Kisah Ali Sadikin dan Rumitnya Lalu Lintas Jakarta
loading...
A
A
A
Ketika baru memimpin Jakarta, Ali Sadikin dihadapkan persoalan lalu lintas yang pelik. Pada 1967, kendaraan bermotor di ibu kota meliputi setengah juta unit. Angka kecelakaan saat itu terbilang tinggi yakni rata-rata dua orang meninggal dan 17 orang menderita luka-luka. Jadi dalam setahun, korban meninggal akibat kecelakaan mencapai 726 orang.
“Lalu lintas di Jakarta adalah persoalan yang rumit,” tutur Ali Sadikin.
Baca juga: Bus MS, Kebanggaan Warga Sumedang Dikenal Sejak Zaman Bang Ali Sadikin
Salah satu masalahnya adalah kurangnya jumlah dan panjang jalan serta sempitnya sejumlah jalan-jalan yang sudah ada. Selain itu, perilaku pengguna jalan yang tak disipilin berkendara.
Untuk membangun jalan, Pemprov DKI Jakarta menemukan masalah dalam membangun jaringan jalan raya. Kendala ini disebabkan letak geografi Jakarta yang hanya beberapa ratus meter dari atas permukaan laut. “Ini membawa hambatan-hambatan teknis dan membuat pembuatan jalan menjadi sangat mahal,” tulis Ratu Husmiati dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Ali Sadikin dan Pembangunan Jakarta 1966-1977”.
Untuk mengatasinya, Ali Sadikin memprakarsai sejumlah kebijakan seperti penertiban pelarangan becak, menambah armada bus kota, hingga membagi zona jalan. Pada periode Ali Sadikin, jalanan Jakarta dibedakan menurut fungsinya, yaitu jalan ekonomi, jalan lingkungan dan jalan desa.
Ratu juga mencatat kebijakan Ali Sadikin dalam menormalisasi jalan dalam kota seperti normalisasi sebagian jalan raya Jakarta-Bogor antara Cililitan sampai batas kota Jakarta (1973); normalisasi jalan raya Pondok Gede (1974); normalisasi jalan terobosan Warung Buncit yang meliputi jalan Mampang Prapatan sampai Ragunan (1975).
Baca juga: Sejarah RSCM dan RS PGI Cikini, Rumah Sakit Tertua di Jakarta
Selama 11 tahun menangani Jakarta, perencanaan dan kinerja Ali Sadikin terhadap jalanan ibu kota membuahkan hasil. Jalan-jalan diperbaiki, diperlebar, dibangun yang baru dan dipelihara dengan benar. Lampu lalu lintas ditambah sehingga lalu lintas menjadi lebih baik.
“Transportasi publik semakin baik dengan tambahan beberapa ratus bus baru, termasuk mini bus sejak 1976 dan seterusnya,” kata Susan Blackburn, sejarawan Universitas Monash, yang meneliti Jakarta dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Setelah purnabakti menjabat, Ali Sadikin masih belum puas menata jalanan Jakarta. Kemacetan tetap menjadi momok yang kerap diidentikkan dengan Jakarta.
“Persoalan lalu lintas dan angkutan tak ubahnya dengan gelombang di lautan, datang, mereda, gemuruh, lalu mereda lagi. Tak henti-hentinya,” tutur Ali. Hingga kini, di masa kepemimpinan Anies Baswedan persoalan lalu lintas menjadi pekerjaan rumah Pemprov DKI yang masih terus dibenahi.
“Lalu lintas di Jakarta adalah persoalan yang rumit,” tutur Ali Sadikin.
Baca juga: Bus MS, Kebanggaan Warga Sumedang Dikenal Sejak Zaman Bang Ali Sadikin
Salah satu masalahnya adalah kurangnya jumlah dan panjang jalan serta sempitnya sejumlah jalan-jalan yang sudah ada. Selain itu, perilaku pengguna jalan yang tak disipilin berkendara.
Untuk membangun jalan, Pemprov DKI Jakarta menemukan masalah dalam membangun jaringan jalan raya. Kendala ini disebabkan letak geografi Jakarta yang hanya beberapa ratus meter dari atas permukaan laut. “Ini membawa hambatan-hambatan teknis dan membuat pembuatan jalan menjadi sangat mahal,” tulis Ratu Husmiati dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Ali Sadikin dan Pembangunan Jakarta 1966-1977”.
Untuk mengatasinya, Ali Sadikin memprakarsai sejumlah kebijakan seperti penertiban pelarangan becak, menambah armada bus kota, hingga membagi zona jalan. Pada periode Ali Sadikin, jalanan Jakarta dibedakan menurut fungsinya, yaitu jalan ekonomi, jalan lingkungan dan jalan desa.
Ratu juga mencatat kebijakan Ali Sadikin dalam menormalisasi jalan dalam kota seperti normalisasi sebagian jalan raya Jakarta-Bogor antara Cililitan sampai batas kota Jakarta (1973); normalisasi jalan raya Pondok Gede (1974); normalisasi jalan terobosan Warung Buncit yang meliputi jalan Mampang Prapatan sampai Ragunan (1975).
Baca juga: Sejarah RSCM dan RS PGI Cikini, Rumah Sakit Tertua di Jakarta
Selama 11 tahun menangani Jakarta, perencanaan dan kinerja Ali Sadikin terhadap jalanan ibu kota membuahkan hasil. Jalan-jalan diperbaiki, diperlebar, dibangun yang baru dan dipelihara dengan benar. Lampu lalu lintas ditambah sehingga lalu lintas menjadi lebih baik.
“Transportasi publik semakin baik dengan tambahan beberapa ratus bus baru, termasuk mini bus sejak 1976 dan seterusnya,” kata Susan Blackburn, sejarawan Universitas Monash, yang meneliti Jakarta dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Setelah purnabakti menjabat, Ali Sadikin masih belum puas menata jalanan Jakarta. Kemacetan tetap menjadi momok yang kerap diidentikkan dengan Jakarta.
“Persoalan lalu lintas dan angkutan tak ubahnya dengan gelombang di lautan, datang, mereda, gemuruh, lalu mereda lagi. Tak henti-hentinya,” tutur Ali. Hingga kini, di masa kepemimpinan Anies Baswedan persoalan lalu lintas menjadi pekerjaan rumah Pemprov DKI yang masih terus dibenahi.