Menempatkan Gisel dan Jedar sebagai Korban
loading...
A
A
A
Bhakti Eko Nugroho
Pengajar di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia
Pekan lalu publik dihebohkan dengan beredarnya dua video pribadi yang menayangkan hubungan intim orang dewasa. Persepsi yang banyak muncul di masyarakat adalah bahwa pada dua tayangan video yang viral tersebut terdapat dua figur yang dikenal luas. Pada titik ini, proses stigma yang memojokkan dan merugikan pihak-pihak yang dianggap berada pada tayangan video telah terjadi. Padahal proses pembuktian secara sah belum dilakukan.
Asumsi yang terbangun di publik menjelaskan bahwa perempuan yang terekam pada dua tayangan video yang beredar tersebut dianggap mirip dengan Gisella “Gisel” Anastasia dan Jessica “Jedar” Iskandar. Dua figur profesional di industri hiburan Tanah Air. Kepolisian pun telah bereaksi atas dua kasus tersebut dan menyampaikan kepada publik bahwa penanganan kedua kasus telah masuk pada tahap penyidikan. (Baca: Keutamaan Shalawat, tang Lunas dan Dikenali Nabi Muhammad)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan otoritas kepolisian yang disampaikan kepada publik, pihak-pihak yang berada atau terlibat dalam penyebarluasan tayangan akan dikejar melalui sangkaan berdasarkan Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Respons yang Tidak Proporsional
Sebagaimana berita-berita bersentimen negatif yang melibatkan tokoh publik, mulai dari keterlibatan dalam penggunaan narkotika, kabar perceraian hingga beredarnya video pribadi , publik dan khususnya warga internet selalu menunjukkan atensi yang tinggi. Termasuk dalam kasus Gisel dan Jedar ini. Bad news is good news seakan menjadi benar adanya; tidak hanya untuk kantor-kantor berita, tetapi juga bagi para individu pengguna media sosial. Percakapan-percakapan di berbagai kanal digital diisi dengan pemberitaan bersentimen negatif. Berita Gisel dan Jedar menjadi trending pada beberapa hari lalu.
Gisel dan Jedar telah menjadi korban opini dan pemberitaan yang menyudutkannya karena dua alasan. Pertama, belum ada proses pembuktian secara sah yang menjelaskan bahwa orang pada kedua tayangan video yang beredar adalah diri mereka. Kedua, pengunggah konten yang meneruskan dan menyebarluaskan materi tayang tersebutlah yang sepatutnya lebih bertanggung jawab atas kebisingan ini. Bentuk dan model penanganan pihak yang bertanggung jawab pun tetap harus melalui prosedur hukum. (Baca juga: ITS Buat Pakan Ternak dari Fermentasi Limbah Pertanian)
Terlepas dari dua aspek di atas yang sampai saat ini belum final dan saat ini tengah berlangsung, inilah satu arus yang mengobjektifikasi tubuh perempuan untuk kepentingan produksi pemberitaan dari kantor-kantor media dan konten tayang serta percakapan oleh individu-individu pengguna akun media sosial.
Penyebarluasan materi pribadi yang dianggap mirip dengan penampilan Gisel dan Jedar yang merupakan grafik tubuh perempuan menjadi suatu objek yang ditransaksikan dalam berbagai platform digital. Tentunya terdapat implikasi keuntungan material bagi para pengunggah karena kontennya mendapatkan atensi dari penontonnya.
Para produser konten baik institusi maupun perseorangan mengambil manfaat dari beredarnya video pribadi ini. Sebagian menunjukkannya dengan sikap yang antipati dengan memojokkan Gisel dan Jedar, pihak yang sekali lagi saat ini secara sah belum teruji benar tidaknya keberadaan mereka pada tayangan yang diperbincangkan. Akan tetapi keduanya telah mengalami apa yang disebut sebagai trial by the (social) media. Stigma negatif telah lebih dahulu dialami oleh keduanya sebelum adanya putusan formal dari otoritas berwenang. (Baca juga: Tren Selfie Maut: Narsis Berujung Nyawa Melayang)
Keterlibatan Anak sebagai Pelaku
Di samping pihak yang terdapat pada materi tayangan, beberapa laporan menjelaskan adanya keterlibatan anak sebagai salah satu pengunggah dan penyebar-luas materi pribadi yang dianggap mirip Gisel dan Jedar. Apabila benar adanya keterlibatan pelaku anak di bawah umur, perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tetap perlu memperhatikan prinsip-prinsip khusus dalam perlindungan anak.
Tentunya perilaku anak dalam mengunggah materi di media publik belum sepenuhnya didasarkan pada perhitungan yang matang. Untuk itu pendekatan normatif dalam memperlakukan anak yang terlibat dalam kasus ini sebaiknya tidak didorong dengan semangat menghukum, tetapi mendidik dan merehabilitasi.
Kontrol Sosial Berbasis Solidaritas
Respons masyarakat terhadap perilaku yang dianggap bertentangan dengan nilai bersama pada prinsipnya menunjukkan bahwa sebuah norma telah bekerja. Dalam kasus video tayangan mirip Gisel dan Jedar , respons-respons yang ada sebenarnya mengindikasikan bahwa distribusi tayangan yang beredar dan menjadi konsumsi publik bukanlah suatu keadaan yang diharapkan. (Lihat videonya: Dana nasabah Raib, Keamanan Perbankan Dipertanyakan)
Masyarakat Indonesia memerlukan kontrol sosial agar nilai-nilai bersama dapat terus dihormati dan menjadi acuan perilaku, tetapi kontrol sosial yang berbasis solidaritas. Bukan kontrol sosial yang berorientasi pada penghakiman sosial, pengucilan, dan stigma yang berpotensi menjadikan pihak-pihak tertentu menjadi korban.
Pengajar di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia
Pekan lalu publik dihebohkan dengan beredarnya dua video pribadi yang menayangkan hubungan intim orang dewasa. Persepsi yang banyak muncul di masyarakat adalah bahwa pada dua tayangan video yang viral tersebut terdapat dua figur yang dikenal luas. Pada titik ini, proses stigma yang memojokkan dan merugikan pihak-pihak yang dianggap berada pada tayangan video telah terjadi. Padahal proses pembuktian secara sah belum dilakukan.
Asumsi yang terbangun di publik menjelaskan bahwa perempuan yang terekam pada dua tayangan video yang beredar tersebut dianggap mirip dengan Gisella “Gisel” Anastasia dan Jessica “Jedar” Iskandar. Dua figur profesional di industri hiburan Tanah Air. Kepolisian pun telah bereaksi atas dua kasus tersebut dan menyampaikan kepada publik bahwa penanganan kedua kasus telah masuk pada tahap penyidikan. (Baca: Keutamaan Shalawat, tang Lunas dan Dikenali Nabi Muhammad)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan otoritas kepolisian yang disampaikan kepada publik, pihak-pihak yang berada atau terlibat dalam penyebarluasan tayangan akan dikejar melalui sangkaan berdasarkan Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Respons yang Tidak Proporsional
Sebagaimana berita-berita bersentimen negatif yang melibatkan tokoh publik, mulai dari keterlibatan dalam penggunaan narkotika, kabar perceraian hingga beredarnya video pribadi , publik dan khususnya warga internet selalu menunjukkan atensi yang tinggi. Termasuk dalam kasus Gisel dan Jedar ini. Bad news is good news seakan menjadi benar adanya; tidak hanya untuk kantor-kantor berita, tetapi juga bagi para individu pengguna media sosial. Percakapan-percakapan di berbagai kanal digital diisi dengan pemberitaan bersentimen negatif. Berita Gisel dan Jedar menjadi trending pada beberapa hari lalu.
Gisel dan Jedar telah menjadi korban opini dan pemberitaan yang menyudutkannya karena dua alasan. Pertama, belum ada proses pembuktian secara sah yang menjelaskan bahwa orang pada kedua tayangan video yang beredar adalah diri mereka. Kedua, pengunggah konten yang meneruskan dan menyebarluaskan materi tayang tersebutlah yang sepatutnya lebih bertanggung jawab atas kebisingan ini. Bentuk dan model penanganan pihak yang bertanggung jawab pun tetap harus melalui prosedur hukum. (Baca juga: ITS Buat Pakan Ternak dari Fermentasi Limbah Pertanian)
Terlepas dari dua aspek di atas yang sampai saat ini belum final dan saat ini tengah berlangsung, inilah satu arus yang mengobjektifikasi tubuh perempuan untuk kepentingan produksi pemberitaan dari kantor-kantor media dan konten tayang serta percakapan oleh individu-individu pengguna akun media sosial.
Penyebarluasan materi pribadi yang dianggap mirip dengan penampilan Gisel dan Jedar yang merupakan grafik tubuh perempuan menjadi suatu objek yang ditransaksikan dalam berbagai platform digital. Tentunya terdapat implikasi keuntungan material bagi para pengunggah karena kontennya mendapatkan atensi dari penontonnya.
Para produser konten baik institusi maupun perseorangan mengambil manfaat dari beredarnya video pribadi ini. Sebagian menunjukkannya dengan sikap yang antipati dengan memojokkan Gisel dan Jedar, pihak yang sekali lagi saat ini secara sah belum teruji benar tidaknya keberadaan mereka pada tayangan yang diperbincangkan. Akan tetapi keduanya telah mengalami apa yang disebut sebagai trial by the (social) media. Stigma negatif telah lebih dahulu dialami oleh keduanya sebelum adanya putusan formal dari otoritas berwenang. (Baca juga: Tren Selfie Maut: Narsis Berujung Nyawa Melayang)
Keterlibatan Anak sebagai Pelaku
Di samping pihak yang terdapat pada materi tayangan, beberapa laporan menjelaskan adanya keterlibatan anak sebagai salah satu pengunggah dan penyebar-luas materi pribadi yang dianggap mirip Gisel dan Jedar. Apabila benar adanya keterlibatan pelaku anak di bawah umur, perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tetap perlu memperhatikan prinsip-prinsip khusus dalam perlindungan anak.
Tentunya perilaku anak dalam mengunggah materi di media publik belum sepenuhnya didasarkan pada perhitungan yang matang. Untuk itu pendekatan normatif dalam memperlakukan anak yang terlibat dalam kasus ini sebaiknya tidak didorong dengan semangat menghukum, tetapi mendidik dan merehabilitasi.
Kontrol Sosial Berbasis Solidaritas
Respons masyarakat terhadap perilaku yang dianggap bertentangan dengan nilai bersama pada prinsipnya menunjukkan bahwa sebuah norma telah bekerja. Dalam kasus video tayangan mirip Gisel dan Jedar , respons-respons yang ada sebenarnya mengindikasikan bahwa distribusi tayangan yang beredar dan menjadi konsumsi publik bukanlah suatu keadaan yang diharapkan. (Lihat videonya: Dana nasabah Raib, Keamanan Perbankan Dipertanyakan)
Masyarakat Indonesia memerlukan kontrol sosial agar nilai-nilai bersama dapat terus dihormati dan menjadi acuan perilaku, tetapi kontrol sosial yang berbasis solidaritas. Bukan kontrol sosial yang berorientasi pada penghakiman sosial, pengucilan, dan stigma yang berpotensi menjadikan pihak-pihak tertentu menjadi korban.
(ysw)