena angka itu adalah angka internasional yang digunakan untuk pengambilan kebijakan selanjutnya. Kalau dasarnya tidak ada, berarti hanya pakai dasar ekonomi, orang yang sakit pandemi kok," ucapnya. (Aprilia S Andyna)