Pelacuran Tertua di Jakarta: Macao Po, Gang Mangga, Gang Hauber hingga Kramat Tunggak

Jum'at, 08 Januari 2021 - 07:10 WIB
loading...
Pelacuran Tertua di Jakarta: Macao Po, Gang Mangga, Gang Hauber hingga Kramat Tunggak
Pemuas syahwat di Jakarta ternyata sudah ada sejak zaman VOC menguasai Batavia pada abad ke 17. Masyarakat asli Jakarta yaitu orang Betawi menyebut pelacur dengan sebutan Cabo. Foto: Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemuas syahwat di Jakarta ternyata sudah ada sejak zaman VOC menguasai Batavia pada abad ke 17. Pada zaman itu, masyarakat asli Jakarta yaitu orang Betawi menyebut pelacur dengan sebutan Cabo. Bahkan, sejak zaman tersebut pelacuran atau prostitusi di Jakarta tak pernah mati.

Kata Cabo berasal dari bahasa China yaitu Caibo atau yang diartikan sebagai wanita malam. Memang awalnya praktik pelacuran di Batavia dilakukan oleh para pendatang dari Tionghoa. Bahkan, lokasi pertama prostitusi adalah bernama Macao Po yang lokasinya berada di dekat Stasiun Kota, Jakarta di mana lokasi tersebut menjadi pusat niaga sekaligus keramaian.

Lokasi ini menjadi lokalisasi kelas atas bahkan pengunjungnya kebanyakan para pejabat VOC kala itu. Pejabat yang ke sana juga terkenal sebagai pejabat hitam yang gemar bermain wanita dan korupsi. (Baca juga: Cerita Hashim Soal Anaknya Terjun ke Politik: Gegara Nolongin Perempuan Usia 12 Tahun yang Jadi Korban Pelacuran)

Para pemuas nafsu yang berada di Macao Po juga bukan penduduk lokal Batavia dan Hindia Belanda. Mereka langsung didatangkan dari Makau. Hal tersebut tertulis dalam Ensiklopedia Jakarta yang dihimpun SINDOnews. Buku itu diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta tahun 2005.
Pelacuran Tertua di Jakarta: Macao Po, Gang Mangga, Gang Hauber hingga Kramat Tunggak

Wanita penjaja seks di sebuah lokalisasi. Foto: Dok SINDOnews

Nah, tidak mau kalah dengan pejabat dan tuannya. Masyarakat kelas bawah atau para pelayan tuan besar juga mempunyai lokalisasi yang diperuntukkan bagi kaum kelas bawah.

Lokasinya tidak jauh dari Macao Po. Lokalisasi kelas bawah itu berada di Gang Mangga. Berbeda dengan pelacur di Macao Po yang didatangkan langsung dari luar negeri, lokalisasi Gang Mangga justru kebanyakan wanita yang berasal dari Indo atau pribumi. Walaupun ada sedikit wanita Tionghoa yang dijadikan penjaja seks, namun jumlah mereka tidak banyak. Perempuan Tionghoa yang berada di Gang Mangga adalah wanita buangan yang tidak lagi dipekerjakan di Macao Po.

Karena lokalisasi kelas bawah, maka di lokasi ini juga tidak dijamin kesehatannya. Bahkan, di Gang Mangga banyak yang terjangkit penyakit Sipilis. Karena mewabahnya penyakit yang tertular dari lokasi itu, maka penyakit ini pada abad 19 dikenal dengan penyakt Gang Mangga.

Dengan banyaknya masyarakat yang menggemari wisata syahwat, peluang bisnis pelacuran di Gang Mangga berkembang hingga banyak orang Tionghoa mendirikan rumah bordir yang kemudian dikenal dengan Soehian. Selama satu abad Soehian berdiri dan ditutup oleh Kolonial pada abad 20 karena kerap menimbulkan keributan.

Bisnis syahwat selama berabad-abad itu ternyata cukup menguntungkan sehingga lokasi pelacuran tetap menjamur walaupun telah ditutup oleh pemerintah Hindia Belanda. Usai kemerdekaan di Indonesia, lokasi pelacuran juga tetap menjamur, bahkan pusat lokalisasi yang terkenal usai kemerdekaan adalah Gang Hauber yang berada di Petojo, Jakarta Pusat. (Baca juga: Prostitusi Online di Bandung Libatkan Artis, Pramugari dan Pegawai Bank)

Namun, Gang Hauber tidak lama menjadi lokalisasi karena wali kota Jakarta Pusat kala itu Sudir menutup Gang Hauber dan namanya berubah menjadi Gang Sadar hingga akhirnya mengubah gang yang menjadi lokalisasi menjadi lingkungan yang sehat dan menjauhkan dari bau kemaksiatan.

Pada zaman itu bukan hanya Gang Hauber yang terkenal. Ada lokasi lain seperti lokalisasi Kaligot di Mangga Besar kemudian ada Planet di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kedua lokasi ini menjadi pengganti Macao PO atau menjadi lokalisasi kelas elite. Perempuan yang mengisi tempat tersebut juga sudah beragam mulai dari wanita lokal maupun impor.

Tapi, di mana ada kelas atas pasti ada kelas bawah. Untuk lokalisasi kelas bawah justru berada di sepanjang Stasiun Senen sampai Gunung Sahari. Pelacur bertarif murah ini melayani pria hidung belang di gubuk-gubuk kardus sepanjang rel kereta, bahkan ada juga gerbong kosong disulap jadi lokasi memadu cinta semalam mereka. (Baca juga: Georgina Rajin Berpakaian Seksi karena Takut Ditinggal Ronaldo)

Hingga pada zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, lokalisasi liar digusur dan akhirnya dilokalisir di suatu tempat hingga tertata dan tidak lagi menjajakan diri secara liar. Semuanya dilokalisir di kawasan lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Apa yang dilakukan Bang Ali memang mendapatkan banyak tentangan dari berbagai pihak. Namun, sikap cuek Bang Ali membuat para pelacur tidak berkeliaran secara bebas dan menjadi dapat ditata dengan baik. Pelacur juga diawasi dan mudah dibina.

Kemudian, pada tahun 1970-1980-an Kramat Tunggak terus berkembang. Luas lokalisasi mencapai 12 hektare. Jumlah pelacur yang terdata mencapai 2.000 orang. Bahkan, Kramat Tunggak menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Hingga di era Gubernur Sutiyoso atau tahun 1999 Kramat Tunggak ditutup secara permamen dan sekarang menjadi Islamic Center. Akibat ditutupnya Kramat Tunggak, wanita yang biasa menjajakan tubuhnya di lokalisasi tidak memiliki tempat hingga wanita malam kembali berkeliaran di jalan-jalan. Banyak dari mereka menjadi pemijat atau pemandu lagu guna menyamarkan praktik prostitusi.

Dan, hingga kini pelacuran tetap menjadi bisnis terlarang di Ibu kota. Aparat mulai dari Satpol PP hingga kepolisian pun selalu melakukan razia untuk menghilangkan bisnis haram tersebut.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1373 seconds (0.1#10.140)