Dari Klenteng ke Weltevreden, Kisah Pasar Baru yang Legendaris

Sabtu, 05 September 2020 - 08:07 WIB
loading...
Dari Klenteng ke Weltevreden,...
Bakmi A Boen di Gang Kongsi, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Foto: Yan Yusuf/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dua tiang setinggi 2 meter tampak terlihat di sisi utara Bakmi A Boen di Gang Kongsi, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Seperti altar, tiang itu beda tinggi 20 sentimeter dengan tempat makan pengunjung. Di sana 12 meja tersusun rapih berjarak satu meter, sisi utara altar terdapat dua toilet pelanggan.

Lantai keramik kusam bercorak tahun 80 an terlihat menjadi alas bagi lokasi bakmi yang berdiri sejak 1962 itu. Meski berada di gang selebar kurang dari semeter, namun bakmi ini tak kalah ramai dengan bakmi merek ternama di pusat perbelanjaaan. Antrian mengular terjadi saat weekend.

Dari luar toko, terlihat ukiran genteng beton terlihat menjulur ke langit seperti buntut naga yang meruncing di ujungnya. Bentuk atapbergaya arsitek tionghoa itu menjadi pembeda dari semua bangunan yang ada disitu yang kebanyakan beratap genting segitiga.

“Dahulunya adalah klenteng,” celetuk Ketua Vihara Dharma Jaya, Santoso Wiyoto saat duduk di ruang pengurus vihara, belum lama ini.

Dari Klenteng ke Weltevreden, Kisah Pasar Baru yang Legendaris


Merujuk dari prasasti kusam di tembok sisi barat vihara, lokasi bakmi A Boen itu dahulunya merupakan klentengHet Kong Sie Huis TekatauSin Tek BioatauXin-de miao, sekarang Vihara Dharma Jaya. Klenteng itu dibangun tahun 1698 atau 122 tahun sebelum pasar baru dibangun.

Tak diketahui jelas kenapa dan kapan klenteng itu dipindahkan. Namun sejak abad 18, tepat di saat pasar baru dibangun, klenteng itu telah berada di lokasi yang sekarang. Berjarak puluhan meter dari lokasi awal. “Sebenarnya (bakmi A Boen) berada di posisi belakang, bagian depan yah ini,” kata Wiyoto yang kini berusia 74 tahun.

Dari buku riwayat singkat Sin Tek Bio yang ditulis Bambang S (2016). Sin tek bio sendiri dahulu dibangun saat kawasan pasar baru masih hutan belantara. Barulah setelah VOC membangun diluar tembok batavia, akhir abad 18, beberapa bangunan bermunculan di sisi kali ciliwung yang mengalir dari bawah masjid istiqlal-gunung sahari dan bermuara di Ancol, Jakarta Utara.

Dalam buku ‘Batavia 1970’ yang ditulis Windoro Adi, pasar ini dibangun tahun 1821 saat Gubernur Jendral Daendels membangun kota baru di Batavia yang dinamaWeltevredendan selesai 1830. Bernama ‘baru’ karena berbeda dengan Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang.

Awal pertama dibuka pasar ini hanya bertransaksi saat senin dan jumat. Namun dengan banyaknya pemukiman warga eropa pasar kemudian dibuka setiap hari seiring perkembanganWeltevredenyang menjadi perkantoran dan pusat keramaian.

Di tahun itu, sejumlah kantor kantor kecil mulai dibangun di sana, salah satunya bekas kantor berita Antara yang kini jalan antara dan gedung Stadtsshouwburg, yang kini jadi gedung Kesenian Jakarta.

Pastor Katolik sekaligus penulis Jerman, Adolf Heuken pernah menulis tentangWeltevredenyang berarti ‘sangat memuaskan’. Kisah dimulai dari seorang anggota dewan hindia, Cornelia Chastelein(1693) memiliki rumah peristirahayan kecil yang kini menjadi RSPAD Gatot Subroto.

Rumah itu kemudian dibeli Gubernur Jendral Jacob Mossel (1704-1761) dan memugarnya menjadi rumah mewah dan dibeli kembali Jendral van der Parra tahun 1767 yang doyan pesta serta hidup mewah. Kian laun, rumah itu menjadi kediaman resmi Gubernur Jendral sebelum akhirnya Daendels memindahkan keBuitenzorgatau istana Bogor.

Di sekitaran Pasar Baru di sisi selatan sejumlah ruko milik Cina, Eropa, dan Jepang kemudian dibangun. Saat malam hari, jalan sepanjang molenvliet (kanal disisi utara istiqlal hingga ke gajah mada dipenuhi hotel, kafe, dan sejumlah toko.

Sejak saat itu, kawasan harmoni dikenal kawasan Perancis, Fraanse Buurt. Beberapa pengusah perancis kemudin membuka usahanya, di antaranya Toko Roti Leroux & Co milik Jacques Leroux dan Penjahit Oger Freres.

SINDO sendiri mengamati sepanjang bangunan Pasar Baru, di bagian selatan terdapat ruko bergaya China, salah satunya toko Kompak yang kini masih berdiri di antara bangunan modern bergaya tahun 80-an.

Toko Kompak

Jauh sebelum dipercaya Ketua Vihara, Wiyoto yang kini telah membungkuk menceritakan Pasar Baru merupakan tempat bermainnya di masa kecil, sekitar tahun 60-an. Ia tinggal di kawasan gang kelinci, yang berlokasi tepat di sisi timur tengah pasar.

Kawasan pasar baru menjadi lokasi main dan pusat kebutuhan dirinya dan keluarga berhari hari. “Toko Kompak yang paling populer saat itu, ratusan orang berjubel di toko itu dari pagi sampai sore,” kata Wiyoto.

Beruntung saat sindo melihat toko milik Tio Tek Hong itu masih berdiri tegak dengan bangunan khas tionghoa. Meski tak lagi beraktifitas jual beli. Namun ukiran kecil kayu kecil terlihat di atap toko menunjukan kebesaran toko di masa lampau.

Dengan tinggi antara permukaan hampir tiga meter, ruko terlihat cukup nyaman di masukin ratusan orang. Ukiran nama toko ‘Kompak’ berbahan beton masih terlihat jelas di atap toko.

Sejarahwan dan Budayawan Chandrian Atthiriyat menyebut dari bentuk dan ukiran yang detail. Dirinya yakin toko dimiliki oleh saudagar kaya. Hal ini terlihat dari ukiran kayu di sisi toko yang detail hingga ke bagian atap bangunan toko. Meski begitu Chandirian belum dapat menafsirkan pasti kapan toko itu berdiri.

India dan Departement Store

Saat tahun 1960 an, Pasar Baru sendiri menjelma menjadi kawasan paling ramai. Kondisi pasar yang luas, hingga ruko yang rapih membuat masyarakat nyaman berbelanja di kawasan ini.

Terkenal menjual tekstil, beberapa ruko ruko penjahit bermunculan seiring menjamurnya mode pakaian. Los los kecil menjual benang dan kancing juga ikut merambah disekitaran pasar.

Tahun 70-an Wiyoto melihat sejumlah orang India yang dahulu sempat menghilang kembali berdatangan. Mereka kemudian membeli beberapa ruko disisi barat dekat jalan pintu kecil. Kain halus mumbai banyak dijual di jalan itu.

Chandrian sendiri menyebutkan India sendiri sempat berdatangan ke Pasar Baru sejak abad 19. Kolonial Inggris yang memiliki peran besar dalam membawa sejumlah orang India ke Indonesia.

Saat berada disana, lanjut Chandrian, mereka membuat usaha seperti berjualan kain dan menjadi penjahit. Kian laun ekspansi India bertambah. Bersama pedagang Cina mereka kemudian membentuk koloni, pedagang cina berada di sisi selatan dan pedagang India berada di barat. “Setelah sukses mereka kemudian merambah ke bisnis lain, salah satunya perfilman,” lanjut Chandirian.

Sisa penjual india mulai terlihat hingga kini di pasar baru. Bahkan Tahun 2002ada sekitar 2.000 keluarga India yang terdaftar sebagai penduduk Jakarta, dan sebagian besar di antara mereka tinggal di pusat kota, khususnya di kawasan Pasar Baru dan Pintu Air.

10 tahun setelahnya, sejumlah ritel pakaian mulai bermunculan mulai dari Matahari, Robinson, hingga Ramayana. Di tahun itu pula Pasar Baru menjelma menjadi pasar tersibuk setelah tanah abang. Setiap harinya sejumlah orang datang membeli beberapa potong pakaian untuk di jual kembali.

Lapangan Tergerus

Banyaknya pengunjung membuat Pemprov DKI terpaksa mengekspansi pasar, Wiyoto menceritakan ketika ekspansi pasar belum di lakukan aktifitas pedagang hanya berkutat di kawasan tengah, atau yang kini dipenuhi ruko ruko.

Sementara gedung bertingkat yang berada disisi utara atau berdekatan dengan jalan Samanhudi hanya lapangan luas. Saat pagi hari, sejumlah pedagang tradisional seperti sayuran berjualan disana. “Menjelang siang dan sore, pasar jadi kawasan delman,” kenang Wiyoto.

Karena lahan yang begitu besar, lapangan kosong, tak hayal KlentengSin Tek Bio berdekatan dengan areal jalan raya. Tak seperti sekarang yang kini terhimpit gedung pasar tinggi dan berada di gang sempit.

Meski tak ingat pasti, namun menjamurnya pembeli saat itu, membuat pemprov dki membangun gedung pasar disana. Lapangan yang dahulu menjadi pangkalan delman dan pasar berubah fungsi menjadi gedung. “Kalau engga salah tahun 60-70 an, pastinya saya lupa,” katanya.

Sempat bergeser sekitar 50 meter dari lokasi pasar baru di sisi utara. Pangkalan delman kian laun menghilang seiring berubahnya transportasi dari kuda ke mesin.

Gang Kelinci

“Rumahku di salah satu gangNamanya gang kelinci..Entah apa sampai namanya kelinciMungkin dulu kerajaan kelinciKarena manusia bertambah banyakKasihan kelinci terdesak,”

Sepenggal bait lagu gang kelinci yang diciptakan Titiek Puspa dan di nyanyikanLilis Suryanimenjadi sepenggal kisah tentang gang kelinci, gang ini menjadi saksi bisu peradaban di pasar baru.

Saat menyambangi gang itu, suasana padat dan pengap terlihat. Rumah rumah saling behimpit dan anak anak berlari larian keluar masuk gang.

Meski padat namun berbeda dengan gang di kawasan Kecamatan Tambora. Gang Kelinci jauh lebih bersih dan rapih, warga disana hidup rukun, tak terpatok satu etnis tertentu, ada orang india, cina, hingga pribumi.

Klenteng Sin Tek Bio serta beberapa musolah dan masjid menjadi cerita tersembunyi tentang kehidupan harmonis warga disana. Disana pula terdapat sejumlah makanan legendaris yakini Bakmi Gang Kelinci yang lahir tahun 50 -an dan Bakmi A Boen.
(mhd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1180 seconds (0.1#10.140)