Jerat Pidana Klinik Aborsi Ilegal Masih Lemah

Senin, 05 Oktober 2020 - 08:02 WIB
loading...
Jerat Pidana Klinik...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dr Vini Susanti
Kepala Program Studi Pasca Sarjana Kriminologi UI

Keberanian mengiklankan klinik aborsi lewat media sosial melalui situs web untuk menarik pasien, sungguh luar biasa. Padahal praktik aborsi ilegal dilarang di Indonesia. Tidak ada rasa bersalah ataupun ketakutan akan dirazia oleh aparat. Sebenarnya apa yang terjadi?

Belum lama ini kita sempat dihebohkan dengan berita penggerebekan sebuah klinik aborsi ilegal yang beralamat di Jalan Raden Saleh 1, Kenari, Senen, Jakarta Pusat. Ditemukan uang sebesar Rp881.500.000 pada salah seorang pelaku yang terkait dengan praktik aborsi ilegal ini. (Baca: Amalan yang Dapat Mempercepat Datangnya Rezeki)

Peranan pelaku di sini sebagai customer serice (CS), juga menjadi negosiator terkait harga yang akan dikeluarkan guna melakukan aborsi . Keuntungan yang diperoleh tiap bulannya mencapai Rp70 juta lebih perbulannya, dengan pembagian tiap transasksi adalah 40% untuk agen, 40% dokter dan perawat, serta 20% untuk pemilik klinik (Sindo, 2020).

Menurut catatan, sejak Januari 2019 hingga 10 April 2020, jumlah pasien yang melakukan aborsi di klinik tersebut sebanyak 2.638 orang. Bagaimana analisis kriminologi dalam permasalahan ini, apa penjelasanan aborsi dan kapan bayi itu dikatakan bernyawa. Berikut ini adalah pembahasan dengan pisau analisis kriminologi, dalam menjelaskan praktik aborsi ilegal, Aborsi, Pidana, dan Kapan Bayi Dikatakan Hidup

Aborsi atau pengguguran kandungan menjadi jalan keluar atas kehamilan yang tidak diinginkan. Sekalipun janin itu adalah pesona, akan tetapi karena janin itu dinilai melanggar hak otonomi dalam penentuan jati diri si ibu, maka janin kehilangan hak hidupnya.

Di Indonesia, aborsi dapat dikenakan pidana. Setiap orang dilarang melakukan aborsi, berdasarkan Pasal 75, ayat (1) UU No36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Berdasarkan UU tersebut, hanya ada 2 pengecualian yang membuat aborsi bisa atau legal dilaksanakan, yakni Indikasi medis dan korban perkosaan.

Tindak idana penghukuman yang akan dikenakan terhadap pelaku aborsi adalah pidana kurungan paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 milliar. Bila diperhatikan, ada peluang bagi pelaku aborsi, yakni tentang indikasi medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan. Hal ini dapat dijadikan alasan medis untuk melegalkan aborsi ilegal. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)

Bila diperhatikan, sebenarnya kapan janin itu dianggap hidup? Ada beberapa pendapat mengenai kapan janin dianggap hidup (Tjondroputranto, 1988) : 1) sejak saat kontak antara ovum dan spermatozoon; 2) sejak spermatozoon masuk ke dalam ovum dan kromotosoma menjadi satu; 3) sejak terjadinya pembelahan sel pertama; 4) sejak ovum yang telah dibuahi bersarang pada dinding uterus.

Lalu, 5) menurut Hipocrates, nyawa itu ada pada laki-laki 30 hari dan pada perempuan 80 hari sesudah conceptio; 6) menurut Aristoteles, nyawa itu ada pada laki-laki 40 hari dan pada perempuan 80 hari setelah conceptio; 7) menurut Hukum Gereja (cammon law) yang sepanjang masa telah berubah-ubah; 40-60 dan 90 hari sesudah conceptio; 8) sejak otak buah kandungan itu mulai berfungsi dan ditaksir terjadi 5-16 minggu sesudah conceptio.

Berikutnya, 9) menurut salah satu mazhab dalam Agama Islam, nyawa itu baru ada 120 hari sesudah conceptio; 10) sejak jantung buah kandungan mulai berdenyut, yaitu 16-20 minggu setelah conceptio; 11) sejak dirasakan buah kandungan dalam perut si ibu yaitu sekitar 20 minggu sesudah conceptio; 12) sejak saat dilahirkan, yaitu anak itu benar-benar hidup mandiri dan tidak tergantung dari ibunya (Filsafat Sticjin). (Baca juga: Jangan Pernah Malas Pakai Masker karena Ini Alasanya)

Kajian Kriminologi Terhadap Klinik Ilegal Aborsi

UU Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kembali pada pembahasan praktik aborsi ilegal , siapa yang bisa disalahkan? Kajian kriminologi membahas para pelaku, juga si ibu yeng melakukan aborsi. Yang terjadi pada si ibu, dapat dikatakan sebagai crime without victim (kejahatan tanpa korban). Dalam konteks ini, dikatakan si ibu adalah pelaku yang sekaligus juga korban. Aborsi tidak sesederhana mengenai tubuh perempuan dan pilihan personal saja, tapi juga melibatkan hubungan kekuasaan yang terhubung satu sama lain dalam formasi global, kenegaraan, komunitas lokal, kapital, dan relasi sosial (Gurr,2015).

K.Ackerman (2017) menjelaskan bahwa dalam persoalan aborsi ini negara memiliki fokus kepada kesehatan reproduksi perempuan, tenaga medis profesional, dan sarana prasarana lain. Sementara, bagaimana dengan pelaku lain yang terlibat dalam klinik ilegal aborsi. Quinney (1973), walaupun sudah cukup lama membahas tentang ocupational crime, akan tetapi sampai saat ini masih relevan untuk dijadikan acuan. Dokter pelaku aborsi, menurut Clinnard dan Quinney, dapat dikatagorikan telah melakukan ocupational crime.

Terdapat 5 aspek dalam menganalisis ocupational crime, yang penulis gunakan untuk menganalisis klinik ilegal aborsi. (Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh kembali Suarakan Aksi Mogok Nasional)

1) Legal aspects of selected offences (aspek legal dari kejahatan); Dalam Aspek Hukum dikatakan bahwa UU biasanya dibuat untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu, sehingga seakan melestarikan kelompok tertentu beserta perilakunya. Dalam kasus aborsi, dokter mempunyai kesempatan untuk melakukan aborsi dengan berkedok bahwa tindakannya tersebut diperbolehkan oleh UU untuk menyelamatkan ibu hamil. Hal ini tercakup dalam Undang-Undang UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan;

2) Criminal Career of the Offender (karir kriminal dari penjahat); para pelaku kejahatan akupasi menganggap dirinya sebagai bukan penjahat, melainkan sebagai orang yang mempunyai kedudukan terhormat. Dokter yang melakukan praktik pengguguran kandungan tidak menganggap dirinya sebagai seorang penjahat, tetapi sebaliknya mereka menganggap telah menolong orang yang tidak menginginkan kehamilannya dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai dokter kandungan. Dokter biasanya juga tidak bekerja sendiri, dibantu tenaga administrasi, keuangan, seperti yang terjadi dalam praktik aborsi ilegal, ada calo, sustomer service yang ikut menolong terjadinya praktik aborsi ilegal;

3) Group support of criminal beavior (dukungan kelompok atas perilaku kejahatan; dijelaskan bahwa teman sejawat cenderung toleran terhadap pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan jabatan pekerjannya. Pada lafal sumpah dokter juga tercantum : ”..teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung...”. Rasa solidaritas kelompok memungkinkan orang-orang yang berada di dalam kelompoknya untuk menjaga kerahasiaan kelompok. Kesalahan seorang anggota kelompok tidak akan dibeberkan oleh anggota kelompok lainnya, bahkan cenderung untuk ditutupi. (Lihat videonya: Lawan Covid-19, Pakai Masker Berfiltrasi Baik)

4) Correspondence between criminal and legitimate behavior (hubungan antara perilaku jahat dan non jahat); dijelaskan bahwa para pelaku dalam melakukan kejahatannya bekerja dengan pedoman kerja secara profesional. Pada umumnya tujuan perilaku tersebut adalah meraih keuntungan ekonomi sebesar-besarnya, sehingga pola kerja dan pola konsumsi mereka didasari atas suatu kesadaran bagaimana melakukan pekerjaan secara profesional;

5) Social reaction and legal processing (reaksi sosial dan proses hukum); Reaksi terhadap kejahatan okupasi tidak terlalu keras dan hukuman yang diberikan terhadap pelakunya relatif ringan. Dalam kasus aborsi biasanya akan mendapat reaksi yang keras dari masyarakat.
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1782 seconds (0.1#10.140)