Sampai Kapan Peredaran Narkoba Bisa Dihentikan?
loading...
A
A
A
Mohammad Irvan Olii, SSos, MSi
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
Kasus keterlibatan mereka yang berkecimpung dalam dunia hiburan dengan narkoba sudah sering terjadi. Bahkan pada masa pandemi global pun tersebar kabar bahwa ada seorang selebritas dunia hiburan yang tertangkap karena menggunakan narkoba. Secara politis, beberapa tahun lalu Indonesia pernah mencanangkan bahwa pada tahun 2015 menjadi tahun bebas narkoba, namun ternyata belum menjadi kenyataan.
Hal sama pernah diusung negara adidaya Amerika Serikat pada dekade akhir abad ke-20, yakni dengan pencanangan War on Drugs, walau kemudian hal itu tergusur oleh War on Terror sejak peristiwa 9/11 pada 2001. Secara global, PBB mendorong program yang mengarahkan pada upaya mengurangi perlukaan atau kerugian (harm), karena biaya ekonomi maupun sosial yang berkaitan dengan penanganan narkoba berupa pengurangan kerugian atau perlukaan terkesan memiliki kecenderungan lebih mumpuni dari penanganan yang hanya mengentaskan tindakan represif. (Baca: DPR Akan Bahas Perppu Pilkada Jilid II)
Dengan sasaran para pengguna, bukan pihak-pihak lain lebih mendapatkan keuntungan, seperti para bandar atau produsen narkoba yang sebenarnya berperilaku tidaklah berbeda dengan para pelaku kegiatan perekonomian pada umumnya, yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu cara memahami permasalahan narkoba adalah dengan penjelasan secara sosial, seperti yang dikemukakan Lyman dan Potter (2011), karena terdapatnya tekanan dari masyarakat, budaya, dan kelompok sebaya (peer group). Dari situ akan muncul kasus penyalahgunaan narkoba oleh sejumlah kelompok dengan sejumlah jenis narkoba tertentu dengan menyasar kawasan tertentu di perkotaan.
John Curra pada 2012 mengemukakan bahwa manusia menjadi pengguna narkoba karena tekanan kelompok atau hanya karena mereka ingin terlibat dalam suasana penggunaannya. Artinya, dalam subkultur pengguna, mereka memiliki kesempatan untuk membentuk identitas, hubungan sosial, dan gaya hidup yang baru. Para pengguna juga berkemungkinan akan bertemu atau berkenalan dengan pihak yang memiliki kesamaan dengan mereka sehingga dapat menjadikan kesamaan tersebut sebagai hal paling “menyenangkan” dalam pengalaman mereka menggunakan narkoba.
Walaupun demikian, kaum muda yang secara umum sering dikatakan menjadi korban sebenarnya memiliki ketangguhan dalam melindungi diri dari aktivitas tersebut. Mac Greggor (1999) menyebut ada beberapa faktor yang bisa menjadi pelindung dari kaum muda. Pertama, penggunaan sumber daya pendukung, seperti kelompok-kelompok sebaya yang lebih mendukung ke arah kegiatan bukan mengarah pada penggunaan narkoba. (Baca juga: Umbar Foto di Medsos Picu Munculnya Penyakit Mental?)
Kedua, ikatan yang erat dengan keluarga atau mereka yang bisa dikatakan sebagai keluarga. Ketiga, kepribadian dari diri sendiri atau karakteristik individu seperti tingkat aktivitas keseharian hingga kemampuan sosial dan komunikasi. Oleh karenanya, perhatian terhadap penggunaan atau mereka yang berpotensi menjadi pengguna seharusnya lebih mengarah pada intervensi sosial dengan mengentaskan perilaku mengarah pada aktivitas untuk memberi jarak, dan bahkan halangan atas pengaruh-pengaruh yang menuju ke penggunaan narkoba.
Perhatian pemerintah, dalam hal ini para aparat penegak hukum, seharusnya lebih terarah pada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan penggunaan narkoba , yakni para bandar dan terutama produsen dari narkoba. Karena para pengguna dan mereka yang berpotensi menjadi pengguna adalah pihak lebih mudah untuk ditangani dengan cara-cara bukan represif. Artinya harus bisa mencermati mereka yang benar-benar mendapatkan keuntungan dengan mereka mengalami keterpaksaan dalam melakukan aktivitas penyebarluasan tersebut. Misalnya, mereka yang terjebak menjadi kurir dengan mereka yang menjadikan orang lain sebagai kurir.
Terjebak menjadi kurir adalah suatu bentuk paksaan. Sementara menjadikan orang sebagai kurir adalah upaya meningkatkan keuntungan, dan bahkan bila perlu membuat mereka yang semula hanyalah konsumen (para pengguna) turut menjadi bagian dari jaringan pemasaran. (Baca juga: 5 Zodiak Ini Begitu Mudah Tertipu Cinta)
Keberadaan mereka yang kemudian tercebur dalam proses pidana sebagai pelaku penggunaan narkoba sebenarnya bisa lebih membantu kinerja aparat penegak hukum dalam menangani peredaran narkoba. Kurang sekali terdapat informasi atau pemberitaan yang menunjukkan bahwa keberhasilan penangkapan pengguna narkoba berlanjut dengan terungkapnya alur pemasaran atau penyebarluasan narkoba.
Pada setiap pemberitaan kasus penangkapan pengguna narkoba memang diungkapkan bahwa kasus itu akan lebih dikembangkan, tetapi hal ini sebenarnya malah meruntuhkan upaya penggentaran, bila bukan menggagalkan upaya investigasi yang lebih mendalam. Seandainya setiap kasus penangkapan pengguna narkoba bukanlah harus selalu menjadi konsumsi pemberitaan media, maka pihak penegak hukum bisa lebih mengembangkan kasusnya. Misalnya, dengan cara menjadikan pengguna yang tertangkap sebagai sumber informasi.
Informasi tersebut merupakan data intelijen berupa keterangan mengenai jaringan hingga sebaran dari pasar penjualan narkoba. Aparat penegak hukum juga harus memberikan perlindungan bagi para pemberi informasi agar tidak menjadi sasaran pihak-pihak yang mendapat keuntungan besar dari perdagangan narkoba. (Baca juga: Koeman Sarankan Puig Segera Tinggalkan Barcelona)
Keberhasilan penangkapan pengguna narkoba sebaiknya bukanlah menjadi tolok ukur keberhasilan dari kinerja upaya penanganan penyebarluasan narkoba. Keberhasilan justru harus lebih dicermati pada faktor-faktor, seperti efektivitas bentuk-bentuk pencegahan, terutama pencegahan yang mengentaskan keterlibatan luas berbagai lapisan masyarakat sehingga tidak hanya membebani sektor seperti pendidikan.
Kesuksesan dari rehabilitasi atau perawatan mereka yang mengalami ketergantungan penggunaan narkoba seharusnya lebih ditunjukkan dengan penanganan pelaku pengguna narkoba. Kampanye-kampanye pencegahan sebaiknya lebih berwujud pada tindakan ketimbang sebatas penyebarluasan jargon yang semakin hari semakin terasa sebagai hal klise.
Kondisi pandemi global harus pula dicermati bukan hanya akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi normal belaka. Tekanan kehidupan yang semula sudah menjadi salah satu alasan sering muncul berkenaan dengan penggunaan narkoba akan semakin diperkuat oleh kondisi sosial yang mengalami perubahan relatif sangat cepat karena pandemi tersebut. (Lihat videonya: Bom Pesawat Sukhoi TNI Jatuh ke Permukiman Warga di Takalar)
Hal itulah berkemungkinan semakin membuka jalan bagi para pelaku peredaran narkoba karena mereka sebagai pelaku kegiatan ekonomi dan hanya akan memilih untuk tetap mendapatkan keuntungan sekalipun kondisi sosial ekonomi lainnya mungkin tidaklah seperti sedia kala.
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
Kasus keterlibatan mereka yang berkecimpung dalam dunia hiburan dengan narkoba sudah sering terjadi. Bahkan pada masa pandemi global pun tersebar kabar bahwa ada seorang selebritas dunia hiburan yang tertangkap karena menggunakan narkoba. Secara politis, beberapa tahun lalu Indonesia pernah mencanangkan bahwa pada tahun 2015 menjadi tahun bebas narkoba, namun ternyata belum menjadi kenyataan.
Hal sama pernah diusung negara adidaya Amerika Serikat pada dekade akhir abad ke-20, yakni dengan pencanangan War on Drugs, walau kemudian hal itu tergusur oleh War on Terror sejak peristiwa 9/11 pada 2001. Secara global, PBB mendorong program yang mengarahkan pada upaya mengurangi perlukaan atau kerugian (harm), karena biaya ekonomi maupun sosial yang berkaitan dengan penanganan narkoba berupa pengurangan kerugian atau perlukaan terkesan memiliki kecenderungan lebih mumpuni dari penanganan yang hanya mengentaskan tindakan represif. (Baca: DPR Akan Bahas Perppu Pilkada Jilid II)
Dengan sasaran para pengguna, bukan pihak-pihak lain lebih mendapatkan keuntungan, seperti para bandar atau produsen narkoba yang sebenarnya berperilaku tidaklah berbeda dengan para pelaku kegiatan perekonomian pada umumnya, yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu cara memahami permasalahan narkoba adalah dengan penjelasan secara sosial, seperti yang dikemukakan Lyman dan Potter (2011), karena terdapatnya tekanan dari masyarakat, budaya, dan kelompok sebaya (peer group). Dari situ akan muncul kasus penyalahgunaan narkoba oleh sejumlah kelompok dengan sejumlah jenis narkoba tertentu dengan menyasar kawasan tertentu di perkotaan.
John Curra pada 2012 mengemukakan bahwa manusia menjadi pengguna narkoba karena tekanan kelompok atau hanya karena mereka ingin terlibat dalam suasana penggunaannya. Artinya, dalam subkultur pengguna, mereka memiliki kesempatan untuk membentuk identitas, hubungan sosial, dan gaya hidup yang baru. Para pengguna juga berkemungkinan akan bertemu atau berkenalan dengan pihak yang memiliki kesamaan dengan mereka sehingga dapat menjadikan kesamaan tersebut sebagai hal paling “menyenangkan” dalam pengalaman mereka menggunakan narkoba.
Walaupun demikian, kaum muda yang secara umum sering dikatakan menjadi korban sebenarnya memiliki ketangguhan dalam melindungi diri dari aktivitas tersebut. Mac Greggor (1999) menyebut ada beberapa faktor yang bisa menjadi pelindung dari kaum muda. Pertama, penggunaan sumber daya pendukung, seperti kelompok-kelompok sebaya yang lebih mendukung ke arah kegiatan bukan mengarah pada penggunaan narkoba. (Baca juga: Umbar Foto di Medsos Picu Munculnya Penyakit Mental?)
Kedua, ikatan yang erat dengan keluarga atau mereka yang bisa dikatakan sebagai keluarga. Ketiga, kepribadian dari diri sendiri atau karakteristik individu seperti tingkat aktivitas keseharian hingga kemampuan sosial dan komunikasi. Oleh karenanya, perhatian terhadap penggunaan atau mereka yang berpotensi menjadi pengguna seharusnya lebih mengarah pada intervensi sosial dengan mengentaskan perilaku mengarah pada aktivitas untuk memberi jarak, dan bahkan halangan atas pengaruh-pengaruh yang menuju ke penggunaan narkoba.
Perhatian pemerintah, dalam hal ini para aparat penegak hukum, seharusnya lebih terarah pada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan penggunaan narkoba , yakni para bandar dan terutama produsen dari narkoba. Karena para pengguna dan mereka yang berpotensi menjadi pengguna adalah pihak lebih mudah untuk ditangani dengan cara-cara bukan represif. Artinya harus bisa mencermati mereka yang benar-benar mendapatkan keuntungan dengan mereka mengalami keterpaksaan dalam melakukan aktivitas penyebarluasan tersebut. Misalnya, mereka yang terjebak menjadi kurir dengan mereka yang menjadikan orang lain sebagai kurir.
Terjebak menjadi kurir adalah suatu bentuk paksaan. Sementara menjadikan orang sebagai kurir adalah upaya meningkatkan keuntungan, dan bahkan bila perlu membuat mereka yang semula hanyalah konsumen (para pengguna) turut menjadi bagian dari jaringan pemasaran. (Baca juga: 5 Zodiak Ini Begitu Mudah Tertipu Cinta)
Keberadaan mereka yang kemudian tercebur dalam proses pidana sebagai pelaku penggunaan narkoba sebenarnya bisa lebih membantu kinerja aparat penegak hukum dalam menangani peredaran narkoba. Kurang sekali terdapat informasi atau pemberitaan yang menunjukkan bahwa keberhasilan penangkapan pengguna narkoba berlanjut dengan terungkapnya alur pemasaran atau penyebarluasan narkoba.
Pada setiap pemberitaan kasus penangkapan pengguna narkoba memang diungkapkan bahwa kasus itu akan lebih dikembangkan, tetapi hal ini sebenarnya malah meruntuhkan upaya penggentaran, bila bukan menggagalkan upaya investigasi yang lebih mendalam. Seandainya setiap kasus penangkapan pengguna narkoba bukanlah harus selalu menjadi konsumsi pemberitaan media, maka pihak penegak hukum bisa lebih mengembangkan kasusnya. Misalnya, dengan cara menjadikan pengguna yang tertangkap sebagai sumber informasi.
Informasi tersebut merupakan data intelijen berupa keterangan mengenai jaringan hingga sebaran dari pasar penjualan narkoba. Aparat penegak hukum juga harus memberikan perlindungan bagi para pemberi informasi agar tidak menjadi sasaran pihak-pihak yang mendapat keuntungan besar dari perdagangan narkoba. (Baca juga: Koeman Sarankan Puig Segera Tinggalkan Barcelona)
Keberhasilan penangkapan pengguna narkoba sebaiknya bukanlah menjadi tolok ukur keberhasilan dari kinerja upaya penanganan penyebarluasan narkoba. Keberhasilan justru harus lebih dicermati pada faktor-faktor, seperti efektivitas bentuk-bentuk pencegahan, terutama pencegahan yang mengentaskan keterlibatan luas berbagai lapisan masyarakat sehingga tidak hanya membebani sektor seperti pendidikan.
Kesuksesan dari rehabilitasi atau perawatan mereka yang mengalami ketergantungan penggunaan narkoba seharusnya lebih ditunjukkan dengan penanganan pelaku pengguna narkoba. Kampanye-kampanye pencegahan sebaiknya lebih berwujud pada tindakan ketimbang sebatas penyebarluasan jargon yang semakin hari semakin terasa sebagai hal klise.
Kondisi pandemi global harus pula dicermati bukan hanya akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi normal belaka. Tekanan kehidupan yang semula sudah menjadi salah satu alasan sering muncul berkenaan dengan penggunaan narkoba akan semakin diperkuat oleh kondisi sosial yang mengalami perubahan relatif sangat cepat karena pandemi tersebut. (Lihat videonya: Bom Pesawat Sukhoi TNI Jatuh ke Permukiman Warga di Takalar)
Hal itulah berkemungkinan semakin membuka jalan bagi para pelaku peredaran narkoba karena mereka sebagai pelaku kegiatan ekonomi dan hanya akan memilih untuk tetap mendapatkan keuntungan sekalipun kondisi sosial ekonomi lainnya mungkin tidaklah seperti sedia kala.
(ysw)