Pelacuran Tertua di Jakarta: Macao Po, Gang Mangga, Gang Hauber hingga Kramat Tunggak
loading...
A
A
A
Pada zaman itu bukan hanya Gang Hauber yang terkenal. Ada lokasi lain seperti lokalisasi Kaligot di Mangga Besar kemudian ada Planet di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kedua lokasi ini menjadi pengganti Macao PO atau menjadi lokalisasi kelas elite. Perempuan yang mengisi tempat tersebut juga sudah beragam mulai dari wanita lokal maupun impor.
Tapi, di mana ada kelas atas pasti ada kelas bawah. Untuk lokalisasi kelas bawah justru berada di sepanjang Stasiun Senen sampai Gunung Sahari. Pelacur bertarif murah ini melayani pria hidung belang di gubuk-gubuk kardus sepanjang rel kereta, bahkan ada juga gerbong kosong disulap jadi lokasi memadu cinta semalam mereka. (Baca juga: Georgina Rajin Berpakaian Seksi karena Takut Ditinggal Ronaldo)
Hingga pada zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, lokalisasi liar digusur dan akhirnya dilokalisir di suatu tempat hingga tertata dan tidak lagi menjajakan diri secara liar. Semuanya dilokalisir di kawasan lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Apa yang dilakukan Bang Ali memang mendapatkan banyak tentangan dari berbagai pihak. Namun, sikap cuek Bang Ali membuat para pelacur tidak berkeliaran secara bebas dan menjadi dapat ditata dengan baik. Pelacur juga diawasi dan mudah dibina.
Kemudian, pada tahun 1970-1980-an Kramat Tunggak terus berkembang. Luas lokalisasi mencapai 12 hektare. Jumlah pelacur yang terdata mencapai 2.000 orang. Bahkan, Kramat Tunggak menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Hingga di era Gubernur Sutiyoso atau tahun 1999 Kramat Tunggak ditutup secara permamen dan sekarang menjadi Islamic Center. Akibat ditutupnya Kramat Tunggak, wanita yang biasa menjajakan tubuhnya di lokalisasi tidak memiliki tempat hingga wanita malam kembali berkeliaran di jalan-jalan. Banyak dari mereka menjadi pemijat atau pemandu lagu guna menyamarkan praktik prostitusi.
Dan, hingga kini pelacuran tetap menjadi bisnis terlarang di Ibu kota. Aparat mulai dari Satpol PP hingga kepolisian pun selalu melakukan razia untuk menghilangkan bisnis haram tersebut.
Tapi, di mana ada kelas atas pasti ada kelas bawah. Untuk lokalisasi kelas bawah justru berada di sepanjang Stasiun Senen sampai Gunung Sahari. Pelacur bertarif murah ini melayani pria hidung belang di gubuk-gubuk kardus sepanjang rel kereta, bahkan ada juga gerbong kosong disulap jadi lokasi memadu cinta semalam mereka. (Baca juga: Georgina Rajin Berpakaian Seksi karena Takut Ditinggal Ronaldo)
Hingga pada zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, lokalisasi liar digusur dan akhirnya dilokalisir di suatu tempat hingga tertata dan tidak lagi menjajakan diri secara liar. Semuanya dilokalisir di kawasan lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Apa yang dilakukan Bang Ali memang mendapatkan banyak tentangan dari berbagai pihak. Namun, sikap cuek Bang Ali membuat para pelacur tidak berkeliaran secara bebas dan menjadi dapat ditata dengan baik. Pelacur juga diawasi dan mudah dibina.
Kemudian, pada tahun 1970-1980-an Kramat Tunggak terus berkembang. Luas lokalisasi mencapai 12 hektare. Jumlah pelacur yang terdata mencapai 2.000 orang. Bahkan, Kramat Tunggak menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Hingga di era Gubernur Sutiyoso atau tahun 1999 Kramat Tunggak ditutup secara permamen dan sekarang menjadi Islamic Center. Akibat ditutupnya Kramat Tunggak, wanita yang biasa menjajakan tubuhnya di lokalisasi tidak memiliki tempat hingga wanita malam kembali berkeliaran di jalan-jalan. Banyak dari mereka menjadi pemijat atau pemandu lagu guna menyamarkan praktik prostitusi.
Dan, hingga kini pelacuran tetap menjadi bisnis terlarang di Ibu kota. Aparat mulai dari Satpol PP hingga kepolisian pun selalu melakukan razia untuk menghilangkan bisnis haram tersebut.
(jon)