Waspadai Kejahatan Berkedok Misi Sosial
loading...
A
A
A
Wiendy Hapsari
Kepala Litbang Sindonews-Koran SINDO
Situasi pandemi nyatanya tak melulu melahirkan dampak negatif. Harus diakui situasi ini juga memunculkan sejumlah implikasi positif. Salah satunya muncul gejala sosial baru dalam masyarakat berupa peningkatan solidaritas sosial.
Hal itu antara lain diungkap guru besar UIN Syarif Hidayatulah Jakarta Prof Achmad Mubarok. Dalam wawancara dengan Sindonews.com, guru besar di bidang psikologi Islam ini mengatakan, di tengah pandemi, solidaritas sosial masyarakat mengalami peningkatan. Rasa solidaritas tersebut kemudian diimplementasikan melalui berbagai kegiatan sosial. Di antaranya program donasi atau penggalangan dana dengan tujuan membantu masyarakat yang terdampak. (Baca: Pentingnya Tafakuri Diri)
Sayangnya di saat solidaritas sosial masyarakat tengah membara, ada oknum yang memanfaatkan situasi ini demi mendapatkan keuntungan pribadi. Berdalih misi sosial, oknum tersebut menjalankan aksi penipuan amal (charity fraud). Seperti dilansir britannica.com, penipuan amal merupakan jenis penipuan yang terjadi ketika organisasi amal meminta bantuan dana dari publik untuk tujuan filantropi.
Sementara itu pada kenyataannya dana yang masuk tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya. Penipuan amal ini merupakan praktik kejahatan yang menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dengan memanipulasi emosi dan kemurahan hati donor untuk membantu warga yang membutuhkan.
Berbagai modus pun dilakukan untuk menjerat korbannya. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, pelaku menjalankan modus dengan menghubungi korban langsung baik melalui e-mail, telepon atau chat WhatsApp. Pelaku mengirimkan pesan kepada korban untuk ikut berpartisipasi memberikan sumbangan bagi korban bencana pandemi. Bahkan untuk lebih meyakinkan korbannya, pelaku menyertakan sejumlah bukti seperti foto-foto korban bencana.
Ada juga modus lain pelaku melalui penjualan voucher. Pelaku mengiming-imingi korban bahwa sekian persen dari hasil penjualan voucher akan didonasikan kepada korban bencana pandemi. Padahal uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi. (Baca juga: Sosialisasi Minim, Banyak Sekolah Tak Tahu Penyederhanaan Kurikulum)
Tak hanya itu, memanfaatkan popularitas public figure juga menjadi modus yang kerap dijalankan pelaku kejahatan berkedok misi sosial. Hal demikian seperti yang dialami artis Inul Daratista pada Juli 2020 lalu. Inul dibuat murka karena namanya dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan.
Modus yang dilakukan sederhana. Pelaku menghubungi korban dengan membawa nama Inul dan meminta korban untuk mentransfer sejumlah uang ke yayasan panti jompo.
Bukan hanya Inul yang mengalami nasib serupa. Desainer kondang Anne Avantie juga didera persoalan yang sama. Niat baiknya membantu atasi krisis stok alat perlindungan diri (APD) petugas medis yang menangani pasien Covid-19 justru dimanfaatkan oknum tak bertanggung jawab dengan membuka donasi abal-abal yang mengatasnamakan sosok sang desainer.
Media sosial turut menjadi salah satu sarana yang kerap digunakan pelaku untuk melancarkan aksinya. Pelaku kejahatan tak segan membuat akun di media sosial dan kemudian mencatut nama badan-badan tertentu untuk mengelabui korbannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan salah satu lembaga yang pernah dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk melakukan aksi penipuan. (Baca juga: Penyakit Penyerta Covid-19 Perlu Diwaspadai)
Aktivitas penggalangan dana palsu ini juga marak terjadi di media sosial lain seperti Instagram dan Facebook. Umumnya bermodus “membius” korban melalui paparan cerita- cerita serta video seputar korban yang mampu menggugah emosi.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat juga menghadirkan berbagai modus kejahatan baru, salah satunya melalui e-mail phising. E-mail ini kerap digunakan pelaku kejahatan untuk mengelabui korbannya, seolah-olah e-mail tersebut dikirim langsung oleh lembaga amal resmi. Padahal e-mail itu merupakan pembuka jalan pelaku untuk melancarkan aksi kejahatannya.
Emosional vs Rasional
Dalam konteks individu, viktimisasi bisa menghasilkan kerugian material dan dampak psikologis berupa fear of crime (Robert Elias,1986). Hal ini juga terjadi dalam aksi penipuan berkedok misi sosial. Tak hanya menelan kerugian berupa finansial, korban juga berpotensi mengalami rasa trauma yang bisa jadi membuat niat seseorang untuk berbagi dengan sesama tertahan karena khawatir bisa kembali menjadi korban.
Para calon penyumbang dana yang sudah menaruh harapan dihinggapi rasa kecewa dan rasa curiga sekaligus terhadap semua aksi penggalangan dana, bahkan yang bersifat resmi sekalipun. Hal ini menciptakan efek tambahan berupa ikut tercemarnya aksi donasi yang dilakukan badan amal resmi. (Baca juga: Kemendagri: Perusahaan Fintech Wajib Lindungi Data pribadi)
Sebagai upaya untuk mencegah kejahatan ini, selain berharap pada adanya hukum yang efektif, terpenting diperlukan upaya membangun kesadaran dan kewaspadaan dari diri sendiri terlebih dahulu. Upaya ini merupakan cara penanggulangan yang menitikberatkan pada sifat preventif atau pencegahan sebelum kejahatan terjadi.
Emile Durkheim menjelaskan bahwa solidaritas sosial hadir dari perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan dikuatkan oleh adanya pengalaman emosional bersama. Dalam konteks pandemi, pengalaman emosional ini muncul karena semua orang tak terkecuali merasakan dampak dari situasi pandemi meski dengan kadar yang berbeda-beda. Perasaan senasib tersebut menciptakan pengalaman emosional yang pada akhirnya melahirkan rasa empati dan solidaritas terhadap sesama yang salah satunya disalurkan melalui aksi donasi.
Lewat donasi, orang mendapatkan kepuasan dan kelegaan lantaran telah berbagi dengan sesama. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan pelaku. Mereka melakukan pancingan-pancingan lewat aneka narasi yang menjual. Walhasil, dorongan berbagi dalam diri individu yang sudah sangat besar bisa menjadi lebih besar lagi gara-gara stimulus yang disuntikkan pelaku melalui narasi yang dibangunnya. Situasi ini yang kerap membuat orang abai dengan prinsip cek dan cek ulang serta kemudian langsung melakukan tindakan spontan.
Hal inilah yang kemudian menjadi kunci pencegahan kejahatan ini. Bahwa meski dorongan untuk membantu orang lain sangat besar, berpikir kritis dan rasional tetap diperlukan. Masyarakat perlu membentengi dan membekali diri dalam mendeteksi dan mengidentifikasi secara dini aksi kejahatan ini. Upaya untuk menghindari kejahatan ini bisa dimulai dengan melakukan verifikasi terhadap lembaga yang melakukan aksi penggalangan dana. (Lihat videonya: Viral Video Jalan Rusak di Lebak)
Penelusuran terhadap asal mula lembaga, siapa pendiri di balik lembaga tersebut, alamat serta validitas nomor kontak wajib dijalankan. Upaya pengecekan juga perlu dilakukan terhadap semua aktivitas penyaluran bantuan yang diadakan, termasuk transparansi dan akurasi laporan pertanggungjawaban yang dibuat lembaga tersebut pasca-kegiatan.
Lihat Juga: Petugas SPBU Wanita di Bojongsari Depok Kena Tipu Modus Tukar Uang Receh Rp1 Juta, Begini Kronologinya
Kepala Litbang Sindonews-Koran SINDO
Situasi pandemi nyatanya tak melulu melahirkan dampak negatif. Harus diakui situasi ini juga memunculkan sejumlah implikasi positif. Salah satunya muncul gejala sosial baru dalam masyarakat berupa peningkatan solidaritas sosial.
Hal itu antara lain diungkap guru besar UIN Syarif Hidayatulah Jakarta Prof Achmad Mubarok. Dalam wawancara dengan Sindonews.com, guru besar di bidang psikologi Islam ini mengatakan, di tengah pandemi, solidaritas sosial masyarakat mengalami peningkatan. Rasa solidaritas tersebut kemudian diimplementasikan melalui berbagai kegiatan sosial. Di antaranya program donasi atau penggalangan dana dengan tujuan membantu masyarakat yang terdampak. (Baca: Pentingnya Tafakuri Diri)
Sayangnya di saat solidaritas sosial masyarakat tengah membara, ada oknum yang memanfaatkan situasi ini demi mendapatkan keuntungan pribadi. Berdalih misi sosial, oknum tersebut menjalankan aksi penipuan amal (charity fraud). Seperti dilansir britannica.com, penipuan amal merupakan jenis penipuan yang terjadi ketika organisasi amal meminta bantuan dana dari publik untuk tujuan filantropi.
Sementara itu pada kenyataannya dana yang masuk tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya. Penipuan amal ini merupakan praktik kejahatan yang menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dengan memanipulasi emosi dan kemurahan hati donor untuk membantu warga yang membutuhkan.
Berbagai modus pun dilakukan untuk menjerat korbannya. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, pelaku menjalankan modus dengan menghubungi korban langsung baik melalui e-mail, telepon atau chat WhatsApp. Pelaku mengirimkan pesan kepada korban untuk ikut berpartisipasi memberikan sumbangan bagi korban bencana pandemi. Bahkan untuk lebih meyakinkan korbannya, pelaku menyertakan sejumlah bukti seperti foto-foto korban bencana.
Ada juga modus lain pelaku melalui penjualan voucher. Pelaku mengiming-imingi korban bahwa sekian persen dari hasil penjualan voucher akan didonasikan kepada korban bencana pandemi. Padahal uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi. (Baca juga: Sosialisasi Minim, Banyak Sekolah Tak Tahu Penyederhanaan Kurikulum)
Tak hanya itu, memanfaatkan popularitas public figure juga menjadi modus yang kerap dijalankan pelaku kejahatan berkedok misi sosial. Hal demikian seperti yang dialami artis Inul Daratista pada Juli 2020 lalu. Inul dibuat murka karena namanya dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan.
Modus yang dilakukan sederhana. Pelaku menghubungi korban dengan membawa nama Inul dan meminta korban untuk mentransfer sejumlah uang ke yayasan panti jompo.
Bukan hanya Inul yang mengalami nasib serupa. Desainer kondang Anne Avantie juga didera persoalan yang sama. Niat baiknya membantu atasi krisis stok alat perlindungan diri (APD) petugas medis yang menangani pasien Covid-19 justru dimanfaatkan oknum tak bertanggung jawab dengan membuka donasi abal-abal yang mengatasnamakan sosok sang desainer.
Media sosial turut menjadi salah satu sarana yang kerap digunakan pelaku untuk melancarkan aksinya. Pelaku kejahatan tak segan membuat akun di media sosial dan kemudian mencatut nama badan-badan tertentu untuk mengelabui korbannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan salah satu lembaga yang pernah dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk melakukan aksi penipuan. (Baca juga: Penyakit Penyerta Covid-19 Perlu Diwaspadai)
Aktivitas penggalangan dana palsu ini juga marak terjadi di media sosial lain seperti Instagram dan Facebook. Umumnya bermodus “membius” korban melalui paparan cerita- cerita serta video seputar korban yang mampu menggugah emosi.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat juga menghadirkan berbagai modus kejahatan baru, salah satunya melalui e-mail phising. E-mail ini kerap digunakan pelaku kejahatan untuk mengelabui korbannya, seolah-olah e-mail tersebut dikirim langsung oleh lembaga amal resmi. Padahal e-mail itu merupakan pembuka jalan pelaku untuk melancarkan aksi kejahatannya.
Emosional vs Rasional
Dalam konteks individu, viktimisasi bisa menghasilkan kerugian material dan dampak psikologis berupa fear of crime (Robert Elias,1986). Hal ini juga terjadi dalam aksi penipuan berkedok misi sosial. Tak hanya menelan kerugian berupa finansial, korban juga berpotensi mengalami rasa trauma yang bisa jadi membuat niat seseorang untuk berbagi dengan sesama tertahan karena khawatir bisa kembali menjadi korban.
Para calon penyumbang dana yang sudah menaruh harapan dihinggapi rasa kecewa dan rasa curiga sekaligus terhadap semua aksi penggalangan dana, bahkan yang bersifat resmi sekalipun. Hal ini menciptakan efek tambahan berupa ikut tercemarnya aksi donasi yang dilakukan badan amal resmi. (Baca juga: Kemendagri: Perusahaan Fintech Wajib Lindungi Data pribadi)
Sebagai upaya untuk mencegah kejahatan ini, selain berharap pada adanya hukum yang efektif, terpenting diperlukan upaya membangun kesadaran dan kewaspadaan dari diri sendiri terlebih dahulu. Upaya ini merupakan cara penanggulangan yang menitikberatkan pada sifat preventif atau pencegahan sebelum kejahatan terjadi.
Emile Durkheim menjelaskan bahwa solidaritas sosial hadir dari perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan dikuatkan oleh adanya pengalaman emosional bersama. Dalam konteks pandemi, pengalaman emosional ini muncul karena semua orang tak terkecuali merasakan dampak dari situasi pandemi meski dengan kadar yang berbeda-beda. Perasaan senasib tersebut menciptakan pengalaman emosional yang pada akhirnya melahirkan rasa empati dan solidaritas terhadap sesama yang salah satunya disalurkan melalui aksi donasi.
Lewat donasi, orang mendapatkan kepuasan dan kelegaan lantaran telah berbagi dengan sesama. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan pelaku. Mereka melakukan pancingan-pancingan lewat aneka narasi yang menjual. Walhasil, dorongan berbagi dalam diri individu yang sudah sangat besar bisa menjadi lebih besar lagi gara-gara stimulus yang disuntikkan pelaku melalui narasi yang dibangunnya. Situasi ini yang kerap membuat orang abai dengan prinsip cek dan cek ulang serta kemudian langsung melakukan tindakan spontan.
Hal inilah yang kemudian menjadi kunci pencegahan kejahatan ini. Bahwa meski dorongan untuk membantu orang lain sangat besar, berpikir kritis dan rasional tetap diperlukan. Masyarakat perlu membentengi dan membekali diri dalam mendeteksi dan mengidentifikasi secara dini aksi kejahatan ini. Upaya untuk menghindari kejahatan ini bisa dimulai dengan melakukan verifikasi terhadap lembaga yang melakukan aksi penggalangan dana. (Lihat videonya: Viral Video Jalan Rusak di Lebak)
Penelusuran terhadap asal mula lembaga, siapa pendiri di balik lembaga tersebut, alamat serta validitas nomor kontak wajib dijalankan. Upaya pengecekan juga perlu dilakukan terhadap semua aktivitas penyaluran bantuan yang diadakan, termasuk transparansi dan akurasi laporan pertanggungjawaban yang dibuat lembaga tersebut pasca-kegiatan.
Lihat Juga: Petugas SPBU Wanita di Bojongsari Depok Kena Tipu Modus Tukar Uang Receh Rp1 Juta, Begini Kronologinya
(ysw)